
Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad n dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي 
اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ فَقَالَ لَهُ 
الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ 
مِنْكَ الْأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ. وَقَالَ الَّذِي لَهُ 
الْأَرْضُ: إِنَّمَا بِعْتُكَ الْأَرْضَ وَمَا فِيهَا. فَتَحَاكَمَا إِلَى 
رَجُلٍ فَقَالَ الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ: أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قَالَ 
أَحَدُهُمَا: لِي غُلَامٌ. وَقَالَ الآخَرُ: لِي جَارِيَةٌ. قَالَ: 
أَنْكِحُوا الْغُلَامَ الْجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا 
مِنْهُ وَتَصَدَّقَا
Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata
 di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang 
membeli tanah itu kepadanya: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya 
membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Si pemilik tanah berkata kepadanya: “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”
Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian 
berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua 
mempunyai anak?”
Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”
Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”
Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”
Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah n ini. Di 
zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan 
hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan. Wallahul musta’an.
Dalam hadits ini, Rasulullah n mengisahkan, transaksi yang mereka 
lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi 
tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli 
berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli 
tersebut.
Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau
 mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah 
halal baginya ataukah haram?
Mereka juga tidak saling berlomba mendapatkan harta itu, bahkan 
menghindarinya. Simaklah apa yang dikatakan si pembeli tanah: “Ambillah 
emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha 
cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap 
emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah 
ini.
Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak 
adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga 
sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk 
mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah 
mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama 
mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan 
disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta
 tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.
Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap 
dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” 
Subhanallah.
Kemudian, mari perhatikan sabda Rasulullah n dalam hadits An-Nu’man bin Basyir c:
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”
Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. 
Padahal Rasulullah n menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara
 yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang 
yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak 
memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap 
perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.
Rasulullah n sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu 
yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.
Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, 
mengundang kemurkaan Allah l, menghalangi terkabulnya doa dan membawa 
seseorang menuju neraka jahannam.
Tidak, ini bukan dongeng pengantar tidur.
Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang 
benar lagi dibenarkan) n, yang Allah l berfirman tentang beliau n:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa 
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan 
(kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Kedua lelaki itu menjauh dari harta tersebut sampai akhirnya mereka 
datang kepada seseorang untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara 
mereka berdua. Menurut sebagian ulama, zhahirnya lelaki itu bukanlah 
hakim, tapi mereka berdua memintanya memutuskan persoalan di antara 
mereka.
Dengan keshalihan kedua lelaki tersebut, keduanya lalu pergi menemui 
seorang yang berilmu di antara ulama mereka agar memutuskan perkara yang
 sedang mereka hadapi. Adapun argumentasi si penjual, bahwa dia menjual 
tanah dan apa yang ada di dalamnya, sehingga emas itu bukan miliknya. 
Sementara si pembeli beralasan, bahwa dia hanya membeli tanah, bukan 
emas.
Akan tetapi, rasa takut kepada Allah l membuat mereka berdua merasa tidak butuh kepada harta yang meragukan tersebut.
Kemudian, datanglah keputusan yang membuat lega semua pihak, yaitu 
pernikahan anak laki-laki salah seorang dari mereka dengan anak 
perempuan pihak lainnya, memberi belanja keluarga baru itu dengan harta 
temuan tersebut, sehingga menguatkan persaudaraan imaniah di antara dua 
keluarga yang shalih ini.
Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan 
persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil 
keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu 
akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan
 mereka dan jatuh ke tangannya.
Pelajaran yang kita ambil dari kisah ini adalah sekelumit tentang 
sikap amanah dan kejujuran serta wara’ yang sudah langka di zaman kita.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhis Shalihin mengatakan:
Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila 
seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan 
sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang 
lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan 
kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. 
Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik 
orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah 
tersebut.
Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli 
tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti 
emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda
 ini, mengikuti tanah tersebut.
Kisah lain, yang mirip dengan ini, terjadi di umat ini. Kisah ini sangat masyhur, wallahu a’lam.
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di 
salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba 
dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang 
kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang
 nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.
Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian 
ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin
 dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?
Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari 
penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba 
Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau 
memaafkan saya?”
Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara 
saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel
 ini.”
“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.
“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta 
kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.
Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah 
mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan 
ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke 
sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik 
anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? 
Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang 
besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, 
saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu 
berdiri.”
Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh 
apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya 
meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.
Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang 
sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi 
salam.
Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar 
suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat 
tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya 
adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa 
gerangan dia?
Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang putrinya.
Istrinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah l.”
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah l murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah l.”
Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama
 dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah l yang shalih, 
yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi 
nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah t.
Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, 
ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti 
sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.
Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Silahkan ambil pelajaran dari kisah ini.
No comments:
Post a Comment