Sunday, May 26, 2019

Kehancuran Bangsa Yahudi Berdasar Al Quran

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin yang dimuliakan Allah… Berbesar hatilah, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا  فَإِذَا جَاء وَعْدُ أُولاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَا أُوْلِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُواْ خِلاَلَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً  ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا  إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاء وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوؤُواْ وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواْ الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُواْ مَا عَلَوْاْ تَتْبِيرًا  عَسَى رَبُّكُمْ أَن يَرْحَمَكُمْ وَإِنْ عُدتُّمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًاq

“Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan) niscaya kami kembali (mengazabmu) dan kami jadikan Neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” ( QS al-Israa’ 17:4-8)

Pertama : Ayat ini menegaskan terjadinya dua kerusakan yang dilakukan oleh Bani Israil. Sekiranya dua kerusakan yang dimaksud sudah terjadi pada masa lampau, maka sejarah telah mencatat bahwa Bani Israil telah berbuat kerusakan berkali-kali, bukan hanya dua kali saja. Akan tetapi yang dimaksudkan di dalam Al-Qur’an ini merupakan puncak kerusakan yang mereka lakukan. Oleh karena itulah Allah mengirim kepada mereka hamba-hamba-Nya yang akan menimpakan azab yang sangat pedih kepada mereka.

Kedua : Dalam sejarah tidak disebutkan kemenangan kembali Bani Israil atas orang-orang yang menguasai mereka terdahulu. Sedangkan ayat di atas menjelaskan bahwa Bani Israil akan mendapatkan giliran mengalahkan musuh-musuh yang telah menimpakan azab saat mereka berbuat kerusakan yang pertama. Allah mengatakan : “Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali.”
Ketiga : Sekiranya yang dimaksudkan dengan dua kerusakan itu adalah sesuatu yang telah terjadi, tentulah tidak akan diberitakan dengan lafazh idza, sebab lafazh tersebut mengandung makna zharfiyah (keterangan waktu) dan syarthiyah (syarat) untuk masa mendatang, bukan masa yang telah lalu. Sekiranya kedua kerusakan itu terjadi di masa lampau, tentulah lafazh yang digunakan adalah lamma bukan idza. Juga katalatufsidunna (Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan), huruf laam dan nuun berfungsi sebagai ta’kid(penegasan) pada masa mendatang.
Keempat : Demikian pula firman Allah : “dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana” menunjukkan sesuatu yang terjadi pada masa mendatang. Sebab tidaklah disebut janji kecuali untuk sesuatu yang belum terlaksana.
Kelima : Para penguasa dan bangsa-bangsa yang menaklukan Bani Israil dahulu adalah orang-orang kafir dan penyembah berhala. Namun bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan dalam ayat di atas : “Kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar”. Sifat tersebut mengisyaratkan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beriman, bukan orang-orang musyrik atau penyembah berhala. Pernyertaan kata “Kami” dalam kalimat di atas sebagai bentuk tasyrif (penghormatan). Sementara kehormatan dan kemuliaan itu hanyalah milik orang-orang yang beriman.
Keenam : Dalam aksi pengrusakan kedua yang dilakukan oleh Bani Israil terdapat aksi penghancuran bangunan-bangunan yang menjulang tinggi (gedung pencakar langit). Sejarah tidak menyebutkan bahwa pada zaman dahulu Bani Israil memiliki bangunan-bangunan tersebut.
Kesimpulan : Hakikat dan analisa ayat-ayat di atas menegaskan bahwa dua aksi pengerusakan yang dilakukan oleh Bani Israil akan terjadi setelah turunnya surat al-Israa’ di atas.
Realita : Sekarang ini bangsa Yahudi memiliki daulah di Baitul Maqdis. Mereka banyak berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka membunuhi kaum wanita, orang tua, anak-anak yang tidak mampu apa-apa dan tidak dapat melarikan diri. Mereka membakar tempat isra’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan merobek-robek kitabullah. Mereka melakukan kejahatan di mana-mana hingga mencapai puncaknya.
Mereka menyebarkan kenistaan, kemaksiatan, kehinaan, pertumpahan darah, pelecehan kehormatan kaum muslimin, penyiksaan dan pelanggaran perjanjian.

Friday, May 24, 2019

Ayat Al-Quran Yang Pertama Kali Turun


Ada dua pendapat berkenaan dengan ayat yang pertama kali turun, berikut dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat tersebut:
Pendapat Pertama
Yang paling sahih ayat yang pertama kali turun ialah firman Allah Ta’ala,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq, 96 : 1-5 ).
Pendapat ini didasarkan pada suatu hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengatakan,

أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنَ الْوَحْىِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِى النَّوْمِ ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاَءُ ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ – وَهُوَ التَّعَبُّدُ – اللَّيَالِىَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ ، فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا ، حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِى غَارِ حِرَاءٍ ، فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ . قَالَ « مَا أَنَا بِقَارِئٍ » . قَالَ « فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى حَتَّى بَلَغَ مِنِّى الْجَهْدَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ اقْرَأْ . قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ . فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّى الْجَهْدَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ اقْرَأْ . فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ . فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى الثَّالِثَةَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ ( اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ * خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ ) »

“Pertama turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melalui mimpi yang benar waktu beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak itu hati beliau tertarik untuk mengasingkan diri ke Gua Hira. Di situ beliau beribadah beberapa malam, tidak pulang ke rumah istrinya. Untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah, untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya. Kemudian beliau kembali ke Gua Hira, hingga suatu ketika datang kepadanya kebenaran (wahyu), yaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira. Malaikat datang kepadanya, lalu berkata, ‘Bacalah’ Nabi menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca’. Nabi menceritakan, ‘Maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan disuruh membaca. Malaikat berkata ‘Bacalah’. Aku menjawab ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan disuruh membaca. ‘Bacalah’. kujawab ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka aku ditarik dan dipeluknya untuk kali ketiga kalinya. Kemudian aku dilepaskan seraya ia berkata, ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Demi Tuhanmu yang Maha Mulia.’”

فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَرْجُفُ فُؤَادُهُ ، فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رضى الله عنها فَقَالَ « زَمِّلُونِى زَمِّلُونِى » . فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ ، فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ « لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِى » . فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلاَّ وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا ، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ ، وَتَقْرِى الضَّيْفَ ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ .

“Setelah itu Nabi pulang ke rumah Khadijah binti Khuwailid, lalu berkata, ‘Selimuti aku, selimuti aku!’ Khadijah menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kata Nabi kepada Khadijah binti Khuwailid (setelah mennceritakan semua kejadian yang dialami Nabi), ‘Sesungguhnya aku cemas atas diriku.’ Khadijah menjawab, ‘Jangan takut, demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan engkau. Engkau selalu menyambung tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.’

فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ – وَكَانَ امْرَأً تَنَصَّرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِىَّ ، فَيَكْتُبُ مِنَ الإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ ، وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِىَ – فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنَ ابْنِ أَخِيكَ . فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِى مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَبَرَ مَا رَأَى . فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِى نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى – صلى الله عليه وسلم – يَا لَيْتَنِى فِيهَا جَذَعًا ، لَيْتَنِى أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوَمُخْرِجِىَّ هُمْ » . قَالَ نَعَمْ ، لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلاَّ عُودِىَ ، وَإِنْ يُدْرِكْنِى يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا . ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّىَ وَفَتَرَ الْوَحْىُ

“Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin naufal bin Asad bin Abdul Uzza, yaitu anak paman Khadijah, yang telah memeluk agama Nasrani pada masa jahiliyah. Ia pandai menulis buku dalam bahasa ibrani. Maka disalinnya Kitab Injil dari bahasa Ibrani seberapa yang dikehendaki Allah dapat disalin. Usianya kini telah lanjut dan matanya telah buta.”
“Khadijah berkata kepada Waraqah, ‘Wahai anak pamanku. Dengarkan kabar dari anak saudaramu ini.’ Waraqah bertanya kepada Nabi, ‘Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?’ Nabi menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, ‘Inilah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu.’ Nabi bertanya, ‘Apakah mereka akan mengusir aku?’ Waraqah menjawab, ‘Ya, betul. Belum ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau yang tidak dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya.’ Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus untuk sementara.” (H.R. Bukhari).
Pendapat Kedua
Ayat yang pertama kali turun adalah firman Allah,

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

 “Wahai orang yang berselimut.”
Pendapat ini didasarkan pada hadis berikut ini,

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا حَرْبٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَلَمَةَ أَيُّ الْقُرْآنِ أُنْزِلَ أَوَّلُ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ } فَقُلْتُ أُنْبِئْتُ أَنَّهُ { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ } فَقَالَ أَبُو سَلَمَةَ سَأَلْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ أَيُّ الْقُرْآنِ أُنْزِلَ أَوَّلُ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ } فَقُلْتُ أُنْبِئْتُ أَنَّهُ { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ } فَقَالَ لَا أُخْبِرُكَ إِلَّا بِمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاوَرْتُ فِي حِرَاءٍ فَلَمَّا قَضَيْتُ جِوَارِي هَبَطْتُ فَاسْتَبْطَنْتُ الْوَادِيَ فَنُودِيتُ فَنَظَرْتُ أَمَامِي وَخَلْفِي وَعَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي فَإِذَا هُوَ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَأَتَيْتُ خَدِيجَةَ فَقُلْتُ دَثِّرُونِي وَصُبُّوا عَلَيَّ مَاءً بَارِدًا وَأُنْزِلَ عَلَيَّ { يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ }

“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur; telah menceritakan kepada kami Abdush Shamad; telah menceritakan kepada kami Harb; telah menceritakan kepada kami Yahya ia berkata: ‘Aku pernah bertanya kepada Abu Salamah, ‘Bagian manakah dari Al Qur`an yang pertama kali turun?’ Ia pun menjawab, ‘YAA AYYUHAL MUDDATSTSIR.’ Aku berkata, ‘Aku pernah dikabarkan bahwa bagian Al Qur`an yang pertama kali turun adalah: ‘IQRA` BISMI RABIKALLADZII KHALAQ (Sebutlah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan).’ Maka Abu Salamah pun berkata: ‘Aku pernah bertanya kepada Jabir bin Abdullah, ‘Bagian Al Qur`an yang manakah yang pertama kali turun?’ Maka ia menjawab, ‘YA `AYYUHAL MUDDATSTSIR.’ Kukatakan, ‘Pernah diberitakan kepadaku, bahwa yang pertama kali turun adalah, ‘IQRA` BISMI RABIKALLADZII KHALAQ.’ Maka ia menjelaskan kembali, ‘Aku tidak akan mengabarkan kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Aku berdiam diri di gua Hira`. Setelah selesai, aku pun beranjak keluar dan menelusuri lembah, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku, maka aku pun menoleh ke depan, ke arah belakang, ke samping kanan dan juga ke kiri. Ternyata, yang memanggilku duduk di atas kursi yang terbentang antara langit dan bumi. Setelah itu, aku segera mendatangi Khadijah dan berkata, ‘Selimutilah aku. Dan tuangkanlah air dingin pada tubuhku.’ Pada saat itulah, diturunkanlah ayat ini padaku, ‘YAA `AYYUHAL MUDDATSTSIR, QUM FA`ANDZIR, WA RABBAKA FAKABBIR (Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatakan. Dan Tuhan-mu, agungkanlah).’” (HR. Bukhari)
Catatan: selain dua pendapat di atas ada juga pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama kali turun adalah surat Al-Fatihah dan lafal basmallah, tapi dalil kedua pendapat ini lemah dan kurang berdasar.
Perbandingan dua Pendapat
Para ulama Ulumul Quran dengan kesungguhan mencoba mempertemukan dua pendapat di atas sebagai berikut,
  1. Maksud Jabir dalam hadits di atas adalah surah yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan bahwa surah al Mudassirlah yang turun secara penuh sebelum surah Iqra’ selesai diturunkan. Karena yang turun pertama sekali dari surah Iqra’ itu hanya permulaan saja.
  2. Atau maksud Jabir bahwa surat Mudassir itu adalah surah pertama yang diturunkan setelah masa terhentinya wahyu.
  3. Ada yang mengatakan maksud Jabir: Surat al-muddatsir adalah yang pertama turun berkaitan dengan kerasulan (risalah) atau perintah berdakwah. Sedangkan ayat pertama surat Al-Alaq adalah ayat yang pertama turun berkaitan dengan kenabian (nubuwwah), atau pelantikan menjadi nabi.
  4. Ada yang mengatakan juga bahwa maksud Jabir: surat Al-Mudatsir adalah yang pertama kali turun yang disebabkan dengan peristiwa khusus (asbabun nuzul).
  5. Ada juga yang menyatakan: Jabir telah mengeluarkan yang demikian ini dengan ijtihadnya. Akan tetapi riwayat Aisyah lebih mendahuluinya. Jadi jika ada riwayat-riwayat lain yang shahih mendukung riwayat Aisyah, maka sebagai hasil ijtihad pendapat Jabir bisa ditinggalkan.

Thursday, May 23, 2019

Ayat Al-Quran yang Terakhir Diturunkan


Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad 
shalallahu alaihi wasallam secara berangsur-angsur, tidak sekaligus. Oleh karena itu, dulu ayat Al-Quran belum tersusun rapi seperti saat ini.
Jika Anda buka mushaf Al-Quran, maka ayat di halaman pertama adalah ayat di surat Al-Fatihah. Padahal, ayat yang pertama kali turun adalah surat Al-Alaq 1-5. Lalu ayat apa yang terakhir turun?
Ibnu Taimiyah mensinyalir, di antara sebab perbedaan ulama adalah tidak semua informasi mengenai sumber-sumber hukum mereka dapatkan. Para ulama itu berijtihad sesuai dengan informasi yang mereka terima.
Hal yang sama juga terjadi dalam penentuan akhir ayat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Semua informasi yang kita terima berkaitan dengan masalah ini tidak ada yang bersumber langsung dari Nabi sendiri. Informasi itu diberikan oleh para sahabat atau para tabiin sesuai dengan pengetahuan mereka.
Selain sebab di atas, ada sebab lain yang juga cukup penting dalam masalah ini, yaitu informasi yang kita terima acap kali bernuasna mutlak, tidak dalam persepektif tertentu. Misalnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbأ¢s, ia mengatakan: Telah turun ayat berikut ini: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. 4:93), dan ia adalah ayat yang turun terakhir kali, dan tidak ada yang menasakhnya.
Dan masih banyak riwayat-riwayat senada, yang memberi kesan turunnya suatu ayat pada kali terakhir.
Oleh karena itu, ada dugaan kuat bahwa para pencetus ide-ide tersebut tidak bermaksud menyebutnya sebagai ayat yang paling ujung dari rentetan ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, akan tetapi hanya sekedar menyebutnya sebagai ayat terakhir dalam permasalah terkait, atau terakhir dalam persepektif tertentu lainnya.
Sebagian ulama bersifat skeptis dalam menentukan ayat mana yang terakhir diwahyukan. Mereka beranggapan, bahwa informasi tentang ini sangat beragam dan saling bertentangan satu sama lain. Selain itu, penetapan masalah ini tidak mempunyai implikasi keagamaan yang berarti. Dilihat dari ini, betapa para ulama sendiri banyak yang merasa kesulitan dalam menyaring kesimpang-siuran informasi itu.
QS. al-Maidah 5:3 turun di Arafah pada saat Rasul melaksanakn haji wada pada tahun sepuluh, sementara beliau wafat pada awal-awal tahun sebelas [11 H.]. Ibnu Jarar ath-Thabary menginformasikan, bahwa Rasulullah wafat setelah delapan puluh satu hari dari hari Arafah [waktu di mana QS 5:3 turun].
Oleh karena tenggang waktu yang lama ini, informasi bahwa ayat tersebut adalah ayat terakhir tidak pernah disebut dalam catatan-catatan penting Al-Quran. Informasi ini menjadi sangat populer di kalangan umat Islam hanya karena kandungannya yang menjelaskan telah sempurnannya Islam, yang kemudian dimaknai secara salah, bahwa sejak itu, Nabi tidak pernah lagi mendapatkan wahyu Al-Quran.
Informasi kedua, yakni QS. al-Baqarah 2:281, yang diriwayatkan oleh an-Nasai, Ibnu Jarar, Ibnu Muradawayh dan Ibnu Aby Hatim, jauh lebih mendekati kebenaran. Namun begitu, terdapat informasi lain yang lebih kuat, yaitu informasi Imam Bukhari dari Ibnu ‘Abbas –juga diinformasikan oleh al-Baihaqi, Ahmad, Ibnu Majjah dan Ibnu Murdawayh dari ‘Umar, bahwa ayat terakhir adalah ayat riba [al-Baqarah 2:278-280]. Informasi lain yang tak kalah kuatnya adalah informasi Bukhari dan Muslim, bahwa ayat terakhir adalah ayat dayn [hutang] QS al-Baqarah 2:282.
Sesuai dengan informasi-informasi terakhir ini, adalah sangat mungkin ketiga informasi di atas benar semua, yang berarti ayat terakhir yang turun kepada Nabi Muhammad saw adalah surat al-Baqarah ayat 278 sampai 282. Keberatan muncul karena tidak ada keharmonisan antara ayat yang di tengah [281] dengan ayat awal [278-280] dan ayat terakhir [281], di mana pembahasan pertama menyinggung transaksi yang mengandung riba sementara yang di tengah mengenai hari akhir, dan kemudian dilanjutkan dengan ayat katiga menyoal hutang piutang.
Akan tetapi ketidakharmonisan ini dapat ditengahi, seperti telah banyak dibahas oleh para sarjana Al-Quran, bahwa ayat yang di tengah merupakan penguat terhadap larangan ayat awal [riba, 278-280] dan terhadap perintah ayat terakhir [281]. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, bahwa perintah dan larangan Al-Quran tidak hanya selesai pada urusan duniawi, akan tetapi juga ada tuntutannya pada hari pembalasan nanti.
Kesimpulannya, pendapat yang paling kuat adalah yang menyatakan bahwa ayat terakhir adalah QS. al-Baqarah 2:278-282. 

Monday, May 20, 2019

Orang Islam Baik Tapi Tidak Sholat

Orang muslim baik akan tapi tidak shalat. Pernahkah Anda menemukan muslim yang demikian? Kepada sesama dia sangat baik dalam tingkah laku, namun ia tidak pernah melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, yakni shalat. Bagaimana Islam memandang hal ini?
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan untuk menanggapi kasus seperti di atas:
Secara bahasa akhlak diartikan sebagai tabiat, karakter, wibawa, dan kualitas agama.
Dalam kamus al-Muhith dinyatakan:

الخُلق: بالضمِّ، وبضمتين: السجية والطَّبع، والمروءة والدين
Akhlak artinya sijjiyah (karakter), tabiat, wibawa, dan kualitas agama. (Qamus al-Muhith, Fairuz Abadi).
Allah memuji Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akhlaknya yang mulia, “Dirimu berada di atas akhlak yang mulia.” (QS. al-Qalam: 4).
Artinya, kamu memiliki adab yang sangat agung, yang diajarkan dalam al-Quran, itulah islam dan semua syariatnya. Dinyatakan dalam satu riwayat dari Ibnu Abbas, beliau menjelaskan, “Akhlak yang mulia, artinya agama yang agung, yaitu Islam,” (Tafsir at-Thabari, 23/529).
Berdasarkan keterangan di atas, pengertian akhlak lebih luas dari pada sebatas diartikan bersikap baik kepada sesama manusia. Karena interaksi kita tidak hanya dengan sesama manusia. Termasuk yang sangat penting diperhatikan, interaksi manusia dengan Tuhannya, Allah Ta’ala.
Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut akhlaknya sangat mulia, karena beliau manusia yang paling sempurna dalam berinteraksi dengan Allah. Disamping beliau juga sangat mulia dalam berinteraksi dengan semua makhluk yang ada di sekitarnya.
Ibnul Qoyim pernah menjelaskan, Akhlak yang terpuji itu ada 2:
1. Akhlak terpuji kepada Allah, yaitu dengan memahami bahwa semua yang kita lakukan, butuh untuk mendapat ampunan dari Allah. Sementara apapun yang datang dari Allah, mengharuskan adanya rasa syukur. Sehingga dia selalu bersyukur kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya. Dia selalu melihat banyaknya nikmat dan aib yang ada pada diri dan perbuatannya.
2. Akhlak terpuji kepada sesama manusia. dan intinya dua, memberikan kebaikan, baik ucapan atau perbuatan. Dan tidak mengganggu baik ucapan dan perbuatan. (Tahdzib as-Sunan, 13/91)
Ketika ada orang yang suka berbuat baik kepada sesama, tapi dia tidak shalat, berarti dia memiliki akhlak yang baik kepada manusia, tapi bertindak kurang ajar kepada Allah. Akhaknya buruk kepada Allah. Dan tentu saja, itu tindakan yang membahayakan.
Kita tidak mempermasalahkan akhlak dia dengan sesama makhluk. Namun kita mempermasalahkan akhak dia kepada Allah. karena dia melakukan keasalahan besar, yaitu tidak shalat.
Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang meninggalkan shalat seperti orang yang melakukan kekufuran. Semoga kita taermasuk orang yang berkahlak baik dengan kualitas mendirikan shalat juga baik. Allahu a’lam.

https://www.islampos.com/orang-baik-yang-tidak-shalat-114837/

Friday, May 17, 2019

Sholat Berjamaah dan Jumlah Pahalanya

Setiap laki laki muslim harus tahu bahwa shalat berjamaah memiliki pahala yang berlipat dibandingkan shalat sendirian. Oleh karena itu, dengan banyaknya pahala yang akan didapat, sudah seharusnya tidak ada lagi alasan bagi pria muslim shalat sendirian di rumah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jamaah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat.”
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلاَةُ فِى جَمَاعَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلاَةً فَإِذَا صَلاَّهَا فِى فَلاَةٍ فَأَتَمَّ رُكُوعَهَا وَسُجُودَهَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ صَلاَةً
“Shalat jama’ah itu senilai dengan 25 shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat ketika dia bersafar, lalu dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tersebut bisa mencapai pahala 50 shalat.”
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “kadang keutamaan shalat jama’ah disebutkan sebanyak 27 derajat, kadang pula disebut 25 kali lipat, dan kadang juga disebut 25 bagian. Ini semua menunjukkan berlipatnya pahala shalat jama’ah dibanding dengan shalat sendirian dengan kelipatan sebagaimana yang disebutkan.”
Dengan penjelasan di atas, maka siapapun pria muslim yang enggan shalat berjamaah maka dia sedang mengalami kerugian yang besar.

Sunday, May 12, 2019

Makmum Wajib Baca Al-Fatihah?

Membaca al-Fâtihah merupakan salah satu rukun dalam setiap raka’at dalam shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunah, baik itu shalat jahriyah (shalat yang bacaan al-Fatihahnya dibaca dengan suara keras-red) atau sirriyah (shalat yang bacaan al-Fatihahnya dibaca pelan-red). Ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, seperti imam Sufyân ats-Tsauri, Malik, asy-Syâfi’i, dan lainnya. (Lihat: Shahîh Fiqhis Sunnah, 1/319, karya Syaikh Abu Malik Kamal Ibnus Sayyid Sâlim)
Namun ada perbedaan Ulama tentang hukum membaca al-Fâtihah bagi makmum sebagai berikut :
1. Makmum tidak membaca al-Fâtihah, baik dalam shalat jahriyah atau sirriyah. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanîfah rahimahullah dan sebagian pengikutnya.
2. Makmum membaca al-Fâtihah dalam shalat sirriyah, namun tidak dalam shalat jahriyah. Ini adalah pendapat imam Zuhri, Mâlik, asy-Syâfi’i dalam qaul qadîm (pendapat beliau yang lama), Muhammad murid Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh al-Albâni, -rahimahumullâh- dan lainnya.
3. Makmum harus membaca al-Fâtihah baik dalam shalat jahriyah atau sirriyah.
Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i dalam qaul jadîd (pendapat beliau yang baru), al-Bukhâri, Ibnu Hazm, asy-Syaukani, Syaikh al-‘Utsaimin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan lainnya. [Lihat : Shahîh Fiqhis Sunnah, 1/544-546; dll]

Pendapat yang paling kuat dari ketiga pendapat di atas adalah pendapat ke tiga, dengan dalil-dalil sebagai berikut :
1. Membaca al-Fâtihah merupakan salah satu rukun dalam ibadah shalat
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Dari Ubâdah bin ash-Shâmit dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fâtihah.’ [HR. al-Bukhâri, no. 723 ; Muslim, no. 394; dll]
Imam al-Bukhâri meriwayatkan hadits ini dalam sebuah bab yang beliau rahimahullah beri judul :
بَابُ وُجُوبِ الْقِرَاءَةِ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ فِي الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ وَمَا يُجْهَرُ فِيهَا وَمَا يُخَافَتُ
Bab: “Kewajiban membaca bagi imam dan makmum dalam semua shalat, di kota sendiri dan di luar kota, dan pada shalat yang dijahrkan dan yang dibaca pelan”.
Sedangkan imam Muslim meriwayatkan hadits ini dalam bab:
بَابُ وُجُوْبِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ
Bab: “Kewajiban membaca al-Fâtihah di dalam setiap raka’at.
2. Makmum dalam shalat jahriyah juga wajib membaca al-Fâtihah
Dalam bab ini ada beberapa hadits, di antaranya:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ إِنِّي لَأَرَاكُمْ تَقْرَءُونَ وَرَاءَ إِمَامِكُمْ قَالُوا نَعَمْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَنَفْعَلُ هَذَا قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا
Dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat Shubuh bersama kami (menjadi imam-pen), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kesusahan membaca. Setelah berpaling (salam), beliau bersabda, ‘Aku melihat kalian membaca di belakang imam kamu.’ Mereka menjawab, “Ya, demi Allâh ! Wahai Rasûlullâh, kami betul melakukannya.” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian lakukan, kecuali membaca Ummul Qur’ân, karena sesungguhnya tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya.” [HR. Ahmad, no. 22694; al-Bukhâri dalam al-Juz fil Qirâ’ah; Ibnu Khuzaimah, no. 1581; Ibnu Hibbân, no. 1782, 1792, 1848; dll. Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Shahîh lighairihi, adapun riwayat ini maka dia derajatnya hasan karena perawi bernama Muhammad bin Ishâq”. Syaikh al-Albâni menshahîhkannya dalam kitab Sifat Shalat Nabi, hlm. 99]
Imam Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya dalam bab :
بَابُ الْقِرَاءَةِ خَلْفَ الْإِمَامِ وَ إِنْ جَهَرَ الْإِمَامُ بِاْلقِرَاءَةِ وَ الزَّجْرِ عَنْ أَنْ يَزِيْدَ الْمَأْمُوْمُ عَلَى قِرَاءَةِ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ إِذَا جَهَرَ الْإِمَامُ بِاْلقِرَاءَةِ
“Bab: Membaca di belakang imam, walaupun imam menjaharkan bacaan. Dan larang terhadap makmum dari membaca lebih dari al-Fâtihah jika imam menjaharkan bacaan.”
Kesimpulannya:
Bahwa para Ulama sejak zaman dahulu telah berbeda pendapat dalam masalah ini, dan masing-masing memiliki dalil yang dianggap kuat, maka kita harus berlapang dada dengan perbedaan pendapat tentang masalah ini. Karena semua perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin wajib dikembalikan kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah. Maka bagi orang-orang yang berilmu bisa memilih pendapat yang paling kuat kemudian mengikutinya, tanpa menghukumi pihak lain berada dalam kesesatan. Adapun orang awam hendaklah dia memilih pendapat Ulama yang dia percayai ilmu dan amanahnya.

Perbedaan pendapat ini tidak boleh menjadi sebab kebencian dan permusuhan di antara kaum Muslimin. Demikian juga kita tidak boleh menghukumi tidak sah shalat orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah ini. Namun hendaklah kita memilih pendapat yang lebih selamat dan menetramkan hati. Wallâhu a’alam

Doa Setelah Shalat Witir

Setelah selesai Shalat tarawih biasanya langsung dilaksanakan shalat witir secara berjamaah. Nah, selesai witir ada doa khusus yang dibaca oleh umat muslim. Apakah doa tersebut?
Berdasarkan hadis Nabi, ada dua buah doa yang bisa diamalkan usai shalat witir.
Hadis ini diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab.  Dia berkata,
فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ :« سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِى الآخِرَةِ يَقُولُ :« رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ »
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, beliau mengucapkan, ‘Subhaanal Malikil Qudduus’ sebanyak tiga kali; ketika bacaan yang ketiga, beliau memanjangkan suaranya, lalu beliau mengucapkan, ‘Rabbil malaa-ikati war ruuh.’” (HR. As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, 3:40 dan Sunan Ad-Daruquthni, 4: 371)
Maka, doa pertama yang dituntunkan sesuai hados di atas adalah
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Subhaanal malikil qudduus.
Artinya: Maha Suci Engkau yang Maha Merajai lagi Maha Suci dari berbagai kekurangan]” (HR. An Nasai dan Ahmad, shahih)
beserta tambahan “Rabbil malaa-ikati war ruuh” sebagai tambahan maqbulah yang diterima.
Doa ini dibaca sebanyak tiga kali.
Doa kedua yang dituntunkan dari hadis yang sama adalah sebagai berikut:
للَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Alloohumma innii a’uudzu bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’aafaatika min ‘uquubatik, wa a’uudzu bika minka laa uh-shii tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsik.”
Artinya: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]. (HR. Kitab Sunan yang Empat, shahih)
Doa ini dibaca sebnayak 1 kali.
Doa di atas pun tidak perlu dibaca secara berjama’ah, cukup diajarkan pada masing-masing jamaah sekali, seterusnya biarkan jamaah mengamalkannya sendiri-sendiri. 

Saturday, May 11, 2019

Berburu Berkah Ramadhan

RAMADHAN adalah bulan penuh berkah, karena di dalamnya banyak keistimewaan dan keberkahan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.

Keberkahan Apa Saja di Bulan Ramadhan?
Ada puasa Ramadhan yang menjadi penyebab terampuninya dosa-dosa dan terhapusnya berbagai kesalahan. Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah swt niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari dan Muslim).
Juga firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al Baqarah : 183)
Selain itu pada bulan Ramadhan al-Qur’an pertama kali diturunkan. Sebagai petunjuk hidup dan pembeda yang benar dan yang salah, agar kita selamat dunia akhirat.
Di bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu malam lailatul Qadar. “Siapa saja yang bangun pada malam Qadar karena dorongan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ada sholat sunnah tarawih setelah sholat isya, yang mana ibadah ini tidak bisa dilakukan di bulan lainnya.
Allah melipatgandakan pahala bagi hambaNya yang taat memenuhi seruanNya. Ibadah wajib pahala dilipatgandakan bisa sampai 700 kali. Bahkan khusus puasa Ramadhan, pahala langsung dari Allah. Sementara ibadah sunah di bulan lain, pahalanya seperti ibadah wajib jika dikerjakan di bulan Ramadhan.
Sungguh banyak sekali keutamaan dan keberkahan yang bisa kita raih di bulan Ramadhan ini.
Mengapa harus Berburu Berkah Ramadhan?
Karunia Allah yang begitu banyak itu, dihadiahkan buat kita. Hamba yang dicintaiNya. Akan menjadi suatu kerugian besar jika kita tidak mau mengambil tawaran menggiurkan itu. Penawaran itu hanya diberikan pada bulan Ramadhan saja. Tidak di bulan-bulan lainnya.
Apalagi Allah memberi kemudahan-kemudahan agar kita bisa menjalankannya. Dengan cara penggoda kita yakni syetan dibelenggu selama bulan Ramadhan. Ditambah lagi pintu syurga dibuka dan pintu neraka ditutup.
Rasulullah saw bersabda:  “Apabila tiba bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu syurga dan ditutup pintu-pintu neraka serta syaitan-syaitan dibelenggu.” (HR Bukhari Muslim).
Kalau kenyataannya masih ada yang maksiat di bulan Ramadhan padahal syetan sudah dibelenggu. Itu karena hawa nafsu dari dalam diri manusia yang harus dikendalikan. Dan itu harus dilatih dengan menjalankan puasa Ramadhan.
Saudaraku, mari kita manfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang diberikan Allah ini. Kita maksimalkan potensi kita untuk menjalankan amal sholeh berupa ibadah-ibadah wajib maupun sunnah di bulan Ramadhan ini.
Siang hari dengan berpuasa Ramadhan, malamnya sholat tarawih dan witir, kemudian tadarus al-Qur’an, sedekah Ramadhan dengan siapkan takjil di masjid, i’tikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, doa dan dzikir yang selalu membasahi lidah, dan masih banyak yang lainnya.
Apa harus Sekarang Berburu Berkah Ramadhan?
Jika kita tidak segera ambil kesempatan ini, lalu mau menunggu sampai kapan saudaraku? Apakah ada jaminan kita bisa bertemu Ramadhan tahun depan?
Jika bisa dikerjakan sekarang, mengapa harus menunda? Kalau pun masih bisa bertemu bulan Ramadhan di tahun depan, apakah ada jaminan kita masih sehat dan kuat seperti sekarang?
Saudaraku, marilah kita taat kepada seruan Allah. Tanpa harus banyak berfikir dan menunda-nunda. Yakinlah kalau Allah itu hanya menghendaki yang terbaik buat hambaNya. Allah tidak mungkin menganiaya hambaNya.
Maka, mumpung masih ada kesempatan kita bertemu Ramadhan sekarang ini, mari kita jalankan ibadah Ramadhan ini dengan niat tulus karena Allah swt dan mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah saw.
Mari kita bersemangat untuk berburu berkah Ramadhan. Dengan tidak membiarkan setiap detiknya terlewat sia-sia. Kita berlomba mengisi setiap waktunya dengan amal kebaikan dan taqwa. Semoga Allah meridloi setiap upaya yang kita lakukan dengan ikhlas dan penuh kesungguhan. Wallahu a’lam bisshawab.

Dukhon

Saat ini di dunia dan juga tentu saja termasuk indonesia, sedang perjadi pandemi yang berasal dari corona. Nama legkapnya virus corona. Ata...