Orang-orang
munafik, secara lahir tak berbeda dengan orang-orang mukmin. Tapi
substansinya jelas tak sama. Justru dalam bathin mereka tersimpan, kelicikan,
kebusukan, kebencian dan dendam kesumat terhadap Muhammad saw dan umatnya. Walaupun secara zahir, mereka mencintai dan beramal seperti
amalan orang-orang mukmin. Jika kaum mukminin lengah, mereka siap
menelikung, dan menghancurkan Islam hingga ke akar-akarnya.
Salah
dalam menilai suatu masalah, akan berakibat fatal. Membuat kita
terpuruk, terpedaya dan tertipu. Dan bisa pula menetaskan penyesalan
yang berkepanjangan. Syekh Mustafa Siba’i dalam bukunya “Hakadza
‘allamatni al hayat” pernah mewanti-wanti kita agar tidak menilai sebuah
persoalan dari kulitnya saja dan menafikan isinya.
• Jangan tertipu dengan kemasan makanan yang menarik (dan mengundang selera) sebelum engkau mengetahui faedahnya.
• Jangan silau oleh deraian air mata seorang yang ‘berlabel’ zuhud sehingga engkau melihat keistiqamahannya di atas jalan-Nya.
• Jangan engkau terpesona dengan janji manis seorang penguasa sehingga engkau mengetahui keindahan akhlaknya.
• Jangan engkau tergesa-gesa mengelompokkan seseorang sebagai ‘alim’ sehingga para ulama lain memberikan kesaksian untuknya.
Di zaman ini, banyak makanan dikemas dalam tampilan menarik dan cantik
serta memikat tetapi tak mendatangkan manfaat apapun bagi tubuh kita.
Dan bahkan ada yang mendatangkan bahaya bagi nyawa kita. Seperti
berkolesterol tinggi dan memiliki kadar gula yang tinggi. Islam
memberikan arahan yang jelas agar kita memilih dan mengkonsumsi makanan
dan minuman yang ‘halal’ lagi ‘thayyib’. Sebab makanan yang kita
konsumsi memiliki dampak nyata pada jasmani dan ruhani kita. Dunia dan
akherat kita.
Makanan yang halal; artinya proses pencapainya
sesuai dengan koridor syar’i, tidak melanggar rambu-rambu Allah dan
Rasul-Nya. Makanan halal berperan besar dalam mensucikan jiwa kita, erat
hubungannya dengan keterkabulan do’a, keshalihan pribadi, kepribadian
yang menarik dan menghadirkan rasa aman dalam hati serta memuluskan
jalan kita menuju ke surga-Nya. Sedangkan makanan yang thayyib,
yang tentunya bergizi dan berkwalitas. Meskipun tidak harus mahal
harganya. Ia sangat erat hubungannya dengan kesehatan tubuh kita dan
memberikan kekuatan dan bantuan signifikan saat kita mendaki puncak
ubudiyah serta menjadi bekal perjalanan kita menuju Allah Swt.
Tidak sedikit orang yang menilai zuhud itu dari tampilan luar. Orang
yang sering meneteskan air mata. Berpakaian lusuh, rambut tak teratur.
Bau badan tak sedap. Mengabaikan kenikmatan dunia. Di tangannya
melingkar tasbih dan seterusnya. Tapi sejatinya orang zuhud itu
adalah orang yang mampu menjadikan dunia hanya berada di tangannya dan
tidak pernah singgah di hatinya. Hal ini senada dengan do’a yang pernah
dilantunkan oleh Abu Bakar ra, “Ya Allah, jadikanlah dunia berada dalam
genggaman tanganku, dan bukan masuk ke dalam hatiku.” Jadi zuhud
tak diukur dengan pakaian luar, tapi dari kebersihan pakaian bathin dan
keistiqamahan kita di atas jalan ketaatan. Ubudiyah madal hayat, berada
di jalur ibadah sepanjang hayat. Tak terpengaruh oleh pergantian musim
dan waktu.
Penguasa yang adil, mendapat jatah
naungan Allah Swt pada hari kiamat bersama enam kelompok lainnya. Di
hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Bahkan ia disebutkan Nabi
saw di urutan pertama. Itu artinya menjadi penguasa yang adil, memiliki
kedudukan yang lebih tinggi ‘dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya’
daripada remaja yang rajin beribadah, seseorang yang hatinya terikat
dengan masjid, dua orang yang bersaudara karena Allah Swt, orang yang
mampu menghindari ajakan zina dari wanita yang berpengaruh lagi cantik
jelita lantaran takut kepada Allah Swt, orang yang melakukan sedekah
secara rahasia dan orang yang meneteskan air mata karena takut
siksa-Nya. Namun hal ini memberi sinyal bahwa jalan yang harus
ditempuh untuk menjadi penguasa yang adil, jauh lebih sulit dan berat
daripada jalan enam kelompok lainnya.
Sebaliknya penguasa yang zalim, akan masuk neraka terlebih dahulu sebelum kelompok yang lainnya.
Fakta berbicara, ucapan dan janji manis para penguasa sering meleset.
Kepentingan rakyat tak jarang dikorbankan. Para pejabat yang setia dan
membantunya dengan tulus, justru dicampakkan dan diabaikan ketika tak
sejalan dengan kebijakan politiknya yang sebenarnya jauh dari kata
bijak. Tatapan matanya pun menyiratkan tatapan mata penuh curiga
terhadap orang-orang yang dekat dengannya. Tak jarang kritik dan saran
membangun dimaknai sebagai upaya penggeseran dirinya dan makar.
Saudaraku..
Ulama atau ahli ilmu, tidak diukur dari penampilannya yang terkesan
meyakinkan. Jubah putih yang selalu dikenakannya setiap hari. Kopiah
haji yang menghiasi kepalanya. Jenggot yang lebat menghiasi kefasihan
membaca al Qur’an dan hadits. Menjadi rujukan fatwa dan seterusnya.
Parameter seseorang dapat disebut ‘alim’ adalah orang yang dapat
menjadikan ilmunya sebagai jembatan menuju khasyiyah, takut kepada Allah
yang disertai dengan ta’zhim; mengagungkan-Nya. Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah
ulama.” (Fathir: 28).
Ayat ini menjadi acuan bahwa orang yang
tidak memiliki rasa takut kepada Allah, meskipun ia mempunyai segudang
ilmu, maka ia tidak layak diberi gelar ‘ulama’. Sebaliknya rasa takut kepada Allah tanpa didasari dengan ilmu, maka hal itu merupakan rasa takut yang semu atau palsu. Sehingga ulama merupakan perpaduan antara kekuatan ilmu dan kesempurnaan khasyiyah. Jika kita belajar dari salafus shalih, maka kita dapati bahwa di antara
mereka tulus dalam memberikan kesaksian dan pujian terhadap ulama lain
yang hidup sezaman dengannya perihal keshalihan, zuhud, keluasan ilmu
dan ahli ibadah.
Kita ambilkan satu contoh saja, bagaimana para
ulama memberikan kesaksian dan pujian terhadap seorang ulama yang banyak
meriwayatkan hadits, yakni Abu Daud rahimahullah. Al Hafizh Musa
bin Harun pernah berkata, “Abu Daud diciptakan di dunia untuk Hadits,
dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang
mempunyai keutamaan melebihi dirinya.”. Ketika Abu Daud menyusun
kitab sunan-nya yang ma’ruf di kalangan umat Islam, Ibrahim Al Harbi,
seorang ulama hadits pernah bertutur, “Hadits telah dilunakkan bagi Abu
Daud, sebagaimana besi telah dilunakkan untuk Nabi Daud.”
Semestinya kita malu kepada Allah Swt, jika ada orang yang memanggil
kita dengan sebutan ‘alim, kyai, syeikh, tuan guru, ajengan dan
seterusnya. Tapi kita tidak memiliki rasa takut kepada Allah Swt.
Terlebih ilmu yang kita miliki ibarat setetes air di sungai Musi
Sumatera Selatan, jika dibandingkan dengan Abu Daud rahimahullah.
Wallahu a’lam bishawab.
No comments:
Post a Comment