Ditengah kondsi ekonomi (global) yang semakin tidak menentu, banyak usaha usaha yang dilakukan baik oleh kelompok ataupun individu untuk tetap bisa eksis dalam mendapatkan keuntungan. Salah satu caranya adalah dengan membuka praktek pinjam meminjam uang. Pinjam meminjam uang ini dilakukan dengan maksud untuk bisa mendapatkan uang lebih dari hasil bunga dari uang yang dipinjamkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum
Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, sejak hampir 12 tahun
yang lalu tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan
fatwa tentang bunga.
Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan
lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas
dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).
Karena riba haram, berarti bunga juga termasuk haram. Oleh karena itu, sejujurnya
tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk
perkara yang segamblang atau qath‘î itu tidaklah diperlukan fatwa, alias
tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa di sini lebih merupakan sebagai penegasan
saja.
Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas
dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga
keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.
Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan
keterlibatan di dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami:
“Hukum Seputar Riba dan Pegawai Bank” yang diterbitkan Ar-Raudhoh
Pustaka).
Dosa Riba
Seberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut menjawabnya:
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba
lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam
(setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).
“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan” Orang-orang
bertanya, apakah gerangan wahai Rasul? Beliau menjawab: “Syirik kepada
Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan
hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang
serangan musuh dan menuduh wanita mu’min yang suci berzina”. (HR Bukhari Muslim)
Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang
sejajar dengan dosa syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim,
melarikan dari jihad, dan menuduh wanita baik-baik berzina.
Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba
berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk
mengazab mereka semua.
“Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat
di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya dari azab Allah” (HR. Al Hakim)
Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?
Hukum Menjadi Pegawai Bank Konvensional
Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW:
“Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:
“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil
riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka
itu sama.” (HR. Muslim)
Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:
“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua
orang saksinya –jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat
lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR. Nasa’i)
Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan
untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah
satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan
transaksi terhadap jasa yang diharamkan.
Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut.
Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang
menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini
jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membanggakan sebagian
kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif) di
kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga
keuangan dan pembiayaan.
Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil
yang disebutkan diatas:
1. Penerima Riba.
Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi
yang menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui
aktivitas tersebut adalah riba. Baik melalui pinjaman kredit, gadai,
ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya, maka semua yang
mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka ia
haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah
orang-orang yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga
keuangan dan pembiayaan lainnya untuk membeli sesuatu atau membiayai
sesuatu dengan pembayaran kredit yang disertai dengan bunga (rente),
baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal.
2. Pemberi Riba.
Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang
menggunakan hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk
suatu aktivitas yang menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian
ini adalah para pemilik perusahaan keuangan, pembiayaan atau bank dan
juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur atau
Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas
yang menghasilkan riba.
3. Pencatat Riba.
Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat
aktivitas yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller,
orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan orang yang membuatkan
teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba.
4. Saksi Riba.
Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam
suatu transaksi atau perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di
dalamnya mereka yang menjadi pengawas (supervisor).
Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua
lembaga yang berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu
tentang aktivitas pekerjaan atau deskripsi kerja dari status pegawai
bank tersebut.
Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah bagian dari pekerjaan riba,
baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang
menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim
haram untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur,
akuntan, teller dan supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang
menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik yang berhubungan
secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak berhubungan
dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci,
penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi
Informasi), tukang sapu dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena
transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk mengontrak jasa dari
pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa
disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba,
yang memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas
(sharih).
Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang
mengurusi kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas
menyerahkan pinjaman kepada petani dengan riba, para pegawai keuangan
yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para pegawai panti asuhan yang
pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka semuanya termasuk
pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap
berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun
saksinya. Jadi, tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT,
maka seorang muslim diharamkan sebagai ajiir di dalamnya.
Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan
tersebut, apabila pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut
syara’ untuk mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di
dalamnya.
Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara’ tidak
mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk
menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk
menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram
dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak
yang dikontrak (ajiir).
Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-menolong dalam perbuatan dosa.
وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 02)
Wallahu’alam
No comments:
Post a Comment