Manusia adalah mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna. Namun Manusia memiliki sifat yang jauh dari kata sempurna. Tidak bisa dipungkiri, makhluk yang namanya manusia pasti pernah mengalami perasaan down ketika mendapat masalah. Dari situlah muncul sifat yang bernama 
mengeluh. Disadari atau tidak, mengeluh seperti sudah menjadi bagian 
dari hidup. Hanya saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang 
membedakan antara satu orang dengan orang lainnya.
Biasanya perbedaan ini bersumber pada kedalaman terhadap agama, dalam hal ini adalah agama Islam yang sangat kita cintai. Sikap sabar, 
ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk mengubah sebuah keadaan 
menjadi lebih baik, biasanya akan meminimalisir keluhan.
Sebaliknya, sikap lemah, apriori, pesimis dan buruk sangka terhadap 
kejadian yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan 
keluhan-keluhan yang alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan 
menambah ruwet dan akan menimbulkan masalah baru lagi.
Mengeluh sejatinya perwujudan serta gambaran dari rasa tidak puas Tidak ikhlas dalam 
menerima sebuah ketentuan yang terjadi, baik dari segi materi dan non 
materi. Ketika sakit berkeluh kesah, macet mengumpat, banjir atau 
kekeringan mengkambing hitamkan orang lain. Atau ketika ditimpa musibah 
menghardik Tuhan tidak adil, gaji kecil, belum punya rumah dan kendaraan
 pribadi acap menyalahkan suami (bagi para istri) atau anak-anak nakal 
dan bermasalah tidak jarang meyalahkan istri (bagi para suami).
Ya, sebagian contoh kecil tersebut adalah manifestasi dari rasa tidak
 puas. Belum lagi kita saksikan fenomena di negeri yang kita cintai ini.
 Berita di televisi mayoritas menyuguhkan tentang aksi demo dan 
kekerasan, kerusuhan dimana-mana, tindak kriminal, penyalahgunaan 
kekuasaan, korupsi-kolusi dan nepotisme dan banyak lagi yang kesemuanya 
menunjukkan pada satu hal : ketidakpuasan! Sebuah potret masyarakat yang
 diwarnai dengan berbagai keluhan.
Lalu, sebagai seorang yang mengaku muslim dan punya tuntunan yang 
jelas tentu saja kita tidak akan membiarkan diri kita terperosok lebih 
jauh ke dalam perbuatan yang sesungguhnya dibenci oleh Allah Swt. Kenapa
 dibenci oleh Allah Swt.? Karena sesunggunya Allah Swt. menyukai hamba 
yang senantiasa bersyukur dengan segala ketentuan dan bersabar ketika 
ditimpa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan.
Melihat fakta yang mayoritas bahwa manusia tidak pernah lepas dari 
keluh kesah maka sangat penting bagi setiap muslim/muslimah mempunyai 
manajemen yang tepat agar tidak terpeleset dalam keluh kesah yang tidak 
diperbolehkan dan pandai menyikapi setiap kejadian yang dihadapi dengan 
mengacu kepada teladan kita Rasulullah Saw.
Mengeluh Indikasi Tidak Bersyukur 
Allah Swt. berfirman dalam QS An-nahl : 18, artinya :  “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.”
Ketika seseorang hanyut dalam keluhan, panca inderanya pun tak mampu 
lagi memainkan perannya untuk melihat, mendengar, mencium dan merasakan 
nikmat yang bertebaran diberikan oleh Allah Swt. tak henti-hentinya. 
Hatinya serta merta buta dari mengingat dan bersyukur atas nikmat Allah 
yang tiada terbatas. Itulah sifat manusia yang selalu mempunyai 
keinginan yang tidak terbatas dan tidak pernah puas atas pemberian Allah
 kecuali hamba-hamba yang bersyukur dan itu hanya sedikit.
Pada zaman Sayyidina Umar al-Khattab, ada seorang pemuda yang sering 
berdoa di sisi Baitullah yang maksudnya: “Ya Allah! Masukkanlah aku 
dalam golongan yang sedikit.”
Doa beliau didengar oleh Sayyidina Umar ketika beliau (Umar) sedang 
melakukan tawaf di Ka’bah. Umar heran dengan permintaan pemuda tersebut.
 Selepas melakukan tawaf, Sayyidina Umar memanggil pemuda tersebut dan 
bertanya, “Mengapa engkau berdoa sedemikian rupa (Ya Allah! masukkanlah 
aku dalam golongan yang sedikit), apakah tidak ada permohonan lain yang 
engkau mohonkan kepada Allah?”
Pemuda itu menjawab, “Ya Amirul Mukminin! Aku membaca doa itu karena 
aku takut dengan penjelasan Allah dalam surah Al-A’raaf ayat 10, yang 
artinya: ‘Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu sekalian 
di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan) 
penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur’. Aku memohon 
agar Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, (lantaran) 
terlalu sedikit orang yang tahu bersyukur kepada Allah,” jelas pemuda 
tersebut.
Semoga kita menjadi hamba-hamba yang dikategorikan sedikit oleh Allah
 dalam ayat tersebut. Dengan selalu menjaga ikhlas dan sabar terhadap 
segala kejadian atau ketentuan yang diberikan oleh Allah. Dan 
berprasangka positif bahwa apa yang telah terjadi adalah yang terbaik 
menurut Allah, sehingga hanya rasa syukur saja yang terlintas di benak, 
terucap di bibir dan terlihat dari tindakan karena sesungguhnya jika 
kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat-Nya dan jika kita ingkar,
 sesunggunya azab Allah sangat pedih (QS Ibrahim:7).
Mengeluh Hanya Pada Allah Swt
Ketika sebuah kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang, 
katakanlah ditimpa sebuah masalah yang berdampak menitikkan air mata, 
menyakitkan hati, membuat kepala berdenyut-denyut dan menjadikan 
seseorang itu merasa diberi ujian yang sangat berat dan tidak sanggup 
mengatasinya sendiri, sebuah tindakan manusiawi jika ia membutuhkan 
orang lain dalam penyelesaian masalahnya. Lalu, benarkah tindakannya 
jika ia mengeluhkan masalahnya kepada orang lain?
Rasulullah Saw. pernah mengalami sebuah kondisi yang jauh dari yang 
beliau inginkan. Para kaum musyrikin mengabaikan seruannya dan juga 
mencampakkan Al-Quran. Mereka telah mengacuhkan Al-Quran dalam beberapa 
bentuk diantaranya: mereka tidak mau mengimani Al-Quran, mereka tidak 
mau mendengarkan Al-Quran, bahkan mereka menolaknya dan mengatakan bahwa
 Al-Quran adalah ucapan dan bualan Muhammad si tukang syair dan sihir . 
Kaum musyrikin juga berusaha untuk mencegah orang-orang yang berusaha 
mendengarkan Al-Quran dan dakwah Rasulullah Saw.
Dalam kondisi tertekan tersebut Rasulullah Saw. mengeluh dan mengaduh
 hanya kepada Allah Swt. seperti yang terkandung dalam QS Al-Furqon : 
30, yang artinya :  “Dan berkatalah Rasul: Ya Tuhanku! Kaumku ini sesungguhnya telah meninggalkan jauh al-Quran”.
Begitu pula dengan Nabi Ya’qub dan Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah,“ (QS. Yusuf : 86).
Dan Nabi Ayyub a.s. , yang disebutkan Allah dalam firman-Nya, bahwa Ayyub berkata, yang artinya : “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau (Allah) adalah Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang,”(QS Al-Anbiyaa’: 83).
Sebaiknya, mengeluhlah hanya kepada Allah Swt., karena sesungguhnya 
semua kejadian sudah menjadi sebuah ketentuan-Nya dan hanya Dia-lah 
sebaik-baik pemberi solusi. Tetapi dalam kondisi-kondisi dimana 
seseorang mengeluh (sharing) tentang masalahnya kepada orang yang ia 
yakini amanah dan dengan catatan untuk mendapatkan penyelesaian, maka 
dalam hal ini sebagian ulama memperbolehkan.
Sebagaimana Ibnu Qayyim , dalam ‘Uddatu Ash Shabirin, menyatakan 
bahwa adapun menceritakan kepada orang lain tentang perihal keadaan, 
dengan maksud meminta bantuan petunjuknya atau pertolongan agar 
kesulitannya hilang, maka itu tidak merusak sikap sabar ; seperti orang 
sakit yang memberitahukannya kepada dokter tentang keluhannya, orang 
teraniaya yang bercerita kepada orang yang diharapkannya dapat 
membelanya, dan orang yang tertimpa musibah yang menceritakan musibahnya
 kepada orang yang diharapkannya dapat membantunya.
Membiasakan Diri dengan Mengeluh Positif
Mengeluh positif ? Spontan pasti muncul pertanyaan ketika membaca 
subjudul tersebut. Iya, ternyata mengeluh tidak selalu berkonotasi 
negatif. Tidak sabar menghadapi ujian, kurang ikhlas menerima ketentuan 
dan hasad/iri pada orang lain acap kali membuat diri menjadi tidak 
berdaya sehingga mengeluarkan kata-kata yang bermakna tidak puas yang 
merupakan perwujudan dari mengeluh. Tetapi, jika seseorang hasad/iri 
terhadap kebaikan dan amal saleh orang lain yang membuat dirinya 
termotivasi untuk berbuat hal yang sama bahkan lebih tanpa 
mengurangi/menghilangkan kebaikan orang lain tersebut maka hasad model 
ini dikategorikan sebagian ulama sebagai hasad yang positif.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi
 dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah 
seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini 
diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya 
dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang 
dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar 
mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan 
nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu 
dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.
Jadi, marilah kita sama-sama membekali diri dengan ketaatan hanya 
kepada Allah Swt. dengan cara senantiasa mendekatkan diri pada-Nya. 
Tidak pernah puas untuk mengkaji ilmu-ilmu-Nya agar dalam setiap desahan
 napas selalu mengaitkan dengan hukum-hukum-Nya. Jika ada niat dan tekad
 dengan sungguh-sungguh, insya Allah ikhlas dan sabar akan menjadi 
perhiasan yang akan mewarnai akhlak kita sehari-hari dan kita 
dihindarkan dari lisan dan sikap yang sering berkeluh kesah. Cukuplah 
mengeluh positif dalam genggaman, yaitu mengeluh dalam rangka 
bermuhasabah dan berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga dapat meraih 
derajat taqwa yang sesungguhnya. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment