Pada zaman Abdul Muththalib bin Hasyim,
kakek Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, peristiwa pasukan bergajah
terjadi dan bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Ringkasan kisahnya adalah Abrahah yang menjabat sebagai Wakil
Raja Habasyah yang berkedudukan di Yaman. Dia menyaksikan orang-orang
Arab berbondong-bondong datang ke Mekah setiap tahun untuk menunaikan
ibadah haji, maka kemudian dia membangun sebuah gereja besar dan mewah
di Yaman dan menamakannya dengan Al-Qulais. Dia bermaksud mengalihkan
tujuan orang-orang Arab yang setiap tahun bepergian ke Mekah menunaikan
ibadah haji untuk menuju ke gereja megah yang dibangun di Yaman.
Kejadian tersebut didengar oleh seorang laki-laki dari Bani Kinanah. Dia
melakukan perjalanan menuju gereja tersebut dan memasukinya pada suatu
malam, kemudian melumuri dinding-dindingnya dengan kotoran. Abrahah yang
mendengar berita tersebut marah besar dan memutuskan untuk
menghancurkan Ka’bah. Dia kemudian memimpin langsung sebuah pasukan
tentara yang berjumlah 60.000 dengan fasilitas pasukan yang dilengkapi
oleh beberapa ekor gajah. Mereka berjalan menuju tujuan dan tidak ada
satu pun kekuatan yang berani menghadangnya hingga tiba di sebuah tempat
bernama Al-Maghmas[1].
Di tempat itulah, mereka menggiring
harta milik orang-orang Quraisy yang di antaranya 200 ekor unta milik
Abdul Muththalib. Hal tersebut menyebabkan Abdul Muththalib yang pada
waktu itu menjadi tokoh masyarakat Quraisy datang menemui Abrahah.
Begitu Abrahah melihat Abdul Muththalib, dia memberikan penghormatan dan
memuliakannya. Tatkala Abrahah bertanya apa maksud kedatangannya, dia
berkata, “Maksud kedatangan saya adalah berharap Raja mengembalikan
unta-unta saya yang ditawan.”
Abrahah berkata, “Semula saya kagum
kepadamu saat melihat kedatanganmu, kemudian saya tidak lagi
menghargaimu setelah kamu berbicara kepadaku. Apakah kamu hanya
memikirkan untamu dan sama sekali tidak membicarakan tentang Ka’bah yang
merupakan agamamu dan agama leluhurmu, padahal kedatanganku kemari
adalah untuk menghancurkannya?”
Abdul Muththalib berkata, “Saya adalah pemilik unta-unta itu. Adapun Ka’bah, maka Pemiliknyalah yang akan menjaganya.”
Abrahah berkata, “Tidak akan ada yang mampu mencegah saya.”
Abdul Muththalib berkata, “Itu urusan kamu dan Pemiliknya” (maksud pemilik Ka’bah adalah Allah Ta’ala).[2]
Orang-orang Quraisy keluar berlindung ke gunung dan menanti sambil melihat apa yang akan dilakukan oleh tentara Abrahah.”
Abrahah mempersiapkan pasukannya untuk
melanjutkan perjalanan menuju Mekah, tatkala pasukan memerintahkan gajah
yang bernama Mahmud itu untuk berjalan menuju Mekah, ternyata gajah
tersebut duduk (tidak mau jalan). Mereka akhirnya memaksanya dengan
memukulinya, tetapi dia tetap enggan untuk berjalan. Namun, ketika
mereka mengarahkan ke arah selain Mekah ternyata gajah itu mau berjalan.
Tidak lama kemudian datanglah pasukan burung Ababil (burung yang datang
berkelompok) yang membawa batu-batu di moncong mereka dan ketika
batu-batu tersebut menimpa seorang di antara mereka, ia menjadi binasa,
Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah kamu tidak memperhatikan
bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah
Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu
sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang
berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari
tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang
dimakan (ulat).” (QS. Al-Fil: 1-5).
Peristiwa pasukan bergajah terjadi pada
bulan Muharram bertepatan dengan akhir Februari atau awal bulan Maret
tahun 571 Miladiyah, atau sekitar sebulan setengah sebelum kelahiran
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.[3]
Foot Note
[1] Tempat tersebut hingga sekarang
masih dikenal, terletak di sebelah timur Haram Mekah, yang dikelilingi
dari arah timur oleh gunung yang bernama Kabkab, dan ujung Al-Maghmas
dari selatan berbatasan dengan akhir Arafah, berjarak sekitar 20 km dari
Kota Mekah. Muhammad Hasan Syarab, Al-Ma’alim Al-Atsirah fi As-Sunnah Wa As-Sirah, hal. 277.
[2] Lihat Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1/43 dan halaman setelahnya.
[3] Lihat Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal.59.
Sumber: Fikih Sirah, Prof.Dr.Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, Penerbit Darussunnah
No comments:
Post a Comment