Gambar ilustrasi
Ketika Banjir Bandang Datang
Kemudian Allah Swt. mewahyukan: “Hai Nuh, jika tempat pembakaran dari rumah anakmu yang bernama Sam itu memancarkan air maka naiklah ke atas perahu.”
Sam
adalah anak tertua Nabi Nuh As. Saat itu Sam berusia 300 tahun dan
menikahi wanita bernama Rahmah. Akhirnya Nabi Nuh As. datang ke rumah
Sam: “Wahai Rahmah, sungguh awal terjadi datangnya banjir tofan itu
dari tempat pembakaran ini, tempat yang kau gunakan untuk memasak roti.
Jika kamu melihat pembakaran ini memancarkan air maka segeralah kamu
lari dan memberitahuku.”
Dikatakan bahwa
sesungguhnya tempat pembakaran itu adalah dari hajar aswad. Tepat di
hari Jum’at tanggal 10 Rajab, Siti Rahmah sedang memasak roti di tempat
itu. Disaat memasak roti yang terakhir tiba-tiba terpancarlah air.
Sebagaimana firman Allah Swt. QS. Hud ayat 40:
حَتَّى
إِذَا جَآءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِن
كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلاَّ مَن سَبَقَ عَلَيْهِ
الْقَوْلُ وَمَنْ ءَامَنَ وَمَآ ءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ
“Hingga
apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami
berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang
sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah
terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang
beriman. Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh kecuali sedikit.”
Disaat Siti Rahmah melihat kejadian itu, ia pun langsung menjerit: “Allahu Akbar! Telah datang adzab dari Allah dan dan sungguh benar apa yang disampaikan Nabi Allah Nuh.”
Kemudian
Siti Rahmah bergegas lari dan memberitahukan Nabi Nuh As. tentang
pancaran air di tempat pembakaran (dapur) itu. Lalu Nabi Nuh As. hanya
berucap: “La Haula Wala Quwwata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim.”
Sebelumnya
Nabi Nuh As. telah mempersiapkan bekal yang dibutuhkan saat nanti dalam
perahu, sampai pakan ternak dan burung pun telah dipersiapkan. Maka
tatkala Siti Rahmah mengabarkan kepadanya atas kejadian pancaran air
itu, bergegaslah Nabi Nuh As. mendatangi rumah Sam dan dilihatnya air
sudah memenuhi ruangan depan rumah dan telah melewati pintu bagai sungai
yang besar. Akhirnya dengan segera Nabi Nuh As. menuju perahu dan
berseru: “Wahai kaumku, selamatkan diri kalian, selamatkan diri kalian! Ayo cepat naik ke atas perahu.”
Selama
dakwahnya, Nabi Nuh As. hanya berhasil memiliki pengikut 40 laki-laki
dan 40 perempuan (merekalah yang turut serta dalam perahu). Kemudian
Nabi Nuh As. berkata kepada putranya yang lain yang bernama Kan’an:
يَا
بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلاَ تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ قَالَ سَآوِي
إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاء قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ
أَمْرِ اللّهِ إِلاَّ مَن رَّحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ
مِنَ الْمُغْرَقِينَ
“Hai anakku, naiklah (ke perahu)
bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”
Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat
memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang bisa
melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah Yang Maha Penyayang.”
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud ayat 42-43).
Sungguh
Allah telah memberitahukan bahwa Kan’an bukan termasuk orang yang
shaleh. Wahb bin Munabbih mengatakan bahwa Kan’an bin Nuh tenggelam
sebelum ia sampai ke gunung.
Ibnu Abbas Ra. berkata: “Saat
pembakaran itu memancarkan air maka pintu-pintu langit terbuka dengan
guyuran hujan tanpa mendung, dunia menjadi gelap gulita, Malaikat Ghadha
mengepakkan sayapnya di permukaan matahari, dan langit pun berkata: “Andaisaja Allah tidak memberikan batas niscaya akan tembus hingga lapis bumi ke tujuh.” Saat
kejadian itu jika ada seorang lelaki yang berjalan maka bekas
injakannya akan memancarkan air. Wanita yang sedang berdiri di
rumahnya pun akan melihat pancaran air bergelombang di bawah kakinya.
Dan meratalah air memancar di seluruh permukaan bumi.”
Disaat
air memancar di Kota Amsus, tempat kerajaan Suraid, terdengarlah
jeritan alam. Maka sang raja beserta para pembesarnya naik ke atas
gunung yang tinggi untuk melihat keadaan manusia. Ia pun bertanya-tanya
dari manakah sumber air ini datang namun tak ditemukan jawabannya,
terkecuali air memancar deras dari bekas telapak kudanya. Lalu ia
kembali ke pemukimannya, lagi-lagi yang ia jumpai hanya air berombak
yang besar seperti gunung. Dan tiada lagi sesuatu yang tersisa di atas
permukaan bumi.
Wahb bin Munabbih mengatakan bahwa tempat
awal terjadinya bencana banjir tofan adalah dari Kota Kufah, sebab di
situlah keberadaan tempat pembakaran (dapurnya Siti Rahmah) yang
memancarkan air.
Adapun Nabi Nuh As. beserta kaumnya telah
menaiki perahu. Sedangkan tatkala ‘Auj bin ‘Anuq (manusia raksasa yang
membawa kayu-kayu jati perahu Nabi Nuh As.) melihat bencana ini maka
segeralah ia menuju perahu dan meletakkan tangannya di perahu. Lalu Nabi
Nuh As. berkata kepadanya: “Apa yang kau inginkan wahai musuh Allah?”
‘Auj menjawab: “Saya
takkan menyakitimu wahai Nabi Allah. Izinkanlah kuberjalan bersama
perahu ini ke mana pun berlayar. Maka tanganku turut berpegangan di
perahu ini dan saya merasa nyaman dari kepanikan. Aku pun mendengar
tasbihnya para malaikat.”
Kemudian Allah Swt. mewahyukan pada Nabi Nuh As.: “Janganlah engkau takut pada ‘Auj. Biarlah ia ikut berjalan bersama perahu ke mana akan berlayar.”
Kemudian Nabi Nuh As. mengunci pintu-pintu perahu dan berkata:
وَقَالَ ارْكَبُواْ فِيهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Naiklah
kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut Nama Allah diwaktu
berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Hud ayat 41).
Maka perahu itu pun berlayar bersama mereka melewati ombak-ombak yang besar bagai gunung. Allah Swt. berfirman:
إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung), Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera.” (QS. al-Haqqah ayat 11).
Banjir Bandang Nabi Nuh AS Meratai ke Seluruh Penjuru Bumi
Diceritakan bahwa
sesungguhnya Allah Swt. tatkala mengutus tofan maka Allah Swt.
mengangkat Baitul Makmur, yang dibuat dari mutiara merah, yang telah
diturunkanNya ke bumi pada zaman Nabi Adam As. Ketika air telah naik
maka Allah Swt. mengangkatnya ke langit. Baitul Makmur disebut juga
dengan “al-‘Atiq” karena sangat antic, bisa selamat dari adzab tofan.
Tatkala perahu
berlayar sampai ke Kakbah, ia pun memutarinya sampai 7 kali. Sehingga
sampailah perahu itu di Baitul Maqdis untuk mengunjunginya. Tidaklah
perahu itu berjalan ke suatu tempat terkecuali ia akan menjelaskan
kepada Nabi Nuh As.: “Wahai Nuh, ini adalah tempat ini… dan ini adalah tempat ini…”
Maka
berkelilinglah perahu itu bersama Nabi Nuh As. dari ujung timur sampai
ujung barat. Di sekeliling perahu itu dipenuhi dengan para malaikat
berjumlah seribu guna ikut menjaganya dari adzab yang akan diturunkan.
Perahu
itu berlayar di atas permukaan air bagaikan berjalannya purnama di
cakrawala. Setiap detiknya air selalu naik di atas puncak gunung
setinggi 40 dzira’. Air meratai bumi dan gunung-gunung. Tiada satu pun
makhluk bernyawa di bumi ini yang tersisa kecuali para penghuni perahu
itu dan ‘Auj bin ‘Anuq si manusia raksasa.
Dan tidak ada
pula kota dan desa terkecuali semuanya hancur. Tidak ada pula
bekas-bekas bangunan yang tersisa kecuali bangunannya Raja Suraid dan
al-Barabi, karena keduanya merupakan bangunan yang sangat kokoh.
Gambaran Kepayahan Manusia Saat Menghadapi Banjir Bandang
Terdapat
cerita langka dari ats-Tsa’labi bahwa tatkala terjadinya banjir tofan
ada seorang wanita yang sedang menggendong anak kecil. Dan semasa itu
tidak ada anak kecil kecuali anak kecil itu. Ketika air telah naik, ia
menggendong anak itu di pundaknya. Kemudian ia berenang, berlari dan
naik ke atas gunung demi menyelamatkan anaknya dari banjir tofan.
Ketika
air semakin naik, ia menaruh anaknya di pundaknya. Dan ketika air sudah
sampai di mulut, maka ia pun mengangkat tinggi-tinggi anaknya di atas
kepalanya. Dan ketika air telah menenggelamkannya, maka ditaruhlah
anaknya itu di bawah kakinya. Ia berpijak pada anaknya itu agar ia bisa
bernafas dan selamat dari banjir. Setelah itu tenggelamlah keduanya.
Kemudian Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi Nuh As.: “Anda Kukasihi salah satu kaummu (yang durhaka) niscaya akan Kuselamatkan wanita itu beserta anaknya.”
Dan
kejadian ini hanyalah sebagai contoh (gambaran betapa dahsyatnya
keadaan saat itu). Dikatakan bahwa kebanyakan manusia saat itu menaruh
anaknya di bawah telapak kaki mereka agar bisa dijadikan sebagai
pijakan.
No comments:
Post a Comment