Monday, May 30, 2016

Kenapa Wajah Nabi Muhammad Tidak Boleh Digambarkan?

Seperti yang kita semua tahu, Nabi Muhammad sangat dilindungi oleh umat Islam dan ini alasan wajah Nabi Muhammad tidak boleh dilukis dan dipublikasikan ke orang, bahkan umat Islam sendiri pun tidak tahu wajah Nabi-nya sendiri itu seperti apa. Apakah dengan tidak mengetahui wajah Nabi Muhammad, para pemeluk Islam benar-benar bangga akan hal itu? Tapi apa alasannya? Ada juga yang penasaran mengapa lukisan wajah asli Nabi Muhammad tidak pernah ditemukan dan jawabannya bakal kita ulas kali ini supaya bisa menjawab pertanyaan banyak orang, termasuk orang-orang Islam sendiri yang mungkin juga tengah bertanya-tanya.
Ini Alasan Wajah Nabi Muhammad Tidak Boleh Dilukis dan Lukisannya pun Tidak Pernah Ditemukan
Sederhana sekali jawaban dari alasan mengapa lukisan wajah Nabi Muhammad tidak pernah ada dan itu karena pada zamannya, kamera belumlah ditemukan dan tidak ada satu orang pun yang melukis wajahnya. Menggambar wajah Nabi Muhammad pun dianggap suatu hal yang haram dan untuk alasan itu umat Islam berbangga karena keaslian ajaran Islam sangat dijaga oleh Islam sendiri dan inilah bukti otentik. Melukis wajah Nabi Muhammad dianggap haram dan dilarang karena kemurnian aqidah kaum muslimin haruslah dijaga. Penyembahan berhala bermula dari lukisan-lukisan orang-orang shalih meliputi Nasr, Ya’uq, Yaguts, Suwa’ dan Wadd oleh kaum Nabi Nuh.
Kenapa Nabi Muhammad SAW tidak boleh dilukis atau digambar? Tentu salah satunya adalah supaya tidak menimbulkan penyembahan berhala. Awal lukisan orang-orang sholih tersebut memang tadinya hanya dengan tujuan mengenang mereka dan kesholihan mereka, saat itu memang lukisan mereka belumlah disembah, tapi setelah itu tidak lama gambar-gambar tersebut pun disembah oleh generasi berikutnya yang tidak tahu-menahu dan tidak mengerti apa maksud dibuatnya lukisan-lukisan orang sholih itu. Syetan pun akhirnya menggoda dan mempengaruhi generasi baru untuk melakukan penyembahan berhala dan itu artinya, patung serta lukisan orang-orang sholih pun disembah, padahal seharusnya hanya teladan dan kesholihan mereka saja yang perlu diingat dan dicontoh.

Kenapa Islam melarang menggambar sosok Nabi Muhammad SAW adalah karena dengan adanya lukisan sang Nabi, nantinya bisa membawa umat Islam kepada paganisme atau pemberhalaan. Agama Islam tidak pernah mengajarkan berhala dan tentu berhala adalah hal yang perlu dijauhi oleh umat Islam. Dikatakan dari Aisyah radhiyallahu‘anha bahwa saat Rasulullah sakit, sebuah gereja disebut-sebut oleh sebagian istri beliau dan namanya adalah Maria yang mereka lihat ada di negeri Habasyah. Istri-istri beliau pernah mengunjungi Habasyah dan memuji akan indahnya gambar-gambar yang terdapat di dalamnya, namun kelakuan orang-orang ahli kitab dicela oleh Rasulullah karena orang-orang sholih telah dikultuskan dengan membuat lukisan serta patung supaya dipuja-puja.
Apakah dulu Nabi Muhammad SAW boleh digambar? Jawabannya sudah pasti tidak seperti yang telah diberitahukan sebelumnya, tidak ada seorang pun yang melakukannya pada waktu beliau masih hidup. Dalam salah satu sabdanya pun Rasulullah menyatakan bahwa siapapun yang menyerupai suatu kaum, jadilah ia seperti dan bahkan dikategorikan golongan mereka. Ada juga pesannya akan supaya orang-orang tidak menyanjungnya secara berlebihan karena Rasulullah adalah hamba Allah SWT dan Rasul yang diutus-Nya saja.
Ada juga larangan yang dinyatakan akan menggambar Rasulullah karena ada kesempatan yang terbuka menuju ke arah penistaan terhadap pribadi Rasulullah sendiri. Bila tidak ada lukisan Rasulullah, orang fasiq dan kafir tidak akan bisa membuat gambarannya apalagi untuk tujuan tidak baik. ini alasan wajah Nabi Muhammad tidak boleh dilukis dan yang bisa melihat adalah cuma orang-orang beriman saja.


Islam - Iman - Ihsan

Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.” Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda. Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).” Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)

Monday, May 16, 2016

Tundukan Pandanganmu


Kenapa Setelah Menikah Istri Terlihat Kalah Cantik Dibanding Wanita Lain?
Seorang suami mengadukan apa yang ia rasakan kepada seorang Syekh.
Dia berkata: "Ketika aku mengagumi calon istriku seolah-olah dalam pandanganku Allah tidak menciptakan perempuan yang lebih cantik darinya di dunia ini. Ketika aku sudah meminangnya, aku melihat banyak perempuan seperti dia. Ketika aku sudah menikahinya aku lihat banyak perempuan yang jauh lebih cantik dari dirinya. Ketika sudah berlalu beberapa tahun pernikahan kami, aku melihat seluruh perempuan lebih manis dari pada istriku."
Syekh berkata: "Apakah kamu mau aku beritahu yang lebih dahsyat dari pada itu dan lebih pahit?" 
Laki-laki penanya: "Iya, mau."
Syekh: "Sekalipun kamu mengawini seluruh perempuan yang ada di dunia ini pasti anjing yang berkeliaran di jalanan itu lebih cantik dalam pandanganmu dari pada mereka semua." Laki-laki penanya itu tersenyum masam, lalu ia berujar: "Kenapa tuan Syekh berkata demikian?" Syekh: "Karena masalahnya terletak bukan pada istrimu. Tapi masalahnya adalah bila manusia diberi hati yang tamak, pandangan yang menyeleweng, dan kosong dari rasa malu kepada Allah, tidak akan ada yang bisa memenuhi pandangan matanya kecuali tanah kuburan.

Rasulullah bersabda:
لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَانِيًا، وَلَنْ يَمْلأَ فَاهُ إِلا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
"Andaikan anak Adam itu memiliki lembah penuh berisi emas pasti ia akan menginkan lembah kedua, dan tidak akan ada yang bisa memenuhi mulutnya kecuali tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa yang mau bertaubat".
Jadi, masalah yang kamu hadapi sebenarnya adalah kamu tidak menundukkan pandanganmu dari apa yang diharamkan Allah.
Sekarang, apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan mengembalikan kecantikan istrimu seperti pertama kali kamu mengenalnya? Ketika ia menjadi wanita tercantik di dunia ini?"
Laki-laki penanya: "Iya, mau sekali."
Syekh: "Tundukan Pandanganmu"

Sunday, May 15, 2016

Larangan Mencela Para Sahabat Nabi SAW

Imâm an-Nawawî rahimahullâhu berkata :
“Sahabat adalah setiap muslim yang melihat Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam walaupun hanya sekilas. Pendapat inilah yang benar mengenai batasan (seseorang dikatakan sebagai) sahabat dan inilah madzhab yang dipegang oleh Ahmad bin Hanbal dan Abū ‘Abdillâh al-Bukhârî di dalam Shahîh-nya serta seluruh ulama ahli hadits.”
(Syarhul Muslim 1/35)
Beliau rahimahullâhu juga berkata :
“Sesungguhnya yang benar adalah pendapat jumhur, yaitu seluruh muslim yang melihat Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam walaupun hanya sesaat, maka ia termasuk sahabat beliau.”
(Ibid : 16:85)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullâhu berkata :
“Sahabat adalah orang yang melihat Rasulullah Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan Islâm ketika melihatnya, walaupun tidak lama dan tidak meriwayatkan satu haditspun dari beliau. Dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, baik kholaf (kontemporer) maupun salaf (terdahulu).
(al-Bâ’its al-Hatsîts : II/491).
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Aqsolânî rahimahullâhu berkata :
“Yang paling benar sejauh penelitian saya tentang hal ini adalah, sahabat adalah orang yang menjumpai Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan mengimani beliau dan wafat dalam keadaan Islâm. Termasuk sahabat adalah orang yang menjumpai beliau, baik dalam waktu yang lama maupun singkat, baik meriwayatkan (hadits) dari beliau maupun tidak meriwayatkan, baik yang turut berperang beserta beliau maupun yang tidak, orang yang melihat beliau walaupun belum pernah menemani beliau, dan orang yang tidak melihat beliau disebabkan sesuatu hal seperti buta…” Kemudian al-Hâfizh melanjutkan perkataannya : “Definisi ini dibangun di atas pendapat yang paling benar dan terpilih menurut para ulama peneliti (muhaqqiqîn), semisal al-Bukhârî dan guru beliau, Ahmad bin Hanbal, dan yang meneladani mereka berdua. Adapun pendapat selain ini merupakan pendapat yang ganjil (syâdzah).”
Ibnu Katsîr rahimahullâhu berkata :
“Status sahabat dapat diketahui acap kali dengan (berita) yang mutawatir, atau berita yang mustafîdhah (banyak namun di bawah derajat mutawatir), atau dengan kesaksian sahabat yang lain, atau bisa juga dengan meriwayatkan hadits NAbî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, baik secara simâ’ (mendengar) ataupun menyaksikan, selama satu zaman (dengan NAbî).”
(al-Ba’îts al-Hatsîts II/491)
Larangan Mencela Para Sahabat.
Para ilmuan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah melarang sesiapa daripada mencela para sahabat. Sesiapa mencela para sahabat dianggap telah melakukan kesalahan yang besar dan layak dihukum.
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘ahnu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,: ”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.”
(Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Manaqib, Bab Qauluhu Lau Itakhadztu Khalilan, no. 3397 dan lafaz ini adalah lafaz Al Bukhari).
(Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Fadhail Al Sahabat, Bab Tahrim Sabbi Ash Shahabat, no. 4610 dan 4611).
(Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Al Manaqib ‘An An Nabi, Bab Fiman Sabba Ashabi An Nabi, no. 3796).
Imam ath-Thahawi berkata di dalam Kitab ‘aqidah-nya :
“Kami mencintai sahabat-sahabat Rasulullah saw dan kami tidaklah melepaskan kecintaan kami dan berlepas diri (baro’) terhadap salah seorang pun dari mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan tidak mau menyebutkan kebaikan mereka. Kami tidak mau menyebut mereka melainkan dengan kebaikan. mencintai mereka adalah bagian dari agama, iman dan ihsan, sedangkan membenci mereka merupakan kekufuran, nifaq dan perbuatan melampaui batas.”
Imam al-Baghowi di dalam Syarhus Sunnah mengatakan :
“Imam Malik berkata, barangsiapa yang membenci salah seorang sahabat Rasulullah saw, maka akan menancap di dalam hatinya kedengkian yang menyebabkan dirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta rampasan (fai’) kaum muslimin.”
Imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitab beliau,as-Sunnah, berkata :
“Termasuk sunnah adalah menyebutkan kebaikan-kebaikan seluruh sahabat Rasulullah saw dan menahan diri dari berbicara tentang perkara yang terjadi di antara mereka. Barangsiapa yang mencela sahabat Rasulullah saw atau salah seorang dari mereka, maka ia adalah seorang ahli bid’ah Rafidhi. Mencintai sahabat adalah sunnah, mendoakan mereka adalah ibadah, meneladani mereka adalah wasilah (cara) dan mengambil atsar mereka adalah keutamaan.”
Imam Abu ‘Utsman ash-Shobuni di dalam kitabnya, ‘Aqidatus Salaf wa AshhAbîl Hadits mengatakan :
“(Kaum salaf dan ashhAbîl hadits) berpandangan untuk menahan diri dari (memperbincangkan) perselisihan yang terjadi di tengah sahabat Rasulullah saw, menyucikan lisan dari menyebutkan aib-aib (keburukan) dan kekurangan mereka dan mendoakan rahmat (tarahum) bagi semuanya serta memberikan kecintaan (wala’) bagi seluruhnya.”
Abu Zur‘ah al-Razi rahimahullah (264H) berkata:
"Bila engkau melihat seseorang memburuk-burukkan salah seorang daripada sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka ketahuilah bahawa orang itu zindik (yang lahirnya kelihatan Islam tetapi hakikatnya kafir). Ini kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di sisi kita adalah benar, al-Qur’an adalah benar dan apa yang datang dengannya adalah benar. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah telah disampaikan kepada kita hanya menerusi para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka (yang memburuk-burukkan sahabat) mahu mencacatkan saksi-saksi kita dengan tujuan untuk membatalkan (menimbulkan keraguan terhadap) ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu sendiri. Oleh kerana tujuan mereka begitu, maka merekalah yang lebih patut dicacatkan dan mereka adalah golongan zindik."
(Diriwayatkan oleh al-Khatib di dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, ms. 49 (Bab Berkenaan pengiktirafan Allah dan Rasul-Nya akan sifat adil para sahabat).
Berkata al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah (544H):
"Mencela dan memburuk-burukkan Ahl al-Bait, para isteri dan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah haram serta dilaknati ke atas pembuatnya.
(al-Syifa’, jld. 2, ms. 246).
Malik bin Anas rahimahullah (179H) berkata:
"Sesiapa yang mencaci Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka dia dibunuh manakala sesiapa yang mencaci para sahabatnya maka dihukum."
(Diriwayatkan oleh al-Qadhi ‘Iyadh di dalam al-Syifa’, jld. 2, ms. 246).
al-Nawawi rahimahullah berkata:
"Ketahuilah bahawa mencela para sahabat radhiallahu 'anhum adalah haram, ia termasuk perkara keji yang diharamkan sama ada kepada mereka yang terlibat di dalam peristiwa fitnah atau selainnya. Ini kerana mereka adalah para mujtahid di dalam peperangan tersebut. al-Qadhi (‘Iyadh) menambah: Mencela salah seorang daripada sahabat merupakan kesalahan yang besar. Pandangan kami serta pandangan jumhur ilmuan adalah mereka itu dihukum tetapi tidaklah dibunuh. Namun menurut sebahagian ulama’ Maliki mereka itu dibunuh."
(Syarh Shahih Muslim bi al-Nawawi, jld. 16, ms. 93).
Berkata Ibn Taimiyah rahimahullah:
Adapun orang yang mencela salah seorang daripada para sahabat Rasulullah, sama ada dari kalangan Ahl al-Bait baginda atau selain mereka, (Ahl al-Bait adalah ahli keluarga Rasulullah, mereka termasuk dalam keumuman kategori sahabat.) maka menurut al-Imam Ahmad dia dipukul dengan sekeras-kerasnya, namun tidak dihukum sebagai kafir mahupun dibunuh. Berkata ‘Abd Allah (bin Ahmad bin Hanbal), aku bertanya kepada ayahku, siapakah al-Rafidhah? Beliau menjawab: Mereka ialah golongan yang mencela atau mencaci-maki Abu Bakar serta Umar radhiallahu ‘anhuma.
(Nukilan berpisah daripada al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul (Dar Ibn Hazm, Beirut 1417H), jld. 3, ms 1055-1056).
Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah juga mengulas hal yang sama:
Para ilmuan berselisih pendapat tentang hukum orang yang mencela para sahabat. Berkata (al-Qadhi) ‘Iyadh, menurut jumhur ilmuan mereka dihukum manakala menurut sebahagian ilmuan Mazhab Maliki, mereka dibunuh. Sebahagian ilmuan Mazhab al-Syafi’e hukum sedemikian (hukum bunuh) dijatuhkan kepada sesiapa yang mencela Abu Bakar dan ‘Umar serta Hasan dan Husain (dua cucu Rasulullah). Ini dihikayatkan oleh al-Qadhi Husain dan diperkuatkan oleh al-Subki kepada sesiapa yang mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar.
( Fath al-Bari, jld. 7, ms. 36).
Demikianlah pandangan para ilmuan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah ke atas orang-orang yang mencela para sahabat radhiallahu 'anhum.
Semoga Allah memberinya ganjaran yang terbaik, telah mengemukakan sejumlah fatwa daripada para tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sejak dari zaman awal berkenaan hukum yang layak ke atas orang yang mencela para sahabat radhiallahu 'anhum. Di sini kami hanya mengemukakan sebahagian daripadanya memandangkan kebanyakan daripada fatwa tersebut adalah hampir sama.
Para pembaca akan mendapati sebahagian daripada fatwa ini menjatuhkan hukum yang saling berbeza. Perbezaan ini bukanlah sesuatu yang saling bertentangan, tetapi saling menguat antara satu sama lain. Tahap hukum yang berbeza dijatuhkan kepada individu yang berbeza bergantung kepada kadar celaan yang mereka berikan kepada para sahabat dan luasnya fitnah yang terhasil daripada perbuatan mencela mereka itu.
Walaubagaimanapun, manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebelum menjatuhkan hukuman ialah memastikan hujah yang benar lagi jelas telah ditegakkan kepada orang yang melakukan perbuatan mencela para sahabat. Tidak boleh menghukum orang yang jahil, keliru atau tidak sengaja.
Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kami, mereka dan seluruh kaum muslimin, dan mempersatukan hati-hati kita di atas al-Qur`an dan as-Sunah menurut pemahaman salaful ummah.

Al Quran dan Keistimewaannya

1. Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah Saw. (HR. Muslim)
taroktu fiikum amraini maa lan tadhilla ba`dahuu maa ini` tashomtum bihii kitaaballaahi wa sunnata rasuulihi
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا لَنْ تَضِلُّ بَعْدَهُ اِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كَتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ

2. Sesungguhnya Allah, dengan kitab ini (Al Qur'an) meninggikan derajat kaum-kaum dan menjatuhkan derajat kaum yang lain. (HR. Muslim)
 
Penjelasan:
Maksudnya: Barangsiapa yang berpedoman dan mengamalkan isi Al Qur'an maka Allah akan meninggikan derajatnya, tapi barangsiapa yang tidak beriman kepada Al Qur'an maka Allah akan menghinakannya dan merendahkan derajatnya.

3. Apabila seorang ingin berdialog dengan Robbnya maka hendaklah dia membaca Al Qur'an. (Ad-Dailami dan Al-Baihaqi)

4. Orang yang pandai membaca Al Qur'an akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti, dan yang membaca tetapi sulit dan terbata-bata maka dia mendapat dua pahala. (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Sebaik-baik kamu ialah yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya. (HR. Bukhari)

6. Orang yang dalam benaknya tidak ada sedikitpun dari Al Qur'an ibarat rumah yang bobrok. (Mashabih Assunnah)

7. Barangsiapa mengulas Al Qur'an tanpa ilmu pengetahuan maka bersiaplah menduduki neraka. (HR. Abu Dawud)

Penjelasan:
Maksud hadits ini adalah menterjemah, menafsirkan atau menguraikan Al Qur'an hanya dengan akal pikirannya sendiri tanpa panduan dari hadits Rasulullah, panduan dari para sahabat dan ulama yang shaleh, serta tanpa akal dan naqal yang benar.

8. Barangsiapa menguraikan Al Qur'an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan. (HR. Ahmad)

9. Barangsiapa membaca satu huruf dari Al Qur'an maka baginya satu pahala dan satu pahala diganjar sepuluh kali lipat. (HR. Tirmidzi)

Friday, May 6, 2016

Dejavu Dalam Islam



Ini pernah saya rasakan lebih dari sekali. Baik terhadap obyek yang berupa orang maupun keadaan lingkungan sekitar. Saya kasih sedikit gambaran tentang dejavu.

Ketika kamu diperkenalkan dengan seseorang, pernahkah tersirat perasaan dalam hatimu, “Rasanya saya pernah bertemu orang ini. Di mana, ya?” Padahal, kamu belum pernah bertemu sebelumnya. Itu disebut gejala deja vu. Déjà vu adalah suatu perasaan aneh ketika seseorang merasa pernah berada di suatu tempat sebelumnya, padahal belum. Atau, merasa pernah mengalami suatu peristiwa yang sama persis, padahal tidak. Konon, orang tang sering mengalami hal itu memiliki bakat spiritual tinggi. Kalau menurut saya ngga segitunya kale...

Para skeptis menganggap itu hanya sensasi. Namun banyak juga ahli yang percaya bahwa hal itu memang nyata adanya. Ada yang menyebut bahwa peristiwa yang dirasakan berlangsung pada kehidupan silam. Ini bagi penganut paham reinkarnasi. Bagaimana bagi orang islam? Surat Al Hadid ayat 22 di atas memberi sekilas isyarat. Bahwa segala sesuatu yang belum terjadi, sudah tertulis dalam kitab. Lihatlah juga surat Ash-Shaaffaat (37) ayat 96, “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat."

Semua peristiwa yang terjadi di bumi dan semua perbuatan kita memang sudah ada sejak awal. Lalu, akan terjadi satu per satu secara berurutan. Dan pada waktunya, akan terekam dalam saraf penyimpan di otak, mungkin suatu ketika terjadi short-circuit, korslet di otak seseorang. Lintasan listrik di otak melompat nyerempet sinyal ke wilayah yang belum terjadi. Maka orang merasa sudah pernah mengalami atau melihat sesuatu. Padahal yang terjadi adalah dia “pernah” melihat, tetapi di masa depan. Selama ini “pernah” hanya dikaitkan dengan masa lalu. Gejala déjà vu memperluas makna “pernah” hanya dikaitkan dengan masa lalu. Gejala déjà vu memperlus makna “pernah” ke masa lalu dan juga masa depan.

Aneh? Tidak juga. Kita lihat dalam Surat Al Fath ayat 27, Allah membuka peristiwa ketika nantinya Rasulullah Saw. Memasuki Mekah dengan aman. Padahal, itu belum terjadi. Lalu Surat Ar-Ruum (30) ayat 2-4 yang berisi tentang kemenangan Romawi atas Persia, padahal itu baru terjadi beberapa tahun kemudian, itu contoh penyingkapan terhadap peristiwa yang belum terjadi bagi siapapun yang membaca Al Quran. Ternyata, selain kepada para nabi, kadang-kadang Allah memberi “bocoran” masa depan kepada manusia biasa juga. Masa depan memang sudah ada saat ini. Hanya saja, kebanyakan manusia tidak bisa melihatnya. Kecuali mungkin sekilas déjà vu yang dialami segelintir orang tadi.

Wallahu a’lam.

Thursday, May 5, 2016

Manusia Bertangan Emas

Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan orang yang mula-mula masuk Islam. Ia juga tergolong sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah masuk surga dan termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah setelah Umar bin Al-Khathab. Di samping itu, ia adalah seorang mufti yang dipercayai Rasulullah berfatwa di Madinah selama beliau masih hidup.

Pada masa Jahiliyah, ia dikenal dengan nama Abd Amr. Setelah masuk Islam, Rasulullah memanggilnya Abdurrahman bin Auf. Ia memeluk Islam sebelum Rasulullah menjadikan rumah Al-Arqam sebagai pusat dakwah. Ia mendapatkan hidayah dari Allah dua hari setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq memeluk Islam.

Seperti kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam lainnya, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Namun ia tetap sabar dan tabah. Abdurrahman turut hijrah ke Habasyah bersama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan Quraiys.

Tatkala Rasulullah SAW dan para sahabat diizinkan Allah hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor kaum Muslimin. Di kota yang dulu bernama Yatsrib ini, Rasulullah mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi Al-Anshari.

Sa'ad termasuk orang kaya diantara penduduk Madinah, ia berniat membantu saudaranya dengan sepenuh hati, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya berkata, "Tunjukkanlah padaku di mana letak pasar di kota ini!"

Sa'ad kemudian menunjukkan padanya di mana letak pasar. Maka mulailah Abdurrahman berniaga di sana. Belum lama menjalankan bisnisnya, ia berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk mahar nikah. Ia pun mendatangi Rasulullah seraya berkata, "Saya ingin menikah, ya Rasulullah," katanya.

"Apa mahar yang akan kau berikan pada istrimu?" tanya Rasul SAW.

"Emas seberat biji kurma," jawabnya.

Rasulullah bersabda, "Laksanakanlah walimah (kenduri), walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu."

Sejak itulah kehidupan Abdurrahman menjadi makmur. Seandainya ia mendapatkan sebongkah batu, maka di bawahnya terdapat emas dan perak. Begitu besar berkah yang diberikan Allah kepadanya sampai ia dijuluki 'Sahabat Bertangan Emas'.

Pada saat Perang Badar meletus, Abdurrahman bin Auf turut berjihad fi sabilillah. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, di antaranya Umar bin Utsman bin Ka'ab At-Taimy. Begitu juga dalam Perang Uhud, dia tetap bertahan di samping Rasulullah ketika tentara Muslimin banyak yang meninggalkan medan perang.

Abdurrahman bin Auf adalah sahabat yang dikenal paling kaya dan dermawan. Ia tak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk jihad di jalan Allah. Pada waktu Perang Tabuk, Rasulullah memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta benda mereka. Dengan patuh Abdurrahman bin Auf memenuhi seruan Nabi SAW. Ia memelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah
emas.

Mengetahui hal tersebut, Umar bin Al-Khathab berbisik kepada Rasulullah, "Sepertinya Abdurrahman berdosa karena tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya."

Rasulullah bertanya kepada Abdurrahman, "Apakah kau meninggalkan uang belanja untuk istrimu?"

"Ya," jawabnya. "Mereka kutinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang kusumbangkan."

"Berapa?" tanya Rasulullah.

"Sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah."

Pasukan Muslimin berangkat ke Tabuk. Dalam kesempatan inilah Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperoleh siapa pun. Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah terlambat datang. Maka Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam shalat berjamaah. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu shalat di belakangnya dan mengikuti sebagai makmum. Sungguh tak ada yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad SAW.

Setelah Rasulullah wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu mulia itu bila mereka bepergian.

Suatu ketika Abdurrahman bin Auf membeli sebidang tanah dan membagi-bagikannya kepada Bani Zuhrah, dan kepada Ummahatul Mukminin. Ketika jatah Aisyah ra disampaikan kepadanya, ia bertanya, "Siapa yang menghadiahkan tanah itu buatku?"

"Abdurrahman bin Auf," jawab si petugas.

Aisyah berkata, "Rasulullah pernah bersabda, 'Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku kecuali orang-orang yang sabar."

Begitulah, doa Rasulullah bagi Abdurrahman bin Auf terkabulkan. Allah senantiasa melimpahkan berkah-Nya, sehingga ia menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Bisnisnya terus berkembang dan maju. Semakin banyak keuntungan yang ia peroleh semakin besar pula kedermawanannya. Hartanya dinafkahkan di jalan Allah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Walau termasuk konglomerat terbesar pada masanya, namun itu tidak memengaruhi jiwanya yang dipenuhi iman dan takwa.

Berbahagialah Abdurrahman bin Auf dengan limpahan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya. Ketika meninggal dunia, jenazahnya diiringi oleh para sahabat mulia seperti Sa'ad bin Abi Waqqash dan yang lain. Dalam kata sambutannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, "Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah selalu merahmatimu." Amin.

Tuesday, May 3, 2016

Jangan Lihat Tampilan Luar Saja

Orang bijak adalah orang yang melihat sebuah masalah atau persoalan secara utuh, bukan sekadar dilihat dari kaca mata lahir saja. Tapi diteropong pula dengan penglihatan bathin. Sebab terkadang tampilan keren atau kulit yang halus dan menarik tidak selalu menggambarkan hakikat isi yang sebenarnya.

Orang-orang munafik, secara lahir tak berbeda dengan orang-orang mukmin. Tapi substansinya jelas tak sama. Justru dalam bathin mereka tersimpan, kelicikan, kebusukan, kebencian dan dendam kesumat terhadap Muhammad saw dan umatnya. Walaupun secara zahir, mereka mencintai dan beramal seperti amalan orang-orang mukmin. Jika kaum mukminin lengah, mereka siap menelikung, dan menghancurkan Islam hingga ke akar-akarnya.

Salah dalam menilai suatu masalah, akan berakibat fatal. Membuat kita terpuruk, terpedaya dan tertipu. Dan bisa pula menetaskan penyesalan yang berkepanjangan. Syekh Mustafa Siba’i dalam bukunya “Hakadza ‘allamatni al hayat” pernah mewanti-wanti kita agar tidak menilai sebuah persoalan dari kulitnya saja dan menafikan isinya.
• Jangan tertipu dengan kemasan makanan yang menarik (dan mengundang selera) sebelum engkau mengetahui faedahnya.
• Jangan silau oleh deraian air mata seorang yang ‘berlabel’ zuhud sehingga engkau melihat keistiqamahannya di atas jalan-Nya.
• Jangan engkau terpesona dengan janji manis seorang penguasa sehingga engkau mengetahui keindahan akhlaknya.
• Jangan engkau tergesa-gesa mengelompokkan seseorang sebagai ‘alim’ sehingga para ulama lain memberikan kesaksian untuknya.

Di zaman ini, banyak makanan dikemas dalam tampilan menarik dan cantik serta memikat tetapi tak mendatangkan manfaat apapun bagi tubuh kita. Dan bahkan ada yang mendatangkan bahaya bagi nyawa kita. Seperti berkolesterol tinggi dan memiliki kadar gula yang tinggi. Islam memberikan arahan yang jelas agar kita memilih dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang ‘halal’ lagi ‘thayyib’. Sebab makanan yang kita konsumsi memiliki dampak nyata pada jasmani dan ruhani kita. Dunia dan akherat kita.

Makanan yang halal; artinya proses pencapainya sesuai dengan koridor syar’i, tidak melanggar rambu-rambu Allah dan Rasul-Nya. Makanan halal berperan besar dalam mensucikan jiwa kita, erat hubungannya dengan keterkabulan do’a, keshalihan pribadi, kepribadian yang menarik dan menghadirkan rasa aman dalam hati serta memuluskan jalan kita menuju ke surga-Nya. Sedangkan makanan yang thayyib, yang tentunya bergizi dan berkwalitas. Meskipun tidak harus mahal harganya. Ia sangat erat hubungannya dengan kesehatan tubuh kita dan memberikan kekuatan dan bantuan signifikan saat kita mendaki puncak ubudiyah serta menjadi bekal perjalanan kita menuju Allah Swt.

Tidak sedikit orang yang menilai zuhud itu dari tampilan luar. Orang yang sering meneteskan air mata. Berpakaian lusuh, rambut tak teratur. Bau badan tak sedap. Mengabaikan kenikmatan dunia. Di tangannya melingkar tasbih dan seterusnya. Tapi sejatinya orang zuhud itu adalah orang yang mampu menjadikan dunia hanya berada di tangannya dan tidak pernah singgah di hatinya. Hal ini senada dengan do’a yang pernah dilantunkan oleh Abu Bakar ra, “Ya Allah, jadikanlah dunia berada dalam genggaman tanganku, dan bukan masuk ke dalam hatiku.” Jadi zuhud tak diukur dengan pakaian luar, tapi dari kebersihan pakaian bathin dan keistiqamahan kita di atas jalan ketaatan. Ubudiyah madal hayat, berada di jalur ibadah sepanjang hayat. Tak terpengaruh oleh pergantian musim dan waktu.

Penguasa yang adil, mendapat jatah naungan Allah Swt pada hari kiamat bersama enam kelompok lainnya. Di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Bahkan ia disebutkan Nabi saw di urutan pertama. Itu artinya menjadi penguasa yang adil, memiliki kedudukan yang lebih tinggi ‘dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya’ daripada remaja yang rajin beribadah, seseorang yang hatinya terikat dengan masjid, dua orang yang bersaudara karena Allah Swt, orang yang mampu menghindari ajakan zina dari wanita yang berpengaruh lagi cantik jelita lantaran takut kepada Allah Swt, orang yang melakukan sedekah secara rahasia dan orang yang meneteskan air mata karena takut siksa-Nya. Namun hal ini memberi sinyal bahwa jalan yang harus ditempuh untuk menjadi penguasa yang adil, jauh lebih sulit dan berat daripada jalan enam kelompok lainnya.

Sebaliknya penguasa yang zalim, akan masuk neraka terlebih dahulu sebelum kelompok yang lainnya.
Fakta berbicara, ucapan dan janji manis para penguasa sering meleset. Kepentingan rakyat tak jarang dikorbankan. Para pejabat yang setia dan membantunya dengan tulus, justru dicampakkan dan diabaikan ketika tak sejalan dengan kebijakan politiknya yang sebenarnya jauh dari kata bijak. Tatapan matanya pun menyiratkan tatapan mata penuh curiga terhadap orang-orang yang dekat dengannya. Tak jarang kritik dan saran membangun dimaknai sebagai upaya penggeseran dirinya dan makar.
Saudaraku..
Ulama atau ahli ilmu, tidak diukur dari penampilannya yang terkesan meyakinkan. Jubah putih yang selalu dikenakannya setiap hari. Kopiah haji yang menghiasi kepalanya. Jenggot yang lebat menghiasi kefasihan membaca al Qur’an dan hadits. Menjadi rujukan fatwa dan seterusnya.
Parameter seseorang dapat disebut ‘alim’ adalah orang yang dapat menjadikan ilmunya sebagai jembatan menuju khasyiyah, takut kepada Allah yang disertai dengan ta’zhim; mengagungkan-Nya. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir: 28).
Ayat ini menjadi acuan bahwa orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah, meskipun ia mempunyai segudang ilmu, maka ia tidak layak diberi gelar ‘ulama’. Sebaliknya rasa takut kepada Allah tanpa didasari dengan ilmu, maka hal itu merupakan rasa takut yang semu atau palsu. Sehingga ulama merupakan perpaduan antara kekuatan ilmu dan kesempurnaan khasyiyah. Jika kita belajar dari salafus shalih, maka kita dapati bahwa di antara mereka tulus dalam memberikan kesaksian dan pujian terhadap ulama lain yang hidup sezaman dengannya perihal keshalihan, zuhud, keluasan ilmu dan ahli ibadah.

Kita ambilkan satu contoh saja, bagaimana para ulama memberikan kesaksian dan pujian terhadap seorang ulama yang banyak meriwayatkan hadits, yakni Abu Daud rahimahullah. Al Hafizh Musa bin Harun pernah berkata, “Abu Daud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang mempunyai keutamaan melebihi dirinya.”. Ketika Abu Daud menyusun kitab sunan-nya yang ma’ruf di kalangan umat Islam, Ibrahim Al Harbi, seorang ulama hadits pernah bertutur, “Hadits telah dilunakkan bagi Abu Daud, sebagaimana besi telah dilunakkan untuk Nabi Daud.”

Semestinya kita malu kepada Allah Swt, jika ada orang yang memanggil kita dengan sebutan ‘alim, kyai, syeikh, tuan guru, ajengan dan seterusnya. Tapi kita tidak memiliki rasa takut kepada Allah Swt. Terlebih ilmu yang kita miliki ibarat setetes air di sungai Musi Sumatera Selatan, jika dibandingkan dengan Abu Daud rahimahullah. Wallahu a’lam bishawab.

Dukhon

Saat ini di dunia dan juga tentu saja termasuk indonesia, sedang perjadi pandemi yang berasal dari corona. Nama legkapnya virus corona. Ata...