Di negara-negara barat setiap wanita yang telah menikah maka mereka
mengganti nama belakang mereka dengan nama suaminya seperti istrinya mantan Presiden Amerika Bill
Clinton: Hillary Clinton yang nama aslinya Hillary Diane Rodham. Kemudian ada istri dari Barrack Obama, yaitu Michelle Obama yang nama aslinya Michelle
LaVaughn Robinson, dan lain-lain. Dan hal ini telah diikuti oleh
sebagian kaum Muslimah
Lalu bagaimanakah pendapat para ulama tentang masalah ini? Menurut Fatwa Lajnah Da'imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ juz 20 halaman 379 adalah tidak boleh.
Yang jadi pertanyaan adalah telah
umum di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah
menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya: Zainab
menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab
Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan
berhati-hati dengannya? Jawabannya tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka,
itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]
Sungguh
telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada
selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan
dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar
dan yang menyerupai mereka dari kaum muslimin.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’
Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan hafidzohulloh
Pertanyaan :
Apakah boleh seorang wanita setelah menikah melepaskan nama keluarganya dan mengambil nama suaminya sebagaimana orang barat?
Jawab :
Hal itu tidak diperbolehkan, bernasab kepada selain ayahnya tidak boleh, haram dalam islam. Haram
dalam islam seorang muslim bernasab kepada selain ayahnya baik
laki-laki atau wanita. Dan baginya ancaman yang keras dan laknat bagi
yang melakukannya yaitu yang bernasab kepada selain ayahnya hal itu
tidak boleh selamanya.
Dari kaset Syarh Mandhumatul Adab Syaikh al-Fauzan Hafidhohulloh
Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus hafidzohulloh
Pertanyaan :
Apakah wajib secara syar’i bagi seorang wanita menyertakan nama suaminya atau sebisa mungkin tetap menggunakan nama aslinya?
Jawab :
Tidak
boleh dari segi nasab seseorang bernasab kepada selain nasabnya yang
asli atau mengaku keturunan dari yang bukan ayahnya sendiri. Sungguh
islam telah mengharamkan seorang ayah mengingkari nasab anaknya tanpa
sebab yang benar secara ijma’.
Alloh berfirman :
ادْعُوهُمْ
لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ
اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Dan sabda nabi shollallohu alaihi wa sallam :
مَنِ
ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ،
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ
يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً
“Barang
siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan
dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Alloh, malaikat,
dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Alloh tidak akan menerima
darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah”
Dikeluarkan oleh
Muslim dalam al-Hajj (3327) dan Tirmidzi dalam al-Wala’ wal Habbah bab
Ma ja’a fiman tawalla ghoiro mawalihi (2127), Ahmad (616) dari hadits
Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu.
Dan dalam riwayat yang lain :
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”
Dikeluarkan
oleh Bukhori dalam al-Maghozi bab : Ghozwatuth Tho`if (3982), Muslim
dalam “al-Iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab” (bab Bab Seseorang
mengaku keturunan dari yang bukan bapaknya (5113) dan Ibnu Majah dalam
(al-Hudud) bab : Bab orang yang mengaku keturunan dari yang bukan
bapaknya atau berwali kepada selain walinya (2610) dan Ibnu Hibban (415)
dan Darimi (2453) dan Ahmad (1500) dan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh dan
Abu Bakroh rodhiyallohu anhuma.
Maka tidak boleh dikatakan :
Fulanah bintu Fulan sedangkan ia bukan anaknya, tetapi boleh dikatakan :
Fulanah zaujatu Fulan (Fulanah istrinya si Fulan) atau tanggungannya si
Fulan atau wakilnya Fulan. Dan jika tidak disebutkan idhofah-idhofah
ini -dan hal ini sudah diketahui & biasa- maka sesungguhnya apa-apa
yang berlaku dalam adat, itulah yang dipertimbangkan dalam syari’at-.
والعلمُ
عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على
نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا
Makkah, 4 Syawwal 1427 H
Bertepatan dengan 16 Oktober 2006 M
***
Lalu, Bagaimana yang disyariatkan?
Yang
disunnahkan adalah menggunakan nama kunyah (baca: kun-yah), sebagaimana
telah tsabit dalam banyak hadits, dan ini jelas lebih utama daripada
menggunakan laqob/julukan-julukan yang berasal dari adat barat ataupun
‘ajam. Sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh al-Albani rohimahulloh dalam Silsilah al-Ahaadits ash-Shohihahno. 132 :
Rosululloh shollallohu alahi wa sallam bersabda :
اكْتَنِي [بابنك عبدالله – يعني : ابن الزبير] أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللَّهِ
“Berkun-yahlah [dengan anakmu –yakni: Ibnu Zubair] kamu adalah Ummu Abdillah” [Lihat ash-Shohihah no. 132]
Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad : haddatsana Abdurrozzaq (bin Hammam, pent), haddatsana Ma’mar
(bin Rosyid, pent) dari Hisyam (bin ‘Urwah, pent), dari bapaknya (Urwah
bin Zubair, pent) : bahwa ‘Aisyah berkata kepada Nabi shollallohu
alaihi wa sallam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ
كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فذكره بدون الزيادة
“Wahai
Rasulullah, semua istrimu selain aku memiliki kun-yah(Gelar/panggilan)”,
lalu Rasulullah shollallohu alaihi wa sallam bersabda kepadanya : (lalu
beliau menyebutkan hadits ini tanpa tambahan).
Berkata (Urwah,
pent) : Ketika itu ‘Aisyah disebut sebagai Ummu Abdillah sampai ia
meninggal dan ia tidak pernah melahirkan sama sekali.
Berdasarkan
hadits ini, disyariatkan berkun-yah walaupun seseorang tidak memiliki
anak, ini merupakan adab Islami yang tidak ada bandingannya pada ummat
lainnya sejauh yang aku ketahui. Maka sepatutnya bagi kaum muslimin
untuk berpegang teguh padanya, baik laki-laki maupun wanita, dan
meninggalkan apa yang masuk sedkit demi sedikit kepada mereka dari
adat-adat kaum ‘Ajam seperti al-Biik (البيك), al-Afnadi (الأفندي),
al-Basya (الباشا), dan yang semisal itu seperti al-Misyu (المسيو),
as-Sayyid (السيد), as-Sayyidah (السيدة), dan al-Anisah (الآنسة), ketika
semua itu masuk ke dalam Islam. Dan para fuqoha’ al-Hanafiyyah telah
menegaskan tentang dibencinya al-Afnadi (الأفندي) karena di dalamnya
terdapat tazkiyah, sebagaimana dalam kitab ‘Hasyiyah Ibnu Abidin’. Dan
Sayyid hanya saja dimutlaqkan atas orang yang memiliki kepemimpinan atau
jabatan, dan pada masalah ini terdapat hadits (قوموا إلى سيدكم)
“Berdirilah kepada (tolonglah, pent) sayyid kalian”, dan telah berlalu
pada nomor 66 (dalam ash-Shohihah, pent) dan tidak dimutlakkan atas
semua orang karena ini juga masuk pada bentuk tazkiyah.
Faidah :
adapun hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah rodhiyallohu anha bahwa
bahwa ia mengalami keguguran dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam,
lalu ia menamainya (janin yang gugur tersebut, pent) Abdulloh, dan ia
berkun-yah dengannya, maka hadits tersebut bathil secara sanad dan
matan. Dan keterangannya ada pada adh-Dho’ifah jilid ke-9.
No comments:
Post a Comment