Wednesday, June 19, 2019

Golongan Yang Tidak Akan Masuk Surga

Hasil gambar untuk penjilat
Ibnu Abas ra. berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  pernah bersabda, “Ada sepuluh golongan dari umatku yang tidak akan masuk surga, kecuali bagi yang bertobat. Mereka itu adalah al-qalla’, al-jayyuf, al-qattat, ad-daibub, ad-dayyus, shahibul arthabah, shahibul qubah, al-’utul, az-zanim, dan al-’aq li walidaih.”

Selanjutnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah al-qalla’ itu?” Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam  menjawab, “Orang yang suka mondar-mandir kepada penguasa untuk memberikan laporan batil dan palsu.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya, “Siapakah al-jayyuf itu?” Nasi Shallallahu Alaihi Wa sallam menjawab, “Orang yang suka menggali kuburan untuk mencuri kain kafan dan sebagainya.”

Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya lagi, “Siapakah al-qattat itu?” “Orang yang suka mengadu domba,” kata Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam.
Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya, “Siapakah ad-daibub itu?” Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam  menjawab, “Germo.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya, “Siapakah ad-dayyus itu?” Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam  menjawab, “Dayyus adalah laki-laki yang tidak punya rasa cemburu terhadap istrinya, anak perempuannya, dan saudara perempuannya.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya lagi, “Siapakah shahibul arthabah itu?” Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam menjawab, “Penabuh gendang besar.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya, “Siapakah shahibul qubah itu?” Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam  menjawab, “Penabuh gendang kecil.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya, “Siapakah al-’utul itu?”
Shallallahu Alaihi Wa sallam  menjawab, “Orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf atas dosa yang dilakukannya, dan tidak mau menerima alasan orang lain.”

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  ditanya, “Siapakah az-zanim itu?” Nabi menjawab, “Orang yang dilahirkan dari hasil perzinaan yang suka duduk-duduk di tepi jalan guna menggunjing orang lain. Adapun al-’aq, kalian sudah tahu semua maksudnya (yakni orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya).”

Lalu, Mu’adz bin Jabal bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang ayat ini: yauma yunfakhu fiishshuuri fata’tuuna afwaajaa, yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala, lalu kalian datang berkelompok-kelompok?” (Qs. An-Naba’: 18).

“Wahai Mu’adz, engkau bertanya tentang sesuatu yang besar,” jawab Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam. Kedua mata beliau yang mulia pun mencucurkan air mata. Beliau melanjutkan sabdanya.

“Ada sepuluh golongan dari umatku yang akan dikumpulkan pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan yang berbeda-beda. Allah memisahkan mereka dari jama’ah kaum muslimin dan akan menampakkan bentuk rupa mereka (sesuai dengan amaliyahnya di dunia). Di antara mereka ada yang berwujud kera; ada yang berwujud babi; ada yang berjalan berjungkir-balik dengan muka terseret-seret; ada yang buta kedua matanya, ada yang tuli, bisu, lagi tidak tahu apa-apa; ada yang memamah lidahnya sendiri yang menjulur sampai ke dada dan mengalir nanah dari mulutnya sehingga jama’ah kaum muslimin merasa amat jijik terhadapnya; ada yang tangan dan kakinya dalam keadaan terpotong; ada yang disalib di atas batangan besi panas; ada yang aroma tubuhnya lebih busuk daripada bangkai; dan ada yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih.”

 “Mereka yang berwajah kera adalah orang-orang yang ketika di dunia suka mengadu domba di antara manusia. Yang berwujud babi adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan barang haram dan bekerja dengan cara yang haram, seperti cukai dan uang suap.”

“Yang berjalan jungkir-balik adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan riba. Yang buta adalah orang-orang yang ketika di dunia suka berbuat zhalim dalam memutuskan hukum. Yang tuli dan bisu adalah orang-orang yang ketika di dunia suka ujub (menyombongkan diri) dengan amalnya.”

“Yang memamah lidahnya adalah ulama dan pemberi fatwa yang ucapannya bertolak-belakang dengan amal perbuatannya. Yang terpotong tangan dan kakinya adalah orang-orang yang ketika di dunia suka menyakiti tetangganya.”

“Yang disalib di batangan besi panas adalah orang yang suka mengadukan orang lain kepada penguasa dengan pengaduan batil dan palsu. Yang tubuhnya berbau busuk melebihi bangkai adalah orang yang suka bersenang-senang de-ngan menuruti semua syahwat dan kemauan me-reka tanpa mau menunaikan hak Allah yang ada pada harta mereka.”
“Adapun orang yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih adalah orang yang suka takabur dan membanggakan diri.” (HR. Qurthubi).

Saudaraku, adakah kita di antara 10 daftar yang dipaparkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam  di atas? Bertobatlah, agar kita selamat dan terhindar dari salah satu gologan di atas. Semoga kita tidak termasuk di antara sepuluh golongan yang tidak masuk surga tersebut, amiin.

Saturday, June 8, 2019

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum

Sebagai sebuah tradisi, bahwa sehabis sholat Idul Fitri biasanya kita saling silaturahmi dan saling maaf memaafkan. Seorang anak minta maaf pada ayah ibunya, seorang istri minta maaf pada suaminya, seorang adik minta maaf pada kakaknya, dan begitu juga sebaliknya. Lebaran memang menjadi momen yang indah karena disitulah kita dapat berkumpul dengan keluarga besar.

Saat lebaran ucapan yang paling umum dan sering kita dengan adalah "Taqabbalallahu Minna Wa Minkum". Lalu apa sih itu arti dan maknanya?

Ucapan tersebut merupakan sebuah doa kepada sesama yang memiliki arti "Semoga Allah menerima (puasa dan amal) dai kami dan (puasa dan amal) dari kalian".

Ucapan ini didasarkan pada riwayat dari Jubair bin Nafir, ia mengatakan, "Apabila sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemu pada hari raya, mereka saling mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum."

Untuk menjawabnya bisa dengan mengucapkan "Aamiin" / semoga Allah mengabulkan. Tapi tentu tidak cukup Aamiin saja, kita juga bisa menjawabnya dengan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. An Nisaa ayat 86 yang artinya :

"Jika kalian diberi salam dalam bentuk apa pun maka balaslah salam yang lebih baik atau jawablah dengan yang semisal." (Q.S. An Nisaa ayat 86).

Maka kita bisa menjawabnya dengan jawaban yang sama yaitu "Taqabbalallahu Minna Wa Minkum". Jangan lupa sehabis itu kita ucapkan Aamiin (semoga Allah mengabulkan).

Ada beberapa keutamaan dari mengucapkan "Taqabbalallahu Minna Wa Minkum" ini diantaranya adalah :

1. Saling mendoakan antar sesama
2. Menghidupkan sunnah
3. Berpahala
4. InsyaAllah Allah akan mengabulkan doanya

Jadi sudah tahu kan sekarang arti dan makna "Taqabbalallahu Minna Wa Minkum". Jangan lupa diamalkan ya pas lebaran nanti, karena itu doa yang baik dalam bahasa Arab.

Wednesday, June 5, 2019

Menamai Manusia Dengan Nama Allah Menurut Islam

Sebenarnya tidak ada larangan untuk menggunakan nama-nama dari asmaul husna, selama seperti Rahim,  Nur, Malik, Bashir, Latief, Quddus dan semisalnya asalkan tidak dengan alif lam.  Karena dalam bahasa Arab, sebuah kata bila masih nakirah (diantara cirinya tanpa alif lam) maka ia berlaku umum, jadi kata malik, nur dan semisalnya selama masih dalam bentuk nakirah, bersifat kata yang umum dan tidak dimonopoli oleh lafadz asmaul Husna. 

Dahulu ada shahabat yang juga memiliki nama  serupa dengan asmaul Husna  semisal Ali (Ali bin Abi Thalib) dan Hakiim (Hakim bin Hizam).

            Namun bila kata – kata diatas telah beralif lam, yakni dalam bentuk Ma’rifah (telah dikhususkan) barulah kemudian bisa timbul masalah. Sebagian kata memang menurut ulama diharamkan, semisal  kata : ar Rahman dan lainnya .
Berkata imam asy Syaukani : Ar-Rahman adalah diantara sifat-sifat Ghalibah yang tidak (boleh) dipakai untuk selain Allah Azza Wajalla.

Berkata al Imam an Nawawi : “Ketahuilah memberi nama dengan nama ini diharamkan demikian pula memberi nama dengan nama-nama Allah yang khusus bagiNya seperti Ar-Rahman, Al-Quddus, Al-Muhaimin, Khaliqul Khalqi dan semisalnya.”

Bahkan khusus  untuk nama ‘Rahman’ sebagian ulama melarang menggunakannnya meskipun tanpa beralif lam. Karena merupakan asmaul Husna yang sangat khusus, sebagaimana firman Allah :
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.” (QS. Al-Isra’ :110)

Sedangkan dalam sejarah, yang pernah memakai nama Ar-Rahman/Rahman adalah Nabi palsu yang bernama Musailamah. Maka Allah membongkar kedustaannya, menghinakannya dan akhirnya dia dikenal dengan nama Musailamah Al-Kadz-Dzab (Musailamah Si Pendusta). At-Thabarani meriwayatkan;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، هَزِئَ مِنْهُ الْمُشْرِكُونَ، وَقَالُوا: مُحَمَّدٌ يَذْكُرُ إِلَهَ الْيَمَامَةِ، وَكَانَ مُسَيْلِمَةُ يَتَسَمَّى الرَّحْمَنَ
“Dari Ibnu Abbas beliau berkata; Adalah Rasulullah shalalahu’alaihi wassalam jika membaca Bismillahirrahmanirrihim orang-orang Musyrik mengejeknya. Mereka berkata: Muhammad menyebut tuhannya Yamamah. Adalah Musailamah memberi nama dirinya Ar-Rahman.”
Sedangkan sebagian nama-nama asmaul Husna lainnya boleh digunakan meskipun dengan alif lam yakni jika nama tersebut mengandung nama tersebut mengandung makna yang kulli (umum), mencakup semua yang dicakup, memiliki tingkatan yang berbeda-beda satu sama lain, maka boleh menamai selain Allah dengan nama tersebut (dari segi kandungan makna), seperti Al-Malik (yang berkuasa), Al-Aziz(perkasa) dan lainnya.
Dalam al Qur’an kita temukan lafadz Al-Aziz juga dipakai untuk memanggil Nabi Yusuf sendiri. Allah berfirman;

قَالُوا يَا أَيُّهَا الْعَزِيزُ إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيرًا فَخُذْ أَحَدَنَا مَكَانَهُ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Mereka (saudara-saudara Yusuf) berkata (kepada Yusuf) : “Wahai Al Aziz, Sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang diantara Kami sebagai gantinya, Sesungguhnya Kami melihat kamu termasuk oranng-orang yang berbuat baik”. (QS. Yusuf; 78)

Yang terbaik adalah dengan menambahkan penghambaan dari kata-kata yang diambil dari asmaul husna, seperti Abdurrahman, abdurrahim, Abdul Malik, Abdurrazaq, Abdullah dan lainnya.  Berkata ibnu Hazm,  “Para ulama sepakat tentang baiknya nama-nama yang disandarkan kepada Allah ‘azza wajalla seperti ‘Abdurrahman dan yang serupa dengannya.”
           
            Kalau toh nanti dipanggil dengan nama pendeknya tidak masalah, baik suku kata depannya seperti abdul atau du atau akhirnya, seperti malik, Razaq dan lainnya. Yang penting Abdullah jangan dipanggil Allah. 


Sunday, June 2, 2019

Ujub

Banyak orang baik muslim maupun non muslim yang tidak suka kesombongan. Sayangnya beberapa orang kadang merasa bahwa dirinya jauh dari rasa sombong, mereka tidak sadar padahal hal itu juga termasuk kesombongan. Berbangga dan sombong dengan kebaikan termasuk ujub.
Dalam istilah akhlak-sufistik, sejumlah ahli hikmah menyebut ujub sebagai tindakan membesar-besarkan suatu perbuatan baik, perasaan puas dan senang dengannya, tersipu dan terkesima dengan perbuatan baik dirinya, dan merasa dirinya terbebas dari seluruh kekurangan dalam perbuatan baik itu.
Namun sebaliknya, seseorang yang merasakan kenikmatan dan kesenangan ketika melakukan perbuatan baik yang disertai dengan rasa rendah hati dan syukur kepada Allah atas taufik-Nya dalam keberhasilannya berbuat kebaikan, serta memohon kepada-Nya untuk menambah taufik baginya di waktu mendatang, bukan termasuk ujub, melainkan sifat yang terpuji.
Syekh Bahauddin Al Alami, misalnya, berkata, “Tak ada keraguan bahwa ketika seseorang melakukan perbuatan baik, seperti berpuasa dan shalat malam, dia akan merasakan semacam kenikmatan dan kesenangan. Kenikmatan dan kesenangan itu bukan ujub – jika dia timbul dari persasaan bahwa Allah SWT telah melimpahkan pemberian dan nikmat kepadanya berupa (dorongan untuk) melakukan perbuatan baik, sementara dia merasa khawatir akan kekurangan dalam perbuatannya, cemas akan hilangnya nikmat itu dan memohon kepada Allah untuk terus memberinya tambahan nikmat.”
Dalam pandangan lain, contoh yang telah disebut di atas – shalat dan puasa – diperjelas lagi bahwa yang bersentuhan dengan sifat ujub ialah perbuatan baik atau buruk, baik dari aspek lahiriah maupun batin. Sebab, selain memengaruhi perbuatan lahiriah, ujub juga memengaruhi perbuatan batiniah (mental dan spritual) seseorang. Seperti halnya orang baik yang dapat berujub dengan amal baiknya, orang buruk juga dapat mengagumi perbuatan buruknya.
Karena itu, dalam ilmu akhlak, ujub memiliki beberapa derajat. Derajat pertama, ujub dengan keimanan terhadap ajaran-ajaran yang benar; lawannya ujub dengan kekufuran, kemusyrikan. Derajat kedua, ujub dengan sifat-sifat baik yang lawannya ujub dengan sifat-sifat buruk. Derajat ketiga, ujub dengan perbuatan-perbuatan baik yang lawannya kagum atas perbutan-perbuatannya yang jahat.
Seorang Ahli hikmah Sayyid Al Ridha berkata, di antara tingkatan ujub ialah ketika sifat buruk seorang tampak baik baginya. Dia menganggapnya sebagai amal baik dan memuji dirinya, membayangkan bahwa dia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Tingkatan ujub lainnya tampak pada manusia yang beriman kepada Allah dan dia berpikir telah menguntungkan Allah, sehingga dia mengungkit-ungkit kebaikan di hadapan Allah padahal Allah-lah yang berbuat baik kepadanya (dengan memberinya keimanan itu).”
Menyinggung penyakit hati ini, Rasulullah juga telah mengingatkan umatnya dengan bersabda, “Ada tiga hal yang membinasakan seseorang; kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujub terhadap dirinya sendiri.” (HR. Ath Thabarani). 

Dukhon

Saat ini di dunia dan juga tentu saja termasuk indonesia, sedang perjadi pandemi yang berasal dari corona. Nama legkapnya virus corona. Ata...