Monday, September 25, 2017

Buraq, Kendaraan Tercepat Rasulullah

Hasil gambar untuk gambaran buraq
Saat mengalami peristiwa Isra Mi'raj diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersama Malaikat Jibril mengendarai makhluk bernama buraq, makhluk yang melegenda di kalangan umat Islam. Namun, mungkin tidak banyak umat Islam saat ini yang mengetahui sosok atau bentuk tunggangan tersebut, sehingga perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi.
Berdasarkan beberapa hadis dan literatur, telah banyak yang menggambarkan makhluk tersebut. Namun, yang paling menakjubkan mengenai makhluk tunggangan Nabi SAW tersebut adalah kecepatannya yang seperti kilat. Kecepatannya bahkan tidak dapat dijangkau oleh akal, sehingga buraq termasuk salah satu tanda kebesaran Allah SWT. 
Buraq berasal dari kata /barqu yang memiliki arti kilat. Namun, penggantian istilah dari barqu yang berarti kilat menjadi buraq tersebut jelas mengandung pengertian yang berbeda. Jika barqu itu adalah kilat, maka Buraq dapat diasumsikan sebagai sesuatu kendaraan yang kecepatannya diatas kilat atau sesuatu yang kecepatannya melebihi gerakan cahaya. 
Istilah barqu yang berarti kilat tersebut bisa ditemukan dalam beberapa surah dalam Alquran. Salah satunya yaitu di dalam surah al-Baqarah ayat 20 yang artinya,Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali (kilat itu) menyinari, mereka berjalan di bawah (sinar) itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh, Allah Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah [2: 20]).
Melihat penamaan makhluk tersebut, Nabi Muhammad SAW seakan hendak menyampaikan kepada kita bahwa kendaraannya tersebut memang memiliki kecepatan di atas sinar. Suatu kendaraan dengan kecepatan yang sangat jauh meninggalkan teknologi yang ada hingga sampai saat ini.

Para sarjana telah melakukan penyelidikan atau penelitian. Mereka berkesimpulan bahwa kilat atau sinar dapat bergerak sejauh 186.000 mil atau 300 kilometer per detik. Dengan penyelidikan yang memakai sistem paralaks, diketahui pula jarak matahari dari bumi sekitar 93.000.000 mil, dan dilintasi oleh sinar dalam waktu delapan menit.
Menurut akal pikiran kita sehari-hari yang tetap tinggal di bumi, jarak yang demikian jauhnya tidak mungkin dapat dicapai hanya dalam beberapa saat saja oleh buraq. Karena untuk menerobos garis tengah jagat raya saja memerlukan waktu 10 miliar tahun cahaya melalui galaksi-galaksi atau fosil-fosil jagad raya. Namun, kendati di luar nalar peristiwa tersebut tetap harus diimani oleh umat Islam.
Terkait dengan bentuk buraq, di dalam hadis riwayat Imam Muslim yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik diterangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Didatangkan kepadaku buraq, yaitu hewan (dabbah) yang berwarna putih (abyadh), bertubuh panjang (thawil), lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dan sekali ia menjejakkan kakinya yang berkuku bergerak sejauh mata memandang." (kitab al-Jami' al-Sahih juz I, hlm 99).
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Anas tersebut, Rasulullah menjelaskan bahwa Buraq itu adalah dabbah. Menurut penafsiran bahasa Arab, dabbah adalah suatu makhluk hidup berjasad, bisa laki-laki bisa perempuan, berakal dan juga tidak berakal. Penafsiran tersebut menunjukkan bahwa kita tidak dapat menentukan jenis kelamin hewan tersebut, seperti halnya malaikat.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga pernah bersabda, "Jibril mendatangiku dengan seekor hewan yang tingginya di atas keledai dan di bawah baghal, lalu Jibril menaikkanku di atas hewan itu kemudian bergerak bersama kami, setiap kali naik maka kedua kakinya yang belakang sejajar dengan kedua kaki depannya, dan setiap kali turun kedua kaki depannya sejajar dengan kedua kaki belakangnya."
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW dan beberapa literatur tersebut, dapat disimpulkan bahwa buraq itu adalah seekor hewan yang warna bulunya putih, tubuhnya panjang, tingginya melebihi keledai dan lebih kecil dari baghal, telinganya bergelombang atau bergerigi, kecepatannya seperti kilat, memiliki empat kaki. Jika naik kedua kaki belakangnya disejajarkan dengan dua kaki depannya, dan jika menurun kedua kaki depannya disejajarkan dengan kedua kaki belakangnya.
Terlepas dari kecepatan dan bentuk buraq tersebut, peristiwa Isra Mi'raj telah menunjukkan kebesaran Allah SWT kepada hamba-Nya. Hal ini seperti dijelaskan dalam surah al-Isra' ayat 1 yang artinya, "Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.".

3 Golongan Yang Pertama Masuk Neraka


Hasil gambar untuk riya adalah

"Ini adalah tiga golongan yang pertama kali Allah ciptakan untuk Allah siksa di hari kiamat.” Siapakah mereka?
Golongan pertama adalah orang yang mati di jalan Allah. Ketika dia dimasukkan ke dalam neraka, dia berkata, “Ya Allah bukankah aku dulu berjihad di jalan-Mu? Aku membela agama-Mu, aku berperang dan mati dalam membela agamaMu.” “Engkau dusta. Engkau berperang supaya dianggap berani. Supaya dianggap jadi pahlawan.”

Jadi hati-hati kalau kita beramal supaya kelihatan orang, supaya dianggap hebat, supaya dianggap berani, supaya dianggap pahlawan. Bahkan mujahid Allah dikatakan Anda dusta, ditarik mukanya disungkurkan ke dalam neraka. Itulah akibat orang-orang yang suka cari popularitas, suka mencari tepuk tangan orang lain, dan kemudian bangga di hadapan orang lain.

Golongan kedua adalah orang penghafal Al Quran. Dalam surat lain disebutkan orang yang ahli agama. Dia termasuk pertama kali dimasukkan ke neraka di hari kiamat. “Ya Allah bukankah aku dulu belajar agama supaya aku bisa mengajarkan agama di jalan-Mu?” “Engkau dusta. Engkau belajar agama supaya bisa dianggap pintar. Engkau belajar agama supaya bisa dianggap alim. Engkau belajar agama supaya dihormati orang lain.” Oleh karenanya orang-orang yang belajar agama tapi niatnya bukan karena Allah SWT, tempatnya di neraka. Niatnya bukan untuk Allah, tapi untuk bangga-bangga dan kesombongannya.

Kemudian golongan ketiga adalah orang-orang yang banyak sekali hartanya dimasukkan ke dalam neraka. “Ya Allah, bukankah aku berbagi di jalan-Mu, aku memberi di jalan-Mu?.” “Engkau dusta. Engkau memberi supaya dianggap dermawan. Engkau memberi supaya dianggap orang kaya. Engkau memberi supaya dianggap orang yang paling mukhsin, paling baik kepada orang lain.”

Sunday, September 24, 2017

Mengumpat Dalam Hati

Hasil gambar untuk kemacetan

Mungkin dari kita punya kebiasaan yang kurang baik ini. Admin sendiri pernah mengumpat dalam hati. Biasanya hal ini terjadi di jalan. Entah sedang jalan kaki, lagi gowes sepeda, lagi bermotor ria,ataupun lagi naik nyetir mobil. Hal ini terjadi tanpa sadar dan reflek mengumpat, walaupun dalam hati saja. Yang mau di bahas kali ini apakah perbuatan mengumpat walau dalam hati saja di larang oleh islam?

Sebagaiamana kita sama maklum bahawa hukum mengumpat adalah haram. Mengumpat ialah menceritakan tentang aib atau keburukan seseorang yang apabila orang tersebut mendengarnya maka ia akan marah dan benci.

Dari Aisyah RA, katanya: Hindon Binti Ubah, isteri Abu Soyan masuk menemui Rasulullah SAW.lalu bertanya: Ya Rasulallah, sesungguhnya Abu Sofyan adalah lelaki yang sanqat kedekut (bakhil), dia tidak memberi nafkah yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika aku ambil saja hartanya (duitnya) tanpa pengetahuannya. Adakah aku berdosa kerana berbuat demikian? Maka jawab baginda Rasul SAW.: Ambillah hartanya (duitnya) itu dengan baik yang boleh mencukupi keperluanmu dan keperluan anak anakmu.  (Hadis Sahih Riwayat Bukhari dan Muslim)

Para ulama mengambil banyak pengajaran dari Al Hadis di atas antaranya:
Orang yang ingin mendapat fatwa dan orang yang teraniaya dibolehkan untuk menceritakan keburukan tentang orang lain yang ada kaitannya dengan perkara yang diminta fatwa atau penganiayaan itu. Perkara ini tidak termasuk ke dalam bab larangan mengumpat (Al Ghibah). Tetapi hal ini termasuk kedalam salah satu jenis mengumpat yang dikecualikan.
Dalam hal ini Imam An Nawawy dalam kitabnya Riyadhus Salihin berkata:
Ketahuilah bahawa mengumpat adalah dibolehkan atas sebab-sebab tertentu dan mengikuti lunas-lunas syara’ (agama), jika sesuatu yang penting tidak mungkin tercapai kecuali dengannya. Mengumpat yang diperbolehkan-oleh agama itu ada enam jenis:
  1. Kes Penganiayaan.
  2. Mohon Bantuan Mencegah Kemungkaran.
  3. Minta Fatwa.
  4. Mengajak Muslimin Agar Bersikap Berhati-hati.
  5. Jika Melakukan Maksiat & Bid’ah Secara Terang-terangan.
  6. Sebagai Tanda Pengenalan.
1) KES PENGANIAYAAN.
Dibolehkan kepada orang yang dianiaya untuk mengadu kepada pihak berkuasa seperti Sultan, Qadhi atau lain-lain pihak yang mempunyai kuasa untuk memberi keinsafan dan kesedaran kepada orang yang menganiaya itu. Umpamanya: Si Polan itu telah menganiaya saya begini dan begitu.
(2) MOHON BANTUAN MENCEGAH KEMUNGKARAN.
Umpamanya seseorang berkata kepada pihak polis atau bahagian pencegah maksiat: Si Polan itu telah berbuat perkara sumbang, tolong tuan cegah perkara tersebut. Maksud orang itu ialah menjadikan pihak berkuasa sebagai orang tengah untuk mencegah kemungkaran. Tetapi jika tidak dengan maksud itu maka hukumnya adalah haram.
(3) MINTA FATWA.
Umpamanya ia berkata kepada mufti atau orang yang dipercayai boleh memberi fatwa: Ayah saya atau saudara saya atau suami saya telah menganiaya saya, adakah dia boleh berbuat demikian terhadap saya, bagaimana cara supaya saya dapat terhindar dari penganiayaannya. Perkara ini dibolehkan kerana hajat. Tetapi adalah lebih baik sekiranya dengan cara sindiran sudah tercapai tujuannya. Namun demikian menyebut nama orang yang menzalimi adalah dibolehkan sebagaimana dalam kisah Hindon diatas.
(4) MENGAJAK MUSLIMIN AGAR BERSIKAP BERHATI-HATI.
Umpamanya: Kita menyebut tentang keaiban periwayat hadis seperti si polan pendusta, tidak amanah, kurang kuat ingatannya dan lain-lain. Perkara ini dibolehkan kerana tujuan kita berbuat demikian semata mata ingin menjaga keaslian hadis Rasulullah saw. Sebab tanpa berbuat demikian maka akan terdedahlah hadis Rasul saw dengan pemalsuan. Atau paling kurang supaya orang ramai jangan sampai menyangka hadis hadis tersebut sebagai hadis yang sahih. Apalagi jika orang berkenaan sememangnya orang yang suka memalsukan hadis. Dan menyatakan keaiban orang lain ini juga boleh jika kita diminta pandangan tentang peribadi seseorang yang akan menjadi rakan kongsi perniagaan , atau menitipkan amanah , atau urusan perkahwinan , demikian juga tentang berjiran dan sebagai.
(5) JIKA MELAKUKAN MAKSIAT DAN BID’AH SECARA TERANG.
Umpamanya: Minum arak secara terang terangan atau seorang guru agama yang mengajar ajaran-ajaran sesat seperti syirik dan bid’ah atau bomoh dan dukun yang menggunakan amalan amalan syirik. Kita diperbolehkan menyebut keburukan atau keaiban orang orang berkenaan supaya muslimin yang lain dapat sentiasa waspada dan tidak terpedaya oleh mereka. Tetapi dalam hal ini kita tidak boleh menceritakan cela mereka yang lain kecuali ada sebab-sebab lain yang membolehkannya sebagaimana tersebut diatas.
(6) SEBAGAI TANDA PENGENALAN.
Andaikata seseorang dikenal dengan gelaran tertentu. Umpamanya: Mamat Pincang, Jali Sumbing, Enon Gendut dan lain-lain maka dibolehkan kita menyebut sifat-sifat tersebut tetapi dengan syarat tidak dengan nada atau tujuan menghina dan merendah rendahkan. Andaikata orang tersebut sudah dapat dikenal tanpa menggunakan gelaran-gelaran diatas maka itu adalah lebih baik.
JAUHILAH MENGUMPAT YANG SIA-SIA
Firman Allah dalam Surah Al-Hujurat Ayat-12
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang; dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertaqwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani.
Pencerahan maksud mengumpat dari sabda Rasulullah:
“Adakah kamu tahu, apakah yang dikatakan dengan mengumpat itu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya sahaja yang lebih mengetahui.” Sabda Baginda, ialah kamu menceritakan tentang saudara kamu sesuatu yang dia tidak suka. Ada sahabat yang mengatakan,”Apa pandangan tuan, kalau sekiranya apa yang saya ceritakan itu memang terdapat pada saudara saya itu?.” Sabda Baginda, “Sekiranya apa yang kamu katakan itu memang ada pada saudara kamu, bermakna kamu mengumpatnya dan jika tidak ada, bererti kamu membohonginya.”
Sahih, Hadis Riwayat Muslim.
http://wanwma.com/agama/6-syarat-untuk-mengumpat/ 

Ketika Rezeki Sedang Seret...


Hasil gambar untuk rejeki

SIAPAPUN yang hidup, dia telah dijatah rizekinya oleh Allah, dan ini adalah prinsip yang harus kita tanam dalam palung hati kita.
Allah menanamkan prinsip ini dalam Al-Quran, melalui firman-Nya,
“Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat,” (QS. As-Syura: 27).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya. Beliau bersabda,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram,” (HR. Baihaqi 10185, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 7924 dan disepakati Ad-Dzahabi).
Dengan memahami prinsip ini, akan lebih mudah bagi kita untuk membangun rasa tawakkal, sehingga tidak menjadi orang yang ‘cengeng’, hanya gara-gara merasa rizEki yang tidak lancar.
Karena itu, apapun yang terjadi dengan kondisi rizeki kita, jangan sampai memicu kita melakukan tindakan pelanggaran syariat.
Selanjutnya, Islam juga mengajarkan kepada kita beberapa amalan dan doa agar rizeki semakin lancar,
Pertama, memperbanyak istighfar, memohon ampun atas dosa-dosa yang pernah kita lakukan
Di surat Nuh, Allah menceritakan wasiat yang disampaikan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada umatnya,
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai,” (QS. Nuh: 10 – 12).
Ada sebuah kisah dari Hasan al-Bashri yang menunjukkan bagaimana manfaat rajin istighfar,
“Ada orang pernah mengadukan kepada Hasan tentang musim paceklik yang terjadi. Lalu Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah.”
Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kemiskinannya. Lalu Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah.”
Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kekeringan pada lahan (kebunnya). Lalu Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah.”
Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau karena sampai waktu itu belum memiliki anak. Lalu Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah.”
Kemudian setelah itu Hasan al-Bashri membacakan surat Nuh di atas. (Disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari, 11/98).
Kedua, beberapa doa memohon diberi kelancaran rizEki,
[1] Berlindung dari kefakiran
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kemiskinan, kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu jangan sampai aku mendzalimi atau didzalimi,” (HR. Ahmad 8053, Abu Daud 1546 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
[2] Doa agar semua utang dilunasi dan dihindarkan dari kefakiran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan, jika kita hendak tidur, dianjurkan miring ke kanan, kemudian membaca doa,
“Ya Allah, Rabb yang menguasai langit yang tujuh, Rabb yang menguasai ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu. Rabb yang membelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah, Rabb yang menurunkan kitab Taurat, Injil dan Furqan (Al-Qur’an). Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya (semua makhluk atas kuasa Allah). Ya Allah, Engkau-lah yang awal, sebelum-Mu tidak ada sesuatu. Engkaulah yang terakhir, setelahMu tidak ada sesuatu. Engkau-lah yang lahir, tidak ada sesuatu di atasMu. Engkau-lah yang Batin, tidak ada sesuatu yang luput dari-Mu. Lunasilah utang kami dan berilah kami kekayaan (kecukupan) hingga terlepas dari kefakiran,” (HR. Muslim 2713)
[3] Berlindung dari kelilit utang dan kedzaliman manusia
”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan hutang dan kesewenang-wenangan manusia,” (HR. Abu Dawud 1557).
[4] Doa mohon rizki yang halal
Doa ini dibaca setiap selesai salam shalat subuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa berikut, setelah salam shalat Shubuh,
“Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat (bagi diriku dan orang lain), rizki yang halal dan amal yang diterima (di sisi-Mu dan mendapatkan ganjaran yang baik),” (HR. Ibnu Majah 925 dan dishahihkan al-Hafizh Abu Thahir).
[5] Memohon kecukupan dengan yang halal
Dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan doa berikut,
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu,” (HR. Ahmad 1319, Tirmidzi 3563 dan dihasankan al-Hafizh Abu Thahir).
[6] Memohon harta yang diberkahi,
“Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku serta ampunilah dosa-dosaku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dengan doa di atas. (HR. Bukhari dalam shahihnya 1982 dan Bukhari Adabul Mufrad 653 dan dishahihkan al-Albani)
[7] Meminta rizEki ketika shalat
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika duduk antara dua sujud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa,
Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki dan petunjuk untukku),” (HR. Ahmad 2895).

Saturday, September 23, 2017

Apakah Orang Kafir akan Dihisab di Akhirat?

Hasil gambar untuk hisab
Pada hari kiamat, Allah Ta’ala akan menampakkan amal baik dan amal buruk seorang hamba untuk memberikan balasan yang adil (hisab). Para ulama berbeda pendapat, apakah hisab pada hari kiamat ini berlaku untuk semua manusia, baik muslim ataupun kafir, atau hanya khusus berlaku untuk orang-orang beriman saja? Para ulama berbeda menjadi dua pendapat.

Pertama, orang kafir akan dihisab pada hari kiamat.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى رَبِّهِمْ قَالَ أَلَيْسَ هَذَا بِالْحَقِّ قَالُوا بَلَى وَرَبِّنَا قَالَ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

Dan seandainya kamu melihat ketika mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentulah kamu melihat peristiwa yang mengharukan). Allah berfirman, “Bukankah (kebangkitan) ini benar?” Mereka menjawab, “Sungguh benar, demi Tuhan kami.” Allah berfirman, “Karena itu rasakanlah adzab ini, disebabkan kamu mengingkari(nya)” (QS. Al-An’am [6]: 30).
Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ (25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ (26)

Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka” (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 25-26).
Mereka juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا اتَّبِعُوا سَبِيلَنَا وَلْنَحْمِلْ خَطَايَاكُمْ وَمَا هُمْ بِحَامِلِينَ مِنْ خَطَايَاهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (12) وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ (13)

Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman, “Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu.” Dan mereka (sendiri) sedikit pun tidak (sanggup) memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta. Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban- beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri. Dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan” (QS. Al-‘Ankabuut [29]: 12-13).

Pendapat Kedua, mereka tidak akan dihisab pada hari kiamat.

Para ulama yang berpendapat seperti ini berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

Sekali-kali tidak. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka” (QS. Al-Muthaffifin [83]: 15).
Maksudnya, orang-orang kafir tidak akan melihat wajah Allah Ta’ala di akhirat. [1]
Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka” (QS. Al-Qashash [28]: 78).
Mereka juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat. Dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih” (QS. Ali ‘Imran [3]: 77).
Mereka berargumentasi bahwa hari kiamat itu seperti sebuah ujian. Ujian terkadang terdapat pertanyaan dan pembicaraan secara lisan. Namun, terkadang tidak. Sehingga ayat-ayat di atas tidaklah bertentangan.

Pendapat yang Terpilih dari Dua Pendapat Di Atas

Bahwa orang-orang kafir akan dihisab di akhirat untuk menunjukkan atau menampakkan amal perbuatan mereka dan membalasnya, sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam surat Al-An’am ayat 30 di atas. Sebagaimana juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ

Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 13)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

لا يسألون سؤال شفقة ورحمة وإنما يسألون سؤال تقريع وتوبيخ

Mereka tidaklah ditanya dalam rangka belas kasihan atau memberikan rahmat Mereka itu hanyalah ditanya dalam rangka mencela dan merendahkan mereka, mengapa kalian berbuat seperti ini dan seperti itu?” [2]
Al-Hasan rahimahullah berkata,

لا يسألون سؤال استعلام وإنما يسألون سؤال تقريع وتوبيخ

Mereka tidaklah ditanya dalam rangka meminta pengakuan (atau persetujuan). Akan tetapi, mereka hanyalah ditanya dalam rangka mencela dan merendahkan mereka” [3]
Mereka tidaklah dihisab dalam ranka menampakkan dan meminta pengakuan atas amal baik dan amal buruk, karena orang-orang kafir tidaklah memiliki amal kebaikan sedikit pun. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23).
Dan di antara faidah dari hisab mereka pada hari kiamat adalah dilipatgandakannya adzab dan hukuman bagi yang semakin bertambah kekafirannya, karena neraka itu berlapis-lapis. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يُفْسِدُونَ

Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan (siksaan yang berlipat ganda, pen.) disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan” (QS. An-Nahl [16]: 88).
Wallahu a’lam. 

Puasa Arafah Bisa Menghapus Semua Dosa?

Hasil gambar untuk puasa arafah
“Diantara ibadah yang utama dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah adalah puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah)”
Dalam hadis dari sahabat Abu Qatadah dinyatakan, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa arafah dan puasa Asyuro, beliau menjawab,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Puasa satu hari Arafah (9 Dzulhijjah), saya berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Dan puasa hari ‘Asyura’ (10 Muharram), saya berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.”  (HR. Muslim, no 1162).
Hasil gambar untuk puasa arafah
Dari keterangan hadis ini kita mengetahui, puasa arafah memiliki keutamaan dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan satu tahun sesudahnya.
Namun pertanyaannya, apakah hal ini berlaku untuk seluruh dosa, sehingga seorang tidak perlu istighfar dan taubat?
Atau bila perlu seorang bisa beralasan dengan puasa Arafah untuk melegalkan maksiat yang dia lakukan?
Mari kita simak penjelasan Imam Nawawi berikut, ketika menjelaskan hadis di atas,
معناه يكفر ذنوب صائمه في السنتين، قالوا: والمراد بها الصغائر…. فإن لم تكن صغائر يرجى التخفيف من الكبائر، فإن لم يكن رفعت درجاته
Makna hadis ini, puasa arafah akan menghapus dosa selama dua tahun (yakni 1 tahun sebelum dan sesudahnya, pent) bagi orang yang melakukan puasa ini, para ulama mengatakan, ”Maksudnya dosa-dosa yang terhapus itu adalah dosa kecil.”
Bila dia tidak memiliki dosa kecil, diharapkan puasa ini menjadi penyebab meringankan dosa besar yang dia lakukan. Apabila tidak memiliki dosa besar, puasa ini akan menjadi penyebab naiknya derajat dia.  (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, 8/51)
Jadi, pembaca sekalian yang dimuliakan Allah.. dosa yang terampuni dengan sebab puasa arafah dan amal sholih lainnya, hanya dosa kecil saja. Tidak berlaku untuk dosa besar.
Maka tidak benar beralasan dengan puasa arofah, untuk menghibur diri supaya merasa aman/legal melakukan dosa besar. Karena dosa yang disinggung dalam hadis, yang terhapus dengan sebab puasa arafah, maksudnya adalah dosa kecil saja. Dosa besar, hanya terampuni dengan bertaubat yang jujur kepada Allah, yakni memohon ampunan, penyesalan, serta tekad untuk tidak mengulangi.
Justru terus-menerus melakukan dosa, tanpa ada upaya bertaubat, adalah penyebab dosa itu semakin besar di sisi Allah. Tidak ada situasi aman untuk orang-orang yang seperti ini anggapannya. Bahkan dosa kecil saja, yang dilakukan terus-menerus, bisa menjadi dosa besar, apalagi dosa besar yang dilakukan secara kontinyu dan tidak ada rasa menyesal yang mendorongnya untuk bertaubat.
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,
لا كبيرة مع الاستغفار، ولا صغيرة مع الإصرار
Tidak ada dosa besar bila disertai istighfar. Dan tidak ada istilah dosa kecil jika dilakukan terus-menerus.

Syarat Terhapusnya Dosa Kecil dengan Amal Sholih

Tidak cukup dengan melakukan amal sholih kemudian dosa kecil otomatis terhapus. Ada syarat yang harus terpenuhi untuk mendapatkan fadilah ini. Yaitu, meninggalkan dosa-dosa besar.
Selama dia masih konsisten melakukan dosa besar, tidak ada upaya untuk bertaubat, masih enjoy dengan dosa besar yang dia lakukan, maka amal shalihnya tidak akan berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa kecil.
Karena Allah ta’ala berfirman,
إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا ﴿٣١﴾
Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang untuk kalian, maka Kami akan menghapus semua dosa kecil kalian. Dan Kami  akan masukkan kalian ke surga. (QS. An-Nisa : 31).
Nabi kita –shallalllahu’alaihi wa sallam– juga bersabda,
الصلوات الخمس والجمعة الى الجمعة ورمضان الى رمضان مكفرات لما بينهما اذا اجتنبت الكبائر
Shalat lima waktu, dari satu (shalat) Jum’at ke Jumat  berikutnya, dari ramadhan ke ramadhan berikutnya, bisa menjadi penghapus dosa,  yang ada diantara keduanya, bila dosa-dosa besar dijauhi. (HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi, hadis Abi Hurairah)
Ayat dan hadis di atas menunjukkan, bahwa dosa-dosa kecil akan terhapus, apabila dosa-dosa besar ditinggalkan. Hal ini menekankan bahwa meninggalkan dosa besar adalah syarat terhapusnya dosa kecil. Artinya, amal-amal sholih tidak akan berfungsi sebagai penghapus dosa kecil, selama dosa besar belum ditinggalkan dan belum ditaubati.
Ibnul Qoyyim memaparkan, ketika membantah anggapan sebagian orang, bahwa puasa asyuro dapat menghapus seluruh dosa; baik besar maupun kecil,
وكاغترار بعضهم على صوم يوم عاشوراء أو يوم عرفة، حتى يقول بعضهم يوم عاشوراء يكفر ذنوب العام كلها ويبقى صوم عرفة زيادة في الأجر، ولم يدر هذا المغتر أن صوم رمضان والصلوات الخمس أعظم وأجل من صيام يوم عرفة ويوم عاشوراء، وهي إنما تكفر ما بينهما إذا اجتنبت الكبائر… فكيف يكفر صوم تطوع كل كبيرة عملها العبد وهو مصر عليها غير تائب منها, هذا محال..
Seperti terpedayanya sebagian orang dengan puasa asyuro dan puasa arafah. Sampai ada sebagian mereka mengatakan, puasa asyuro dapat menghapus seluruh dosa selama satu tahun. Tinggal puasa arafah berfungsi sebagai penambah pahala… Dia yang sedang terpedaya ini tidak menyadari, bahwa puasa ramadhan dan sholat lima waktu itu lebih agung dan lebih mulia dari puasa arafah dan asyuro (karena ibadah yang wajib lebih utama daripada yang sunah, pent).
Itu pun hanya berfungsi menghapus dosa kecil, jika dosa-dosa besar ditinggalkan.
Lantas bagaimana bisa dikatakan, puasa sunah sehari dapat menghapus seluruh dosa besar yang dilakukan oleh seorang hamba, sementara dia masih terus-menerus melakukan dosa besar itu. Ini mustahil..! (Al-Jawab Al-Kafi hal. 55)
Syaikh Abdulmuhsin Al-‘Abbad -hafidzohullah- (pakar hadis Madinah saat ini), di saat menerangkan hadis tentang puasa arafah dapat menghapus dosa satu tahun sesudah dan sebelumnya, beliau menerangkan senada,
ومعناه: إذا كانت الكبيرة لم تجتنب ، أو كان مصراً عليها ، فإنه لا يحصل معها التكفير
Maknanya adalah, selama dosa besar tidak dijauhi atau dia masih terus-menerus melakukannya, maka pengampunan dosa-dosa kecil ini tidak akan dia dapatkan.
(Syarah Sunan Abi Dawud, http://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=171426)
Wallahua’lam bis showab.


Read more https://konsultasisyariah.com/29956-benarkah-puasa-arafah-bisa-menghapus-semua-dosa.html

Tahiyyatul Masjid atau Qabliyyah Dulu?

Hasil gambar untuk sholat
Ada yang mengganjal dalam hati yang dari dulu admin rasakan. Baru sekarang kesampaian bikin posting ini. Ganjalan itu adalah mana yang kita dahulukan dalam sunnah bila kita takhir ke masjid: Apakah tahiyyatul masjid atau qabliyyah shalat dulu yang kita kerjakan? Tahiyyatul Masjid artinya menghormati masjid.
Cara menghormatinya adalah kalau kita masuk masjid maka kita gunakan untuk shalat sebelum kita duduk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا دخل أحدكم المسجد فليركع ركعتين قبل أن يجلس
“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid maka hendaklah dia shalat 2 rakaat sebelum duduk.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Shalat di sini umum baik shalat fardhu, shalat Qabliyyah, shalat dhuha dll. Oleh karena itu, seandainya antum masuk masjid kemudian shalat Qabliyyah maka otomatis antum sudah shalat tahiyyatul masjid. Dan tidak perlu antum shalat tahiyyatul masjid dulu baru shalat Qabliyyah.



Jika Suami Menolak Ajakan Istri

Hasil gambar untuk pasutri
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila suami mengajak istrinya ke ranjang (hubungan badan) dan dia menolak, kemudian suami marah kepadanya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR. Bukhari 3237 & Muslim 1436). Al-Imam Ibnu Abi Hamzah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut bahwa ajakan di sini adalah ajakan untuk jima’.” (Fat-hul Baari IX/294).
Nah, sekarang bagaimana dengan posisi suami yang jika diajak berhubungan oleh istrinya tapi menolak, apakah akan dilaknat malaikat juga?
Dalam hadits Nabi memang tidak dijelaskan jika suami yang menolak ajakan istri. Hal ini disebabkan karena secara umum (min baabaglabiyah) yang banyak terjadi adalah penolakan istri terhadap suaminya. Biasanya suami akan senang jika inisiatif dimulai dari istrinya. Tentu saja suami berdosa apabila ia tidak menunaikan kewajibannya yang merupakan hak istrinya untuk mendapatkan nafkah batin (hubungan biologis).
Ibadah atau pekerjaan seorang suami tidak boleh menyebabkan ia lalai dalam melayani istrinya. Kasus ini pernah terjadi ketika istri Abdullah bin Amru bin Ash mengadu kepada Nabi saw tentang suaminya yang tidak mendekatinya karena sibuk dengan pekerjaan. Nabi saw pun memanggil Abdullah. Ia beralasan tidak mendekati istrinya karena sibuk melakukan puasa pada siang hari dan shalat tahajud pada malam hari. Lalu Beliau saw bersabda, “Jangan kau lakukan lagi. Berpuasalah dan berbukalah, serta shalat malamlah dan tidurlah. Karena sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak, matamu mempunyai hak dan istrimupun mempunyai hak.”
Menjawab pertanyaan mengapa tidak ada hadits yang menyebutkan bagaimana konsekuensi suami yang menolak ajakan istrinya, perlu diketahui bahwa dalam hadits ini terkandung dua konteks.
Pertama, bahwa seorang istri wajib taat kepada suaminya selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Termasuk jika suami mengajak istrinya, sebenarnya istri harus mentaatinya. Kecuali jika istri sakit atau kelelahan, maka suami harus mengerti keadaan istrinya. Dan dalam kondisi tidak bisa memenuhi ajakan suaminya karena alasan syari tersebut, sang istri tidak terkena laknat.
Jadi yang terkena laknat adalah dengan sengaja dan tanpa alasan yang benar menolak ajakan suaminya yang seharusnya ia taati.
Kedua, dalam hadits ini dan hadits lainnya terkandung isyarat bahwa hasrat pria dan wanita sifatnya berbeda. Laki-laki hasratnya mudah tertarik dan umumnya sulit menahan diri. Sedangkan kemunculan hasrat wanita tidak semudah laki-laki.
Karenanya ketika laki-laki merasakan hal itu, Rasulullah menganjurkannya segera menemui istri dan mengajaknya.
“Jika salah seorang di antara kalian tertarik dengan seorang wanita hingga wanita itu masuk ke dalam hatinya, hendaklah ia pulang kepada istrinya dan bergaullah dengannya. Karena hal itu akan membentengi apa yang ada dalam jiwanya” (HR. Muslim).
Yang menjadi masalah, bagaimana jika istrinya tidak mau tanpa alasan yang benar? Hadits tersebut mendapatkan legitimasinya.
Lalu bagaimana jika suami yang menolak istri, mengapa tidak ada hadits seperti itu? Apakah ia tidak dilaknat, apakah ia tidak berdosa?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang kewajiban suami: “Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian” (HR. Abu Daud; shahih)
Dengan berpedoman pada hadits tersebut, dapat diqiyashkan bahwa suami wajib memenuhi keinginan istri sebagaimana ia juga mau keinginannya dipenuhi. Jadi jika istri berdosa saat menolak ajakan suami karena faktor ia tidak taat dan tidak memenuhi kewajibannya, suami yang tidak memenuhi keinginan istri tanpa alasan juga berdosa karena tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan nafkah biologis.Wallahu alam bish shawab.

Monday, September 18, 2017

Mimpi dalam Islam

Hasil gambar untuk mimpi
Mungkin anda pernah bahkan lumayan sering bermimpi dalam keheningan tidur nyenyak? Mungkin iya. mungkin tidak. Atau apakah anda pernah bermimpi? Kalau yang ini jawabanya pasti iya. Mimpi memang menjadi objek yang menarik. Karena biasanya mimpi bisa menceritakan tentang kehidupan kita, menceritakan kisah orangtua kita, yang bisa jadi itu menyenangkan ataupun tidak.
Ia bisa membuat kita meretas senyum, menstimulir cucuran keringat, atau tanpa kita sadari mimpi lah yang membangunkan kita di kehampaan malam jauh sebelum jam weker mengusik lelap kita. Bedanya ada yang bangun sambil berteriak, jantung berdegup, atau kita tak dapat mengelak untuk membiarkan jiwa menyulut istighfar.
Dalam psikologi modern, ada beberapa psikolog yang cukup fokus untuk mengkaji mimpi, salah satunya, Sigmund Freud dari mazhab psikodinamika. Menurut Sigmund Freud, stimulus dan sumber dari kemunculan sebuah mimpi ada 4, yaitu:
  1. External Sensory Stimuli
  2. Internal (subjective) Sensory Excitations
  3. Internal Organic Somatic Stimuli
  4. Psychical Source of Stimulation
Jadi kalau boleh kita sederhanakan, stimulus dan sumber tersebut bisa muncul dari dalam diri individu seperti dorongan tertentu, harapan dan keinginan-keinginan atau yang bersifat eksternal yang biasanya berasal dari pengalaman obyektif atau bisa juga karena rangsangan organ badan maupun kondisi fisik.
Namun kalau kita mengkaji lagi, hal itu diucapkan Freud bukanlah tanpa system, system psikologi seksualitas tentunya. Karena timbulnya mimpi, mayoritas sebagai pengendapan unsur libido dan id yang tak bisa terealisasi di dunia nyata, dan pada ujungnya harapan itu mengendap pada alam bawah sadar dan muncul secara “tidak fair” via mimpi.
Setelah itu, tak dapat dipungkiri manusia, bahwa mimpi adalah sebuah fenomena yang terkadang merupakan sebuah penjelasan akan terjadinya suatu hal di masa mendatang (futuristik). Problemnya kemudian, lebih daripada itu, mimpi juga ternyata bisa berubah untuk melambangkan suatu infromasi yang jauh dari tangkapan logika manusia, semisal sketsa alam ghaib yang sulit dicerna, samar-samar, absurd, dan sulit untuk dipahami. Hal ini coba dianalisa oleh berbagai pakar, khusunya ulama atau para pengkaji mimpi dengan basis agamis.
Kenapa? Pertama, mimpi yang bersifat ghaib masih intens sebelum kiamat mendera. Kedua, ini problem, karena ruang ini belum bisa difasilitasi oleh studi psikologi modern seperti psikodinamika atau behaviorisme, sebab ini berkaitan pada konteks filosofis ilmu atau epsitemologi psikologi. Hal-hal yang berbau ghaib, sulit diendus indera, jauh dari bayangan logika, pada hakikatnya akan dijauhkan dari psikologi, atau sesekali hendak dibunuh. Ini tak lain dikarenakan tajuk “klenik” memang tidak dapat dicerna oleh sensoris (pancaindera) yang melulu menjadi pegangan ilmu modern.
Alhasil jarang para psikolog modern berkutat dalam arus yang menantang ini, menjabarkan, menganalisa hingga samapai terkonversi menjadi hipotesa pasti. Dan pada akhirnya hal yang vital ini terbuang begitu saja atau paling tidak dipendam dalam alam bawah sadar manusia tanpa kita pernah memikirnya. “Hallah…Cuma mimpi ini” mungkin begitu lah sebagian kita bergumam.
Pertanyaannya, betulkah hal-hal seperti itu tak perlu dijelaskan, atau kalau mau disebut ilmiah, hal ini sebagai cerita yang tidak bisa dikaitkan dengan nalar? Lho bukannya ilmu diturunkan untuk menjawab persoalan apapun itu? Lantas apakah hal semacam ini bisa dijadikan studi, kajian ilmiah, bahkan objek penelitian? Mungkin diantara anda, yang terbiasa dengan konstruk rasionalitas dalam berpikir, akan bersifat skeptik. Tapi bagaimana dengan Islam? Ini yang menarik.
Islam, mengutip apa yang dijabarkan Muhammad Ustman Najati dalam kitabnya tentang Psikologi dalam Tinjauan hadis nabi ternyata membahas mimpi dengan mendalam. Mimpi dalam risalah hadis salah satunya disebut dengan sebutan hulm. Menurut Ahmad Mubarok, term ahlam disebut Al-Qur’an sebanyak lima kali , dua kali term al hulum (dari halama yahlumu) dalam arti mimpi “pertama” (والّذين لم يبلغوا الحلم), 131 satu kali ahlam (dari haluma yahlumu hilm) disebut dalam arti fikiran-fikiran (أم تأمرهم أحلامهم بهذا)132 dan dua kali disebut adghas ahlam, dalam arti mimpi-mimpi kalut, yakni pada surat Yusuf/12:44 dan Q/21:5.
Lompat dari hal diatas, ternyata Islam tidak berhenti menyertakan term mimpi dalam riwayat definisi, tapi Islam sampai pada melakukaan distingsi/membedakan klasifikasi mimpi yang jauh dari tangkapan psikologi modern (baca: Psikoanalisis dan Goddert ) yang hanya mengutak-atik mimpi dalam area sensoris saja. Karena jika kita susuri lebih jauh, ternyata makna dan penyebab timbulnya mimpi ditarik oleh Islam kepada sudut yang lebih paripurna dan pasti bermakna, karena ia tidak hanya terjebak pada matematika inderawi, tapi kemudian diseret kepada transfer nilai tauhidi, yang itu tidak bisa dijelaskan oleh Psikologi modern, atau neo modern sekalipun.
Menurut ulama-ulama Islam kontemporer, seperti Muhammad Usman Najati dan Azzahrani, Al Qur’an menyebut mimpi dalam dua tema, yaitu ru’ya dan adghatsu ahlam (mimpi yang sulit ditakwil). Terkadang ru’ya merupakan mimpi yang bisa menyingkap misteri alam ghaib atau kejadian yang bersifat futuristik. Ru’ya juga muncul dalam manifestasi berupa perintah yang harus diemban oleh orang yang bermimpi tersebut. Sedangkan adghatsu ahlam merupakan mimpi yang sulit ditafsirkan. Hal yang terakhir inilah yang kemudian banyak digarap psikologi modern, karena mimpi ini terklasifikasi sebagai tammpilan yang berupa symbol-simbol, lambang, sandi-sandi, yang itu semua mesti dijabarkan dalam analisa mendalam.
Dalam hadis Abu Hurairah yang dihimpun oleh Muslim disebutkan pula tiga jenis ru’ya, yaitu (1) mimpi baik yang merupakan khabar gembira dari Allah. (2) mimpi yang menyusahkan yang datang dari syaitan dan (3) mimpi yang disebabkan oleh perhatian manusia terhadap sesuatu atau hal-hal yang telah berada di alam bawah sadarnya. Dan biasanya yang ketiga ini masih standard an jarang dikaji ulama, karena bersifat keduniawian semata, walaupun Ulama seperti Azzahrani menguraikannya dengan lebar.
Al Qur’an, sebagai kitab paripurna, mengisahkan banyak sekali ru’ya yang menimpa para nabi. Misalnya tentang ru’ya nabi Ibrahim AS, yang akhirnya sebab ru’ya itulah tiap tahun kita bersama-sama merayakan idul adha. Hal ini tertera dalam surah Ash-Shafat ayat 102-105 yang artinya:
“Maka ketika anak itu sampai pada umur dewasa yakni sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku yang kusayang, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah, bagaimana pendapatmu. ‘Dia (Isma’il) menjawab,’Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatkanku termasuk orang yang bersabar. ‘Maka setelah keduanya bertekad bulat dalam berserah diri (kepada Allah) dan dibaringkan pipi (Isma’il) di atas tanah. Kemudian kami berseru kepadanya, ‘Hai Ibrahim, engkau telah benar-benar melaksakan perintahKu dalam mimpi itu. Demikianlah sesungguhnya Kami membalas orang-orang yang berlaku baik.”
Al Quran juga dengan jelas merekam Ru’ya yang tersandar pada kisah Nabi Yusuf AS. Ru’ya ini beda dengan apa yang dialami Nabiyullah Ibrahim AS, karena ru’ya yang dialami nabi Yusuf merupakan ru’ya tanda-tanda turunnya kenabian kepada beliau.
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Surat Yusuf ayat 4
Ada kisah lain juga yang tentunya menarik. Selang beberapa lama sebelum terjadi Perdamaian Hudaibiyah Nabi Muhammad s.a.w. bermimpi bahwa beliau bersama para sahabatnya memasuki kota Mekah dan Masjidil Haram dalam keadaan sebahagian mereka bercukur rambut dan sebahagian lagi bergunting. Nabi mengatakan bahwa mimpi beliau itu akan terjadi nanti. Kemudian berita Ini tersiar di kalangan kaum muslim, orang-orang munafik, orang-orang Yahudi dan Nasrani.
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan Sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat”
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan begitu ru’ya hanya menimpa Nabi-nabi Allah? Dan mustahil orang muslim biasa, terlebih kafir akan merasakannya? Setidaknya dalam surah yusuf ayat 36-41, Al Qur’an menjelaskan ru’ya membantah itu, ini sesuai dengan yang dialami dua orang pemuda yang bersama-sama Nabi Yusuf AS ketika berdoa di dalam penjara. Al Qur’an masih dalam surah yang sama juga mengisahkan tentang Ru’ya seorang Fir’aun Raja Mesir itu yang menyaksikan dalam mimpinya tujuh ekor sapi kurus memakan tujuh ekor sapi gemuk, serta melihat butiran gandum yang hijau dan tujuh butir gandum yang sudah kering. Tak lama kemudian bak interpreter mimpi, ru’ya itu kemudian dita’wil oleh Yusuf seperti yang dikisahkan dalam surat Yusuf/12: 47-49 sebagai isyarat akan datangnya musim paceklik dan cara-cara mengantisipasinya.
Kita tentu masih penasaran sampai pada satu titik kenapa ru’ya ini bisa menimpa nabi dan orang pada biasanya? Inilah sebuah penjelasan yang belum bisa ditangkap oleh psikologi modern, studi ilmiah, kajian mimpi berbasis analisa data, atau semacamnyam, bahwa pada dasarnya Allah Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta dan Zat yang Utama, mempunyai berbagai cara untuk menurunkan hikmah kepada setiap hambaNya.
Ini dapat kita tangkap melalui suatu hadis dari Abu Qatadah ra. yang mendengar Rasulullah saw. bersabda: Mimpi baik (rukyah) itu datang dari Allah dan mimpi buruk (hilm) datang dari setan. Maka apabila salah seorang di antara kalian bermimpi yang tidak menyenangkan hendaklah dia meludah ke samping kiri sebanyak tiga kali dan memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatannya sehingga mimpi itu tidak akan membahayakannya. Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim 4195.
Setelah sampai sini anda membaca. Mungkin beberapa anda dengan heran menangkap kesan terjadi dualisme term mimpi yakni, ru’ya dan ahlam sebelumhya. Apakah ada perbedaan antara Ru`ya dan Ahlam. Syaikh al-Munajjid menangkap kesan ini dan menjelaskan dalam satu sitiran satu hadis tapi vital. "Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Ru`ya Shadiqah (mimpi baik) berasal dari Allah dan ‘Hulm’ (jamaknya Ahlam) berasal dari setan." Ru`ya yang dinisbatkan kepada Allah subhanahu wata’ala tidak dikatakan Hulm dan yang dinisbatkan kepada setan tidak dikatakan Ru`ya. Perbedaan ini telah ditunjukkan oleh syari’at. Ru`ya adalah hal baik yang dilihat manusia dalam mimpinya sedangkan Hulm adalah apa yang diimpikan dan dilihat dalam mimpi. Keduanya masih sinonim." Sedangkan al-Alusi dalam tafsirnya menyebutkan, Ru`ya dan Ahlam adalah apa dilihat seorang yang tidur secara mutlak, hanya saja penggunaan Ru`ya lebih dominan untuk hal yang baik sedangkan Ahlam sebaliknya.
Klasifikasi Mimpi
Seperti yang disebut kan Syaikh Khalid al-‘Anbari, mimpi ada tiga jenis: Pertama, Ru`ya Shalihah yang merupakan kabar gembira dari Allah subhanahu wata’ala dan satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian. Kedua, Mimpi buruk dan dibenci, yaitu hal-hal menakutkan yang berasal dari syetan untuk membuat manusia bersedih dan mempermainkannya di dalam mimpi. Ketiga, Mimpi yang diakibatkan kondisi psikologis seseorang dalam keadaan jaga, lalu terbawa ke dalam mimpinya, termasuk juga hal yang biasa dilihatnya waktu jaga seperti orang yang biasanya makan pada waktu tertentu lalu tidur ketika itu, maka ia melihat dirinya makan dalam mimpi, atau merasa muak dengan makanan atau minuman, lalu bermimpi sedang muntah.
Sedangkan Menurut Usman Najati atas beberapa hadis yang disebutkan oleh Rasululllah SAW, beliau menyimpulkan pada dasarnya ada dua jenis mimpi, yakni mimpi baik yang menyebabkan manusia bahagia mimpi ini berasala dari Allah SWT. Sedangkan mimpi jenis lainnya adalah mimpi yang bisa menimbulkan rasa tidak senang yang berasal dari syaiton. Hal ini didasarkan oleh sebuah hadis.
Riwayat Bukhari ra., ia berkata: Dari Abu Sa`id Al-Khudri, bahwa sesungguhnya dia mendengar Nabi saw. bersabda: “Apabila seorang dari kamu melihat suatu mimpi yang menyenangkan maka sesungguhnya mimpi itu hanyalah dari Allah, maka hendaklah ia memuji Allah (bertahmid) atas mimpinya itu dan hendaklah ia memberitakannya. Dan apabila ia melihat (bermimpi) tidak demikian dari yang tidak menyenangkannya maka sesungguhnya mimpi itu hanyalah dari syaitan, maka hendaklah ia memmohon perlindungan (ta`wwudz kepada Allah) dari keburukaannya dan janganlah menuturkannya kepada seseorang, maka mimpi itu tidak membahayakannya (madharat)”.
Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud juga mengkuatkan hal lain bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Mimpi itu datangnya dari Allah, sedangkan mimpi lamunan itu datang dan setan.” (H.r. Bukhari).

Karenanya, Islam kemudian tidak membiarkan manusia bermimpi tanpa arti dan tanpa tidak lanjut. Islam juga tidak melenakan manusia untuk mendefenisikan mimpi sekdar matematika hampa. Karena dengan sebuah mimpi baik, Allah ingin mengajarkan kita bahwa sudah seharusnya kita bersyukur dan menafakuri kehidupan dengan jernih sebelum ajal tiba, Ia juga mendelegasikan bahwa ada hikmah dlam tiap rekam jejak kita dalam mimpi walau hanya sehelai rambut.
Selain itu juga, mimpi dalam Islam, mengajarkan kejujuran sebagai fondasi suatu amanah. Mimpi bukan pena putih yang tak bisa berwarna saat ditulis di kertas putih. Ia tidak berarti berelasi apa-apa seperti yang tertera dalam kitab psikologi modern, yang menuangkan mimpi hanya pada kanvas sensorik, elbih-lebih itu problem seksual dan nafsu ala interpretation of Dreams Sigmund Freud. Karena sebuah mimpi bisa jadi alamat petunjuk atas sebuah kisah yang penuh ibroh bagi rekosntruksi Iman. Karena itu, Nabi pernah bersabda. “Dari Nabi bahwa beliau bersabda: Ketika kiamat telah mendekat, mimpi seorang muslim hampir tidak ada dustanya. Mimpi salah seorang di antara kalian yang paling mendekati kebenaran adalah mimpi orang yang paling jujur dalam berbicara. Mimpi orang muslim adalah termasuk satu dari empat puluh lima bagian kenabian.
Mimpi itu dibagi menjadi tiga kelompok: Mimpi yang baik, yaitu kabar gembira yang datang dari Allah. Mimpi yang menyedihkan, yaitu mimpi yang datang dari setan. Dan mimpi yang datang dari bisikan diri sendiri. Jika salah seorang di antara kalian bermimpi yang tidak menyenangkan, maka hendaknya dia bangun dari tidur lalu mengerjakan salat dan hendaknya jangan dia ceritakan mimpi tersebut kepada orang lain. Beliau berkata: Aku gembira bila mimpi terikat dengan tali dan tidak suka bila mimpi dengan leher terbelenggu. Tali adalah lambang keteguhan dalam beragama.”
Salah satu hadis yang diriwayatkan dari Abi Qatadah juga menampilkan terapan praktis bagaimana sikap seorang muslim ketika mendapati dalam tidurnya mimpi baik dan mimpi yang membuat jiwa kalut.
”Ru’ya itu datangnya dari Allah dan al hulm itu datangnya dari syaitan. Maka bila salah seorang diantaramu mengalami mimpi kalut yang tidak disukainya, maka hendaknya meludah ke kiri tiga kali dan mohonlah perlindungan kepada Allah dari keburukannya, maka sesungguhnya mimpi buruk itu tidak akan membahayakannya (HR Muslim)”
Refleksi Menuju Kekuatan Tauhid
Bayangkan dari sebuah hal yang kecil saja, seperti mimpi, Islam mempunyai cara bagaimana, menjelaskan, mendefinisikan, mengklasifikasikan sampai pada tiba pada sebuah penyadaran. Subhanallah. Begitu paripurnanya Islam mengatur manusia pada sudut-sudut sempit yang sama sekali tak tergambar oleh kita.
Psiklologi mimpi dalam Islam punya relasi yang luas dan komperhensif namun sarat ilmu, iman, dan amal. Bagaimana hanya dari sebuah tayangan ketika kita tidur itu, Islam kemudian menariknya menjadi landasan tauhid. Mimpi tidak terjadi dengan sendirinya, mimpi juga bukanlah semata-mata aktivtas inderawi, pengendapan cita-cita, logika sederhana, yang dijelaskan Goddert dan Freud, karena sekalipun mimpi itu hasil jebakan syetan, tak satupun detik yang bergulir terjadi tanpa izin Allah.
Karena itu, sudah sepatutnya manusia mengingat bahwa hidup itu sebentar dan setiap kaki yang melangkah amat dekat sekali dengan kematian. Dari sini, kita juga patut menjabarkan bahwa mimpi memiliki kedua sayap dari satu tubuh yang sama, saling kontras tapi berdekatan, yakni kehidupan dan kematian. Karena bermula dari sebuah mimpi laki-laki mukmin dinyatakan baligh untuk menghirup relung-relung insani sebagai hamba yang lengkap dengan tugas-tugas imaninya di depan.
Dan dibalik itu dari sebuah mimpi dan aktivitas tidur, ternyata manusia dekat sekali dengan kematian. Karena banyak pula saudara kita yang dari tidurnya justru menjadi jalan untuk kembali ke Sang Pencipta. Alangkah meruginya jika rasio kita tidak bisa menangkap hal Ini bahwa pikiran dan ruh kita betul-betul tergenggam olehNya, terlebih dalam tidur.
Dan kita sebagai yang mengaku mukmin, kadang tidak menyadari bahwa dunia adalah media jebakan semata dan momentum ujian keimanan dari Allahu Ta’ala. Tidak ada yang “gratis” dalam hidup ini semuanya ada bayaran menjadi iman atau kufur, termasuk lewat mimpi. Terserah kita memilih yang mana. Wallahua’lam bishshawab.

Dukhon

Saat ini di dunia dan juga tentu saja termasuk indonesia, sedang perjadi pandemi yang berasal dari corona. Nama legkapnya virus corona. Ata...