Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan bisa
terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu? Untuk memperjelas
pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba,
masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para
ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundurnya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini
adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang
meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan
yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang
meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan
dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp
100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagaimana yang dinukil oleh
Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam
meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau
penambahan kriteria (kualitas) atau penambahan nominal (kuantitas)
termasuk riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang
telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan
Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang
dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan
tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi,
dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan.
Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang lain.
Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan membeli
Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000
dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah
mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap
bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
b. Meminjami
seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat
pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang
tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah memberikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Modus lain yang mirip adalah memberikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak
terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan
sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah
yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta
untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau
30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba
maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka kerugian itu
ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang Yahudi
Khaibar. Wallahul muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh
mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang
dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul
musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan menggadaikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya.
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan menggadaikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya.
Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka
barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya
yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus
mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan. Maka pihak pegadaian boleh
memerah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya
hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan
susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak
ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i
dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan
masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku
adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasilkan,
maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak
enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak
diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara
yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan
timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim:
لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin
Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang
menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain
atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu:
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu:
إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya
dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang
ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wujud asal riba.
b. Hadits
tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka
diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya
nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh
Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula
yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil
Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang dzahirnya bertentangan. Wallahul muwaffiq.
Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang dzahirnya bertentangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak
boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl.
Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma
dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul
maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba
nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual
emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur
nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka
disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul
namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau
kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh
nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis
hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun
hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis
emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya.
Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma
dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau
sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian
pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau
sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir,
kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini
adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, yang
diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ
يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan
perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan
dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka
juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan
(kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya.
Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul
Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi,
dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu
menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat
tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas)
dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah
kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari
seorang Yahudi dan menggadaikan baju perang dari besi kepadanya.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum
riba) sebagaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau
tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau
mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju besinya.
Wallahu a’lam.
Ash-Sharf (Money Changer)
Ash-sharf secara
bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah
fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan
mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama
Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan emas,
perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas dengan
perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.
Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu
bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah
dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus
tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh
tafadhul.
Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata
uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis
tersendiri, real jenis tersendiri, dst.). Sehingga bila terjadi
tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misalnya,
uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka
nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl.
Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti
terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh,
berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan
rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar
bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp. 9.500,00 atau Rp. 10.500,00,
namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.
Masalah 1: Taqabudh (serah terima di tempat) dalam bab ash-sharf adalah syarat sah.
Ini adalah pendapat mayoritas besar ulama, bahkan dinukilkan adanya
ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh,
sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Dalil jumhur ulama adalah:
1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhum:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dengan perak secara hutang.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Hadits Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ
بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا يَدًا بِيَدٍ
“Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas
sekehendak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila
tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat).” (Muttafaqun
‘alaih)
Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual-beli emas
dengan perak dengan sistem tempo bila alat bayarnya adalah mata uang.
Begitu pula tidak boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat
bayarnya adalah emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama
kontemporer. Wallahul muwaffiq.
Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?
Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa
taqabudh itu boleh tarakhi (ada masa jeda setelah akad), walaupun
sehari, dua hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama kedua
pihak masih belum berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1.
Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan
radhiyallahu ‘anhu datang sambil berkata: “Siapa yang mau menukar
dirham?” Maka Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata –dan
‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu,
kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang, lalu aku
berikan perak kepadamu.” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun menimpali: “Tidak
boleh. Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau kembalikan
emasnya.”
Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun
mengambil emas tersebut, lalu dia bolak-balikkan di telapak tangannya
dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu
berkata: “Demi Allah, engkau tidak boleh berpisah dengannya sampai
engkau mengambil (perak dari pembantumu).” ‘Umar kemudian menyebutkan
hadits:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan ha` (ambil)."
2. Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang dari
kalian melakukan ash-sharf dengan temannya, maka janganlah berpisah
dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk
rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau
terkena riba.”
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Wallahu a’lam.
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Wallahu a’lam.
Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat jual beli, baik
keduanya berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang
dimaksud dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali
kepada kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).
Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.
Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.
Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya tertunda, apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya?
Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal seluruhnya.
Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal seluruhnya.
Sementara Abu
Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat yang dikuatkan dalam
madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya sah, sementara
yang belum diterima, akadnya tidak sah.
Yang rajih insya Allah
adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani
dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu berjalan bersama dengan
‘illat (sebab-sebabnya). Bila terpenuhi persyaratan sahnya maka akadnya
pun sah, wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah.
Masalah 4: Apakah ada khiyar dalam bab ash-sharf?
Adapun khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dalam bab ash-sharf itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga keduanya saling berpisah.
Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu:
Adapun khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dalam bab ash-sharf itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga keduanya saling berpisah.
Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum berpisah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah.
Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka jumhur berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.
Masalah ini perlu perincian:
Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka jumhur berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.
Masalah ini perlu perincian:
1.
Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dengan sempurna lalu minta
syarat, maka lebih baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tidak ada
yang melarang karena sudah ada taqabudh dalam akad.
2. Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum terjadinya akad, lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah itu dia melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.
Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam.
2. Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum terjadinya akad, lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah itu dia melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.
Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam.
Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yang semisalnya.
Masalah ini perlu perincian:
1. Bila yang dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji untuk
membeli barang, tanpa akad yang sempurna, maka diperbolehkan. Karena
‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual
punya hak menjualnya kepada orang lain dan sang pembeli punya hak untuk
membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan
fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan inilah pendapat yang shahih. Sementara
Al-Imam Malik memakruhkannya.
2. Bila yang dimaksud adalah akad
jual-beli secara sempurna, maka hukumnya haram, sebab tidak ada unsur
taqabudh. Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah
Ad-Da`imah.
Masalah 6: Uang muka dalam bab ash-sharf.
Bila yang diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi secara sempurna maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang, maka hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.
Bila yang diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi secara sempurna maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang, maka hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.
Masalah 7: Apakah disyaratkan adanya barang di tempat dalam bab ash-sharf?
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa
diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tidak ada barang di tempat, atau
barang dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang lain,
dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam
majelis akad sebelum berpisah.
Hujjah mereka adalah bahwa yang
dipersyaratkan dalam bab ash-sharf adalah taqabudh, dan hal itu telah
terjadi dalam transaksi di atas. Wallahu a’lam.
Hiwalah Mashrafiyyah (Transfer Valas)
Gambarannya, seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah
uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:
1.
Orang yang dikirimi menerima mata uang yang sama. Misalnya, dari
Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman
menerimanya dengan mata uang yang sama.
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:
a. Masalah hiwalah secara fiqih
b. Masalah ijarah (sewa jasa)
c. Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.
Keadaan ini diperbolehkan.
b. Masalah ijarah (sewa jasa)
c. Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.
Keadaan ini diperbolehkan.
2. Pihak yang dikirimi menerima dalam bentuk mata uang yang berbeda.
Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan
pihak penerima di Yaman menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar
(misalnya).
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:
Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.
Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.
Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan dzahir fatwa
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya
Al-Hajuri hafizhahullah.
Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehannya, karena kebutuhan dan keadaan darurat.
Namun tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama
seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah dia tidak
melakukan transaksi seperti ini.
Para ulama memberikan beberapa solusi, di antaranya:
1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.
2. Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan.
1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.
2. Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan.
Misalnya seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab
Saudi dalam bentuk real. Maka dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya
itu dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal
Western Union) mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Bila dia telah
yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, namun ternyata sampai
dalam bentuk rupiah, maka tidak mengapa bagi penerima untuk mengambil
rupiah itu karena keadan darurat. Wallahu a’lam.
Masalah 8:
Bagaimana bila sebuah mata uang tidak bisa keluar dari negerinya karena
larangan pemerintah setempat, atau karena tidak ada nilainya di luar
negeri?
Misalnya, seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi
dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin
menukar real Saudi dengan rupiah, namun karena rupiah jatuh, tidak ada
satupun money changer yang mau. Solusinya adalah:
1. Dia langsung
mengirim dalam bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia
menerima real tersebut, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
2. Atau, bila real Saudi tidak bisa keluar, maka dia tukar real dengan
dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di
Indonesia menerimanya dalam bentuk dolar, kemudian ditukar dengan rupiah
di Indonesia.
Wallahul muwaffiq.
Wallahul muwaffiq.
Penggunaan Cek dalam Ash-Sharf
Dari permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas, muncul masalah
kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam bab
ash-sharf, baik dalam jual beli emas dan perak, maupun tukar-menukar
mata uang dengan cek.
Permasalahan ini dibahas oleh para ulama,
khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank.
Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, maka jelas
larangannya.
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).
Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah terima) yang hakiki ataukah tidak?
Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau
mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Karena, cek bukanlah
taqabudh hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, bila cek
tersebut hilang, dia bisa minta lagi cek dengan nominal yang sama. Namun
beliau mengecualikan cek yang resmi dari bank maka tidak mengapa,
asalkan sang penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi
bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.”
Ulama yang melarang beralasan dengan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang tercantum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang memberi cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.
2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang hakiki.
3. Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak ada serah terima yang hakiki.
4. Cek tidak termasuk kertas alat bayar layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.
Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah terima) yang sempurna lagi hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang tercantum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang memberi cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.
2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang hakiki.
3. Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak ada serah terima yang hakiki.
4. Cek tidak termasuk kertas alat bayar layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.
Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah terima) yang sempurna lagi hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya dalam syariat disebutkan masalah qabdh (serah terima),
namun tidak ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dengan kriteria
tertentu. Rujukan hukum-hukum yang bersifat umum seperti ini adalah
kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yang terjadi di kalangan
pebisnis, cek adalah serah terima yang sempurna terhadap apa yang
terkandung di dalamnya.
2. Cek yang resmi dan diakui tidaklah
akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini adanya debet-kredit pemilik
cek pada sebuah bank. Dan ini yang dimaksud dengan hiwalah dalam fiqih
Islami .
3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan
sebagai serah terima yang hakiki. Kaidah ini ada dalam syariat, yaitu:
“Keadaan darurat membolehkan perkara yang haram”, “Kebutuhan yang umum
memiliki hukum darurat”, “Kesulitan mendatangkan kemudahan”, “Bila
perkaranya menjadi sempit maka datanglah keluasan.” Kaidah-kaidah
seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yang tertuang dalam
banyak dalil, di antaranya:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 6)
Juga ayat:
Juga ayat:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki untuk kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
4. Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan
terhadap harta benda yang dapat memotivasi para pebisnis untuk
melangsungkan bisnisnya dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.
Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah
‘Alam Islami, yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa
Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, yang
beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud, dan
Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan karena kebutuhan umum.
Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i, maka yang rajih adalah pendapat
yang melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yang darurat maka
diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak
bermuamalah dengan cara ini kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul
muwaffiq.
Jual-beli Valas (Valuta Asing)
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual-beli valas secara syar’i dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Bila jual-beli valas dari mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, maka disyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh.
2. Bila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah dengan
dolar, atau dolar dengan poundsterling, hanya disyaratkan adanya
taqabudh.
Dengan dasar kaidah di atas, maka:
a. Tidak mengapa menanti naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, bila terpenuhi persyaratannya secara syar’i di atas ketika transaksi.
b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.
c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.
a. Tidak mengapa menanti naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, bila terpenuhi persyaratannya secara syar’i di atas ketika transaksi.
b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.
c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenarnya masih
banyak permasalahan yang perlu diangkat, namun karena keterbatasan
lembar majalah ini maka kami cukupkan sampai di sini. Selebihnya dapat
merujuk karya-karya para ulama dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.
Wallahul muwaffiq.
Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi
No comments:
Post a Comment