Tuesday, May 3, 2016

Jangan Lihat Tampilan Luar Saja

Orang bijak adalah orang yang melihat sebuah masalah atau persoalan secara utuh, bukan sekadar dilihat dari kaca mata lahir saja. Tapi diteropong pula dengan penglihatan bathin. Sebab terkadang tampilan keren atau kulit yang halus dan menarik tidak selalu menggambarkan hakikat isi yang sebenarnya.

Orang-orang munafik, secara lahir tak berbeda dengan orang-orang mukmin. Tapi substansinya jelas tak sama. Justru dalam bathin mereka tersimpan, kelicikan, kebusukan, kebencian dan dendam kesumat terhadap Muhammad saw dan umatnya. Walaupun secara zahir, mereka mencintai dan beramal seperti amalan orang-orang mukmin. Jika kaum mukminin lengah, mereka siap menelikung, dan menghancurkan Islam hingga ke akar-akarnya.

Salah dalam menilai suatu masalah, akan berakibat fatal. Membuat kita terpuruk, terpedaya dan tertipu. Dan bisa pula menetaskan penyesalan yang berkepanjangan. Syekh Mustafa Siba’i dalam bukunya “Hakadza ‘allamatni al hayat” pernah mewanti-wanti kita agar tidak menilai sebuah persoalan dari kulitnya saja dan menafikan isinya.
• Jangan tertipu dengan kemasan makanan yang menarik (dan mengundang selera) sebelum engkau mengetahui faedahnya.
• Jangan silau oleh deraian air mata seorang yang ‘berlabel’ zuhud sehingga engkau melihat keistiqamahannya di atas jalan-Nya.
• Jangan engkau terpesona dengan janji manis seorang penguasa sehingga engkau mengetahui keindahan akhlaknya.
• Jangan engkau tergesa-gesa mengelompokkan seseorang sebagai ‘alim’ sehingga para ulama lain memberikan kesaksian untuknya.

Di zaman ini, banyak makanan dikemas dalam tampilan menarik dan cantik serta memikat tetapi tak mendatangkan manfaat apapun bagi tubuh kita. Dan bahkan ada yang mendatangkan bahaya bagi nyawa kita. Seperti berkolesterol tinggi dan memiliki kadar gula yang tinggi. Islam memberikan arahan yang jelas agar kita memilih dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang ‘halal’ lagi ‘thayyib’. Sebab makanan yang kita konsumsi memiliki dampak nyata pada jasmani dan ruhani kita. Dunia dan akherat kita.

Makanan yang halal; artinya proses pencapainya sesuai dengan koridor syar’i, tidak melanggar rambu-rambu Allah dan Rasul-Nya. Makanan halal berperan besar dalam mensucikan jiwa kita, erat hubungannya dengan keterkabulan do’a, keshalihan pribadi, kepribadian yang menarik dan menghadirkan rasa aman dalam hati serta memuluskan jalan kita menuju ke surga-Nya. Sedangkan makanan yang thayyib, yang tentunya bergizi dan berkwalitas. Meskipun tidak harus mahal harganya. Ia sangat erat hubungannya dengan kesehatan tubuh kita dan memberikan kekuatan dan bantuan signifikan saat kita mendaki puncak ubudiyah serta menjadi bekal perjalanan kita menuju Allah Swt.

Tidak sedikit orang yang menilai zuhud itu dari tampilan luar. Orang yang sering meneteskan air mata. Berpakaian lusuh, rambut tak teratur. Bau badan tak sedap. Mengabaikan kenikmatan dunia. Di tangannya melingkar tasbih dan seterusnya. Tapi sejatinya orang zuhud itu adalah orang yang mampu menjadikan dunia hanya berada di tangannya dan tidak pernah singgah di hatinya. Hal ini senada dengan do’a yang pernah dilantunkan oleh Abu Bakar ra, “Ya Allah, jadikanlah dunia berada dalam genggaman tanganku, dan bukan masuk ke dalam hatiku.” Jadi zuhud tak diukur dengan pakaian luar, tapi dari kebersihan pakaian bathin dan keistiqamahan kita di atas jalan ketaatan. Ubudiyah madal hayat, berada di jalur ibadah sepanjang hayat. Tak terpengaruh oleh pergantian musim dan waktu.

Penguasa yang adil, mendapat jatah naungan Allah Swt pada hari kiamat bersama enam kelompok lainnya. Di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Bahkan ia disebutkan Nabi saw di urutan pertama. Itu artinya menjadi penguasa yang adil, memiliki kedudukan yang lebih tinggi ‘dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya’ daripada remaja yang rajin beribadah, seseorang yang hatinya terikat dengan masjid, dua orang yang bersaudara karena Allah Swt, orang yang mampu menghindari ajakan zina dari wanita yang berpengaruh lagi cantik jelita lantaran takut kepada Allah Swt, orang yang melakukan sedekah secara rahasia dan orang yang meneteskan air mata karena takut siksa-Nya. Namun hal ini memberi sinyal bahwa jalan yang harus ditempuh untuk menjadi penguasa yang adil, jauh lebih sulit dan berat daripada jalan enam kelompok lainnya.

Sebaliknya penguasa yang zalim, akan masuk neraka terlebih dahulu sebelum kelompok yang lainnya.
Fakta berbicara, ucapan dan janji manis para penguasa sering meleset. Kepentingan rakyat tak jarang dikorbankan. Para pejabat yang setia dan membantunya dengan tulus, justru dicampakkan dan diabaikan ketika tak sejalan dengan kebijakan politiknya yang sebenarnya jauh dari kata bijak. Tatapan matanya pun menyiratkan tatapan mata penuh curiga terhadap orang-orang yang dekat dengannya. Tak jarang kritik dan saran membangun dimaknai sebagai upaya penggeseran dirinya dan makar.
Saudaraku..
Ulama atau ahli ilmu, tidak diukur dari penampilannya yang terkesan meyakinkan. Jubah putih yang selalu dikenakannya setiap hari. Kopiah haji yang menghiasi kepalanya. Jenggot yang lebat menghiasi kefasihan membaca al Qur’an dan hadits. Menjadi rujukan fatwa dan seterusnya.
Parameter seseorang dapat disebut ‘alim’ adalah orang yang dapat menjadikan ilmunya sebagai jembatan menuju khasyiyah, takut kepada Allah yang disertai dengan ta’zhim; mengagungkan-Nya. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir: 28).
Ayat ini menjadi acuan bahwa orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah, meskipun ia mempunyai segudang ilmu, maka ia tidak layak diberi gelar ‘ulama’. Sebaliknya rasa takut kepada Allah tanpa didasari dengan ilmu, maka hal itu merupakan rasa takut yang semu atau palsu. Sehingga ulama merupakan perpaduan antara kekuatan ilmu dan kesempurnaan khasyiyah. Jika kita belajar dari salafus shalih, maka kita dapati bahwa di antara mereka tulus dalam memberikan kesaksian dan pujian terhadap ulama lain yang hidup sezaman dengannya perihal keshalihan, zuhud, keluasan ilmu dan ahli ibadah.

Kita ambilkan satu contoh saja, bagaimana para ulama memberikan kesaksian dan pujian terhadap seorang ulama yang banyak meriwayatkan hadits, yakni Abu Daud rahimahullah. Al Hafizh Musa bin Harun pernah berkata, “Abu Daud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang mempunyai keutamaan melebihi dirinya.”. Ketika Abu Daud menyusun kitab sunan-nya yang ma’ruf di kalangan umat Islam, Ibrahim Al Harbi, seorang ulama hadits pernah bertutur, “Hadits telah dilunakkan bagi Abu Daud, sebagaimana besi telah dilunakkan untuk Nabi Daud.”

Semestinya kita malu kepada Allah Swt, jika ada orang yang memanggil kita dengan sebutan ‘alim, kyai, syeikh, tuan guru, ajengan dan seterusnya. Tapi kita tidak memiliki rasa takut kepada Allah Swt. Terlebih ilmu yang kita miliki ibarat setetes air di sungai Musi Sumatera Selatan, jika dibandingkan dengan Abu Daud rahimahullah. Wallahu a’lam bishawab.

No comments:

Post a Comment

Dukhon

Saat ini di dunia dan juga tentu saja termasuk indonesia, sedang perjadi pandemi yang berasal dari corona. Nama legkapnya virus corona. Ata...