Ini adalah topik yang dari dulu pengin admin posting. Soalnya ini adalah pengalaman pribadi. Pertama kali mengalami masih bingung sendiri. Kok jadinya seperti sholat shubuh tiga rokaat ya. Oke gan & sis, mari kita simak penjelasaanya.
Sujud
tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar
ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.
Keutamaan Sujud Tilawah
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Keutamaan Sujud Tilawah
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ
السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ
– وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ
بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ
فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ
“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan
akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka
aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga.
Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan,
sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)
Begitu juga keutamaan sujud tilawah dijelaskan dalam hadits yang membicarakan keutamaan sujud secara umum.
Dalam hadits tentang ru’yatullah (melihat Allah) terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dalam hadits tentang ru’yatullah (melihat Allah) terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَتَّى إِذَا فَرَغَ اللَّهُ
مِنَ الْقَضَاءِ بَيْنَ الْعِبَادِ وَأَرَادَ أَنْ يُخْرِجَ بِرَحْمَتِهِ
مَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ أَنْ يُخْرِجُوا
مِنَ النَّارِ مَنْ كَانَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا مِمَّنْ أَرَادَ
اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يَرْحَمَهُ مِمَّنْ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ. فَيَعْرِفُونَهُمْ فِى النَّارِ يَعْرِفُونَهُمْ بِأَثَرِ
السُّجُودِ تَأْكُلُ النَّارُ مِنِ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ أَثَرَ السُّجُودِ
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَأْكُلَ أَثَرَ السُّجُودِ.
“Hingga Allah pun menyelesaikan ketentuan di antara
hamba-hamba-Nya, lalu Dia menghendaki dengan rahmat-Nya yaitu siapa saja
yang dikehendaki untuk keluar dari neraka. Dia pun memerintahkan
malaikat untuk mengeluarkan dari neraka siapa saja yang sama sekali
tidak berbuat syirik kepada Allah. Termasuk di antara mereka yang Allah
kehendaki adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Para
malaikat tersebut mengenal orang-orang tadi yang berada di neraka
melalui bekas sujud mereka. Api akan melahap bagian tubuh anak Adam
kecuali bekas sujudnya. Allah mengharamkan bagi neraka untuk melahap
bekas sujud tersebut.” (HR. Bukhari no. 7437 dan Muslim no. 182)
Dalam shahih Muslim, An Nawawi menyebutkan sebuah Bab “Keutamaan sujud dan dorongan untuk melakukannya”.
Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanyakan oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai di sisi Allah. Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya sampai ketiga kalinya. Kemudian Tsauban berkata bahwa dia pernah menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab,
Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanyakan oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai di sisi Allah. Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya sampai ketiga kalinya. Kemudian Tsauban berkata bahwa dia pernah menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ
بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika engkau bersujud
sekali saja kepada Allah, dengan itu Allah akan mengangkat satu
derajatmu dan juga menghapuskan satu kesalahanmu”.
Ma’dan berkata, “Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu menanyakan hal yang sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal jawaban Tsauban kepadaku.” (HR. Muslim no.488)
Juga hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu hadits Robi’ah bin Ka’ab Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai amalan yang bisa membuatnya dekat dengan beliau di surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ma’dan berkata, “Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu menanyakan hal yang sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal jawaban Tsauban kepadaku.” (HR. Muslim no.488)
Juga hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu hadits Robi’ah bin Ka’ab Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai amalan yang bisa membuatnya dekat dengan beliau di surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sujud Tilawah Wajib Ataukah Sunnah?
Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:
كَانَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَقْرَأُ
سُورَةً فِيهَا سَجْدَةٌ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ مَعَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ
بَعْضُنَا مَوْضِعًا لِمَكَانِ جَبْهَتِهِ
“Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di
dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud,
kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak
mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian para ulama berselisih pendapat apakah sujud tilawah wajib ataukah sunnah.
Menurut Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sujud tilawah itu wajib. Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib. Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,
Menurut Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sujud tilawah itu wajib. Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib. Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,
فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ
“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan
kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).
Para
ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat
perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Dan dalam ayat tersebut
juga terdapat celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan
tidaklah diberikan kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang
wajib.
Yang lebih tepat adalah sujud tilawah tidaklah wajib, namun sunnah (dianjurkan). Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah hadits muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
Yang lebih tepat adalah sujud tilawah tidaklah wajib, namun sunnah (dianjurkan). Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah hadits muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
قَرَأْتُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ( وَالنَّجْمِ ) فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا
“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut)
beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”
Dalil lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah perbuatan Umar bin Khattab dan perbuatan beliau ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya ketika khutbah Jum’at.
Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya, beliau pun membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas berkata,
Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”
Dalil lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah perbuatan Umar bin Khattab dan perbuatan beliau ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya ketika khutbah Jum’at.
Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya, beliau pun membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ ، وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
“Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajadah. Barangsiapa
bersujud, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak bersujud,
dia tidak berdosa.” Kemudian ‘Umar pun tidak bersujud. (HR. Bukhari no.
1077)
Dari sinilah Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu sunnah (tidak wajib) dan pendapat ini merupakan ijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat). (Lihat Al Mughni, 3/96)
Dari sinilah Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu sunnah (tidak wajib) dan pendapat ini merupakan ijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat). (Lihat Al Mughni, 3/96)
Tata Cara Sujud Tilawah
[Pertama]
Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.
[Kedua]
Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
[Ketiga]
Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ
تَحْرِيمٌ وَلَا تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ
السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ
“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan
untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah
ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga
dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah
masyhur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)
[Keempat]
Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)
[Keempat]
Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)
[Kelima]
Lebih
utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah
ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh
Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat
ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalil mereka adalah:
Dalil mereka adalah:
إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّداً
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al
Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka
sambil bersujud.” (QS. Al Isro’: 107). Kata mereka, yang namanya
yakhirru (menyungkur) adalah dari keadaan berdiri.
Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)
Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)
Apakah Disyariatkan Sujud Tilawah (Dil Luar Shalat) Dalam Keadaan Suci (Berwudhu)?
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa dalam sujud tilawah disyari’atkan untuk
berwudhu sebagaimana shalat. Oleh karena itu, para ulama mensyariatkan
untuk bersuci (thoharoh) dan menghadap kiblat dalam sujud sahwi
sebagaimana berlaku syarat-syarat shalat lainnya.
Namun, ulama lain yaitu Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak disyari’atkan untuk thoharoh karena sujud tilawah bukanlah shalat. Namun sujud tilawah adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dan diketahui bahwa jenis ibadah tidaklah disyari’atkan thoharoh. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu ‘Umar, Asy Sya’bi dan Al Bukhari. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.
Dalil dari pendapat kedua di atas adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
Namun, ulama lain yaitu Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak disyari’atkan untuk thoharoh karena sujud tilawah bukanlah shalat. Namun sujud tilawah adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dan diketahui bahwa jenis ibadah tidaklah disyari’atkan thoharoh. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu ‘Umar, Asy Sya’bi dan Al Bukhari. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.
Dalil dari pendapat kedua di atas adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ سَجَدَ بِالنَّجْمِ وَسَجَدَ مَعَهُ المُسْلِمُوْنَ
وَالمُشْرِكُوْنَ وَالجِنُّ وَالأِنْسُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sujud tilawah
tatkala membaca surat An Najm, lalu kaum muslimin, orang-orang musyrik,
jin dan manusia pun ikut sujud.” (HR. Bukhari)
Al Bukhari membawa riwayat di atas pada Bab “Kaum muslimin bersujud bersama orang-orang musyrik, padahal kaum musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu.” Jadi, menurut pendapat Bukhari berdasarkan riwayat di atas, sujud tilawah tidaklah ada syarat berwudhu. Dalam bab tersebut, Al Bukhari juga membawakan riwayat bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berwudhu dalam keadaan tidak berwudhu.
Al Bukhari membawa riwayat di atas pada Bab “Kaum muslimin bersujud bersama orang-orang musyrik, padahal kaum musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu.” Jadi, menurut pendapat Bukhari berdasarkan riwayat di atas, sujud tilawah tidaklah ada syarat berwudhu. Dalam bab tersebut, Al Bukhari juga membawakan riwayat bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berwudhu dalam keadaan tidak berwudhu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ تَحْرِيمٌ وَلَا تَحْلِيلٌ : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ . وَعَلَى هَذَا فَلَيْسَتْ صَلَاةً فَلَا تُشْتَرَطُ لَهَا شُرُوطُ الصَّلَاةِ بَلْ تَجُوزُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ . كَمَا كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ ؛ لَكِنْ هِيَ بِشُرُوطِ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُخِلَّ بِذَلِكَ إلَّا لِعُذْرِ
“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan
untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah
ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga
dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah
masyhur. Oleh karena itu, sujud tilawah tidaklah seperti shalat yang
memiliki syarat yaitu disyariatkan untuk bersuci terlebih dahulu. Jadi,
sujud tilawah diperbolehkan meski tanpa thoharoh (bersuci). Hal ini
sebagaimana dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Beliau pernah bersujud, namun
tanpa thoharoh. Akan tetapi apabila seseorang memenuhi persyaratan
sebagaimana shalat, maka itu lebih utama. Jangan sampai seseorang
meninggalkan bersuci ketika sujud, kecuali ada udzur.” (Majmu’ Al
Fatawa, 23/165)
Asy Syaukani mengatakan,
لَيْسَ فِي أَحَادِيثِ سُجُودِ
التِّلَاوَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى اعْتِبَارِ أَنْ يَكُونَ السَّاجِدُ
مُتَوَضِّئًا وَقَدْ كَانَ يَسْجُدُ مَعَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ حَضَرَ تِلَاوَتَهُ ، وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ أَمَرَ
أَحَدًا مِنْهُمْ بِالْوُضُوءِ ، وَيَبْعُد أَنْ يَكُونُوا جَمِيعًا
مُتَوَضِّئِينَ .
وَأَيْضًا قَدْ كَانَ يَسْجُدُ مَعَهُ الْمُشْرِكُونَ كَمَا تَقَدَّمَ وَهُمْ أَنْجَاسٌ لَا يَصِحُّ وُضُوؤُهُمْ .
وَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ .
وَأَيْضًا قَدْ كَانَ يَسْجُدُ مَعَهُ الْمُشْرِكُونَ كَمَا تَقَدَّمَ وَهُمْ أَنْجَاسٌ لَا يَصِحُّ وُضُوؤُهُمْ .
وَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ .
“Tidak ada satu hadits pun tentang sujud tilawah yang menjelaskan
bahwa orang yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersujud dan di situ ada
orang-orang yang mendengar bacaan beliau, namun tidak ada penjelasan
kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan salah satu dari
yang mendengar tadi untuk berwudhu. Boleh jadi semua yang melakukan
sujud tersebut dalam keadaan berwudhu dan boleh jadi yang melakukan
sujud bersama orang musyrik sebagaimana diterangkan dalam hadits yang
telah lewat. Padahal orang musyrik adalah orang yang paling najis, yang
pasti tidak dalam keadaan berwudhu. Al Bukhari sendiri meriwayatkan
sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa dia bersujud dalam keadaan tidak
berwudhu. ” (Nailul Author, 4/466, Asy Syamilah)
Apakah Sujud Tilawah Mesti Menghadap Kiblat?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا سَتْرُ الْعَوْرَةِ وَالِاسْتِقْبَالِ مَعَ الْإِمْكَانِ فَقِيلَ : إنَّهُ مُعْتَبَرٌ اتِّفَاقًا .
“Adapun menutup aurat dan menghadap kiblat, maka ada ulama yang
mengatakan bahwa hal itu disyariatkan berdasarkan kesepakatan ulama.”
(Nailul Author, 4/467, Asy Syamilah)
Namun karena sujud tilawah bukanlah shalat, maka tidak disyari’atkan untuk menghadap kiblat. Akan tetapi, yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan menghadap kiblat dan tidak boleh seseorang meninggalkan hal ini kecuali jika ada udzur. Jadi, menghadap kiblat bukanlah syarat untuk melakukan sujud tilawah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/450)
Bagaimana Tata Cara Sujud Tilawah bagi Orang yang Sedang Berjalan atau Berkendaraan?
Siapa saja yang membaca atau mendengar ayat sajadah sedangkan dia dalam keadaan berjalan atau berkendaraan, kemudian ingin melakukan sujud tilawah, maka boleh pada saat itu berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/450 dan lihat pula Al Mughni)
Namun karena sujud tilawah bukanlah shalat, maka tidak disyari’atkan untuk menghadap kiblat. Akan tetapi, yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan menghadap kiblat dan tidak boleh seseorang meninggalkan hal ini kecuali jika ada udzur. Jadi, menghadap kiblat bukanlah syarat untuk melakukan sujud tilawah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/450)
Bagaimana Tata Cara Sujud Tilawah bagi Orang yang Sedang Berjalan atau Berkendaraan?
Siapa saja yang membaca atau mendengar ayat sajadah sedangkan dia dalam keadaan berjalan atau berkendaraan, kemudian ingin melakukan sujud tilawah, maka boleh pada saat itu berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/450 dan lihat pula Al Mughni)
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ السُّجُودِ عَلَى الدَّابَةِ فَقَالَ : اسْجُدْ وَأَوْمِئْ.
Dari Ibnu ‘Umar: Beliau ditanyakan mengenai sujud (tilawah) di atas tunggangan. Beliau mengatakan, “Sujudlah dengan isyarat.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih)
Bacaan Ketika Sujud Tilawah
Bacaan
ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada
beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:
(1) Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:
(1) Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
(2) Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
(2) Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
(3) Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca:
اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Allahumma laka
sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi
kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu
ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu
aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada
Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan
penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no.
771)
Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya. Bacaan tersebut terdapat dalam hadits berikut:
(1) Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari beberapa kali bacaan:
Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya. Bacaan tersebut terdapat dalam hadits berikut:
(1) Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari beberapa kali bacaan:
سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa
bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Wajahku bersujud kepada
Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan
penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Abu Daud,
Tirmidzi dan An Nasa-i)
(2) Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat diriku sendiri di malam hari sedangkan aku tertidur (dalam mimpi). Aku seakan-akan shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala itu aku bersujud, kemudian pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:
(2) Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat diriku sendiri di malam hari sedangkan aku tertidur (dalam mimpi). Aku seakan-akan shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala itu aku bersujud, kemudian pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:
اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِى بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَضَعْ عَنِّى بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِى عِنْدَكَ ذُخْرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّى كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ
“Allahummaktub lii bihaa ‘indaka ajron, wa dho’ ‘anniy bihaa wizron,
waj’alhaa lii ‘indaka dzukhron, wa taqqobbalhaa minni kamaa
taqobbaltahaa min ‘abdika dawuda”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kedua hadits di atas terdapat perselisihan ulama mengenai statusnya.
Untuk
hadits pertama dikatakan shahih oleh At Tirmidzi, Al Hakim, An Nawawi,
Adz Dzahabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Al Albani dan Syaikh
Salim bin ‘Ied Al Hilali. Sedangkan tambahan “Fatabaarakallahu ahsanul
kholiqiin” dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi dan An Nawawi. Namun
sebagian ulama lainnya semacam guru dari penulis Shahih Fiqih Sunnah,
gurunya tersebut bernama Syaikh Abi ‘Umair dan menilai bahwa hadits ini
lemah (dho’if).
Sedangkan hadits kedua dikatakan hasan oleh At Tirmidzi. Menurut Al Hakim, hadits kedua di atas adalah hadits yang shahih. Adz Dzahabi juga sependapat dengannya. Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa hadits ini memang memiliki syahid (penguat), namun penguat tersebut tidak mengangkat hadits ini dari status dho’if (lemah). Jadi, intinya kedua hadits di atas masih mengalami perselisihan mengenai keshahihannya. Oleh karena itu, bacaan ketika sujud tilawah diperbolehkan dengan bacaan sebagaimana sujud dalam shalat seperti yang kami contohkan di atas.
Sedangkan hadits kedua dikatakan hasan oleh At Tirmidzi. Menurut Al Hakim, hadits kedua di atas adalah hadits yang shahih. Adz Dzahabi juga sependapat dengannya. Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa hadits ini memang memiliki syahid (penguat), namun penguat tersebut tidak mengangkat hadits ini dari status dho’if (lemah). Jadi, intinya kedua hadits di atas masih mengalami perselisihan mengenai keshahihannya. Oleh karena itu, bacaan ketika sujud tilawah diperbolehkan dengan bacaan sebagaimana sujud dalam shalat seperti yang kami contohkan di atas.
Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan,
أَمَّا أَنَا فَأَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّي الْأَعْلَى
“Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni, 3/93, Asy Syamilah)
Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim.
Ini adalah permasalahan yang masih tanda tanya di benak kami sejak dulu. Bagaimana jika ayat sajadah di akhir surat, bagaimana sujud tilawah yang harus dilakukan? Semoga pembahasan berikut bermanfaat.
Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim.
Ini adalah permasalahan yang masih tanda tanya di benak kami sejak dulu. Bagaimana jika ayat sajadah di akhir surat, bagaimana sujud tilawah yang harus dilakukan? Semoga pembahasan berikut bermanfaat.
Hukum Sujud Tilawah Ditujukan pada Siapa Saja?
[Pertama]
Sujud tilawah ditujukan untuk orang yang membaca Al Qur’an dan ini
berdasarkan kesepakatan para ulama, baik ayat sajadah dibaca di dalam
shalat ataupun di luar shalat.
[Kedua] Lalu bagaimana untuk orang yang mendengar bacaan Qur’an dan di sana terdapat ayat sajadah? Apakah dia juga dianjurkan sujud tilawah?
Dalam kasus kedua ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang mendengar bacaan ayat sajadah dianjurkan untuk sujud tilawah, walaupun orang yang membacanya tidak melakukan sujud. Pendapat pertama ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan salah satu pendapat Imam Malik.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang mendengar bacaan ayat sajadah ikut bersujud jika dia menyimak bacaan dan jika orang yang membaca ayat sajadah tersebut ikut bersujud. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Malik. Inilah pendapat yang lebih kuat.
[Kedua] Lalu bagaimana untuk orang yang mendengar bacaan Qur’an dan di sana terdapat ayat sajadah? Apakah dia juga dianjurkan sujud tilawah?
Dalam kasus kedua ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang mendengar bacaan ayat sajadah dianjurkan untuk sujud tilawah, walaupun orang yang membacanya tidak melakukan sujud. Pendapat pertama ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan salah satu pendapat Imam Malik.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang mendengar bacaan ayat sajadah ikut bersujud jika dia menyimak bacaan dan jika orang yang membaca ayat sajadah tersebut ikut bersujud. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Malik. Inilah pendapat yang lebih kuat.
Dalil dari pendapat kedua ini adalah dua hadits shahih berikut:
Hadits Ibnu ‘Umar: “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al
Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu
beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di
antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Ibnu Mas’ud pernah mengatakan pada Tamim bin Hadzlam yang saat itu adalah seorang pemuda (ghulam), -tatkala itu dia membacakan pada Ibnu Mas’ud ayat sajadah-,
Ibnu Mas’ud pernah mengatakan pada Tamim bin Hadzlam yang saat itu adalah seorang pemuda (ghulam), -tatkala itu dia membacakan pada Ibnu Mas’ud ayat sajadah-,
اسْجُدْ فَإِنَّكَ إِمَامُنَا فِيهَا
“Bersujudlah karena engkau adalah imam kami dalam sujud tersebut.”
(Diriwayatkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq). Al Bukhari membawakan
hadits Ibnu ‘Umar di atas dan riwayat Ibnu Mas’ud ini pada Bab “Siapa
yang sujud karena sujud orang yang membaca Al Qur’an (ayat sajadah).”
Perhatian:
Disyariatkan bagi orang yang mendengar bacaan ayat sajadah kemudian dia ikut bersujud adalah apabila orang yang diikuti termasuk orang yang layak jadi imam. Jadi, apabila orang yang diikuti tadi adalah anak kecil (shobiy) atau wanita, maka orang yang mendengar bacaan ayat sajadah tadi tidak perlu ikut bersujud. Inilah pendapat Qotadah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Ishaq. (Lihat Al Mughni, 3/98)
Perhatian:
Disyariatkan bagi orang yang mendengar bacaan ayat sajadah kemudian dia ikut bersujud adalah apabila orang yang diikuti termasuk orang yang layak jadi imam. Jadi, apabila orang yang diikuti tadi adalah anak kecil (shobiy) atau wanita, maka orang yang mendengar bacaan ayat sajadah tadi tidak perlu ikut bersujud. Inilah pendapat Qotadah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Ishaq. (Lihat Al Mughni, 3/98)
Bolehkah Melakukan Sujud Tilawah di Waktu Terlarang untuk Shalat?
Sujud
tilawah boleh dilakukan di waktu terlarang untuk shalat. Alasannya,
karena sujud tilawah bukanlah shalat. Sedangkan larangan shalat di waktu
terlarang adalah larangan khusus untuk shalat. Inilah pendapat yang
lebih kuat di antara pendapat para ulama. Inilah pendapat Imam Syafi’i
dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh
Ibnu Hazm. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Bagaimana Ketika Membaca Ayat Sajadah, Luput Dari Sujud Tilawah?
Dianjurkan
bagi orang yang membaca ayat sajadah atau mendengarnya langsung
bersujud setelah membaca ayat tersebut, walaupun mungkin telat beberapa
saat. Namun, apabila sudah lewat waktu yang cukup lama antara membaca
ayat dan sujud, maka tidak ada anjuran sujud sahwi karena dia sudah
luput dari tempatnya. Inilah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. (Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)
Sujud Tilawah Ketika Shalat
Dianjurkan
bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib
maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat
mayoritas ulama. Hal ini dianjurkan pada shalat jama’ah atau sendirian
dan shalat siriyah (shalat dengan suara lirih seperti pada shalat zhuhur
dan ashar) atau shalat jariyah (shalat dengan suara keras seperti pada
shalat maghrib dan isya).
عَنْ أَبِى رَافِعٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ ( إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ) فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ – صلى الله عليه وسلم – فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ
Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah)
bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”,
kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa
ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat
sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah
pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya
saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)
Namun bagaimana jika shalatnya adalah shalat siriyah semacam shalat zhuhur dan shalat ashar? Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam membaca ayat sajadah.
Sebagian ulama Hanabilah mengatakan bahwa imam terlarang untuk membaca ayat sajadah dalam shalat yang tidak dijaherkan suaranya (dikeraskan suaranya). Jika imam tersebut tetap membaca ayat sajadah dalam shalat semacam itu, maka tidak perlu ada sujud. Pendapat ini juga adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Alasan dari pendapat ini adalah agar tidak membuat kebingungan pada makmum.
Namun ulama Syafi’iyah tidaklah melarang hal ini. Karena tugas makmum hanyalah mengikuti imam. Jadi jika imam melakukan sujud tilawah, maka makmum hanya manut saja dan dia ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Namun bagaimana jika shalatnya adalah shalat siriyah semacam shalat zhuhur dan shalat ashar? Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam membaca ayat sajadah.
Sebagian ulama Hanabilah mengatakan bahwa imam terlarang untuk membaca ayat sajadah dalam shalat yang tidak dijaherkan suaranya (dikeraskan suaranya). Jika imam tersebut tetap membaca ayat sajadah dalam shalat semacam itu, maka tidak perlu ada sujud. Pendapat ini juga adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Alasan dari pendapat ini adalah agar tidak membuat kebingungan pada makmum.
Namun ulama Syafi’iyah tidaklah melarang hal ini. Karena tugas makmum hanyalah mengikuti imam. Jadi jika imam melakukan sujud tilawah, maka makmum hanya manut saja dan dia ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
“Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka
bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Begitu pula apabila seorang makmum tatkala dia berada jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti imam.
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudamah. (Lihat Al Mughni, 3/104)
Begitu pula apabila seorang makmum tatkala dia berada jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti imam.
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudamah. (Lihat Al Mughni, 3/104)
Terlarang Meloncati Ayat Sajdah Karena Alasan Supaya Tidak Sujud
Ibnu
Qudamah mengatakan, “Dimakruhkan melakukan ikhtishorus sujud yaitu
melompati ayat sajadah agar tidak bersujud. Yang berpendapat seperti ini
adalah Asy Sya’bi, An Nakho’i, Al Hasan, Ishaq. Sedangkan An Nu’man,
sahabatnya Muhammad dan Abu Tsaur memberi keringanan dalam hal ini.”
Ibnu Qudamah lalu mengatakan,
وَلَنَا أَنَّهُ لَيْسَ بِمَرْوِيٍّ عَنْ السَّلَفِ فِعْلُهُ ، بَلْ كَرَاهَتُهُ
“Menurut kami, tidak ada diriwayatkan dari seorang salaf pun yang
melakukan semacam ini (yaitu melompati ayat sajadah agar tidak melakukan
sujud tilawah), bahkan mereka (para salaf) memakruhkan hal ini.” (Lihat
Al Mughni, 3/103)
Bagaimana Jika Ayat Sajadah Berada Di Akhir Surat?
Surat
yang terdapat ayat sajadah di akhir adalah seperti surat An Najm ayat
62 dan surat Al ‘Alaq ayat 19. Maka ada tiga pilihan dalam kasus ini.
[Pilihan pertama]
Ketika membaca ayat sajadah lalu melakukan sujud tilawah kemudian
setelah itu berdiri kembali dan membaca surat lain kemudian ruku’.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Ketika shalat shubuh, beliau membaca surat Yusuf pada raka’at pertama. Kemudian pada raka’at kedua, beliau membaca surat An Najm (dalam surat An Najm terdapat ayat sajadah, pen), lalu beliau sujud (yaitu sujud tilawah). Setelah itu, beliau bangkit lagi dari sujud kemudian berdiri dan membaca surat “Idzas samaa-un syaqqot” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Rozaq dan Ath Thohawiy dengan sanad yang shahih)
[Pilihan kedua] Jika ayat sajadah di ayat terakhir dari surat, maka cukup dengan ruku’ dan itu sudah menggantikan sujud.
Ibnu Mas’ud pernah ditanyakan mengenai surat yang di akhirnya terdapat ayat sajadah, “Apakah ketika itu perlu sujud ataukah cukup dengan ruku’?” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika antara kamu dan ayat sajadah hanya perlu ruku’, maka itu lebih mendekati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)
[Pilihan ketika] Jika ayat sajadah di ayat terakhir di suatu surat, ketika membaca ayat tersebut, lalu sujud tilawah, kemudian bertakbir dan berdiri kembali, lalu dilanjutkan dengan ruku’ tanpa ada penambahan bacaan surat.
Dari tiga pilihan di atas, cara pertama adalah yang lebih utama. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 453-454)
Bagaimana Jika Membaca Ayat Sajadah Di Atas Mimbar?
Jika ayat sajadah dibaca di atas mimbar, maka dianjurkan pula untuk melakukan sujud tilawah dan para jama’ah juga dianjurkan untuk sujud. Namun apabila sujud itu ditinggalkan, maka ini juga tidak mengapa. Hal ini telah ada riwayatnya sebagaimana terdapat pada riwayat Ibnu ‘Umar yang telah lewat.
Di Mana Sajakah Ayat Sajadah?
Ayat sajadah di dalam Al Qur’an terdapat pada 15 tempat. Sepuluh tempat disepakati. Empat tempat masih dipersilisihkan, namun terdapat hadits shahih yang menjelaskan hal ini. Satu tempat adalah berdasarkan hadits, namun tidak sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi sebagian melakukan sujud tatkala bertemu dengan ayat tersebut. (Lihat pembahasan ini di Shahih Fiqih Sunnah, 1/454-458)
Sepuluh ayat yang disepakati sebagai ayat sajadah
1. QS. Al A’rof ayat 206
2. QS. Ar Ro’du ayat 15
3. QS. An Nahl ayat 49-50
4. QS. Al Isro’ ayat 107-109
5. QS. Maryam ayat 58
6. QS. Al Hajj ayat 18
7. QS. Al Furqon ayat 60
8. QS. An Naml ayat 25-26
9. QS. As Sajdah ayat 15
10. QS. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
Empat ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, akan tetapi ada dalil shahih yang menjelaskannya
1. QS. Shaad ayat 24
2. QS. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
3. QS. Al Insyiqaq ayat 20-21
4. QS. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)
Satu ayat yang masih diperselisihkan dan tidak ada hadits marfu’ (hadits yang sampai pada Nabi) yang menjelaskannya, yaitu surat Al Hajj ayat 77.
Banyak sahabat yang menganggap ayat ini sebagai ayat sajadah semacam Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Abud Darda, dan ‘Ammar bin Yasar.
Ibnu Qudamah mengatakan,
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Ketika shalat shubuh, beliau membaca surat Yusuf pada raka’at pertama. Kemudian pada raka’at kedua, beliau membaca surat An Najm (dalam surat An Najm terdapat ayat sajadah, pen), lalu beliau sujud (yaitu sujud tilawah). Setelah itu, beliau bangkit lagi dari sujud kemudian berdiri dan membaca surat “Idzas samaa-un syaqqot” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Rozaq dan Ath Thohawiy dengan sanad yang shahih)
[Pilihan kedua] Jika ayat sajadah di ayat terakhir dari surat, maka cukup dengan ruku’ dan itu sudah menggantikan sujud.
Ibnu Mas’ud pernah ditanyakan mengenai surat yang di akhirnya terdapat ayat sajadah, “Apakah ketika itu perlu sujud ataukah cukup dengan ruku’?” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika antara kamu dan ayat sajadah hanya perlu ruku’, maka itu lebih mendekati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)
[Pilihan ketika] Jika ayat sajadah di ayat terakhir di suatu surat, ketika membaca ayat tersebut, lalu sujud tilawah, kemudian bertakbir dan berdiri kembali, lalu dilanjutkan dengan ruku’ tanpa ada penambahan bacaan surat.
Dari tiga pilihan di atas, cara pertama adalah yang lebih utama. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 453-454)
Bagaimana Jika Membaca Ayat Sajadah Di Atas Mimbar?
Jika ayat sajadah dibaca di atas mimbar, maka dianjurkan pula untuk melakukan sujud tilawah dan para jama’ah juga dianjurkan untuk sujud. Namun apabila sujud itu ditinggalkan, maka ini juga tidak mengapa. Hal ini telah ada riwayatnya sebagaimana terdapat pada riwayat Ibnu ‘Umar yang telah lewat.
Di Mana Sajakah Ayat Sajadah?
Ayat sajadah di dalam Al Qur’an terdapat pada 15 tempat. Sepuluh tempat disepakati. Empat tempat masih dipersilisihkan, namun terdapat hadits shahih yang menjelaskan hal ini. Satu tempat adalah berdasarkan hadits, namun tidak sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi sebagian melakukan sujud tatkala bertemu dengan ayat tersebut. (Lihat pembahasan ini di Shahih Fiqih Sunnah, 1/454-458)
Sepuluh ayat yang disepakati sebagai ayat sajadah
1. QS. Al A’rof ayat 206
2. QS. Ar Ro’du ayat 15
3. QS. An Nahl ayat 49-50
4. QS. Al Isro’ ayat 107-109
5. QS. Maryam ayat 58
6. QS. Al Hajj ayat 18
7. QS. Al Furqon ayat 60
8. QS. An Naml ayat 25-26
9. QS. As Sajdah ayat 15
10. QS. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
Empat ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, akan tetapi ada dalil shahih yang menjelaskannya
1. QS. Shaad ayat 24
2. QS. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
3. QS. Al Insyiqaq ayat 20-21
4. QS. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)
Satu ayat yang masih diperselisihkan dan tidak ada hadits marfu’ (hadits yang sampai pada Nabi) yang menjelaskannya, yaitu surat Al Hajj ayat 77.
Banyak sahabat yang menganggap ayat ini sebagai ayat sajadah semacam Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Abud Darda, dan ‘Ammar bin Yasar.
Ibnu Qudamah mengatakan,
لَمْ نَعْرِفْ لَهُمْ مُخَالِفًا فِي عَصْرِهِمْ ، فَيَكُونُ إجْمَاعًا
“Kami tidaklah mengetahui adanya perselisihan di masa sahabat mengenai
ayat ini sebagai ayat sajadah. Maka ini menunjukkan bahwa para sahabat
telah berijma’ (bersepakat) dalam masalah ini.” (Al Mughni, 3/88)
Demikian pembahasan mengenai sujud tilawah. Semoga risalah ini bisa menjadi ilmu bermanfaat bagi kita sekalian. Ya Allah, berilah manfaat terhadap apa yang kami pelajari, ajarilah ilmu yang belum kami ketahui dan tambahkanlah selalu ilmu kepada kami.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Demikian pembahasan mengenai sujud tilawah. Semoga risalah ini bisa menjadi ilmu bermanfaat bagi kita sekalian. Ya Allah, berilah manfaat terhadap apa yang kami pelajari, ajarilah ilmu yang belum kami ketahui dan tambahkanlah selalu ilmu kepada kami.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
http://www.alquran-sunnah.com/artikel/kategori/fiqh/264-penjelasan-rinci-sujud-tilawah
ReplyDeleteAyo daftarkan diri anda bersama kami di kelinci99.info ya..
1 id bisa bermain sepuasnya..."
kontak 2.B.1.E.7.B.8.4...
dengan cs angelina sedang bertugas..