Emansipasi Wanita seharusnya ditujukan pada Cut Nyak Dien, bukan pada RA. Kartini. Menurut penulis buku Zaynur Ridwan dalam akun jejaring Facebooknya,
emansipasi wanita seharusnya ditujukan kepada Cut Nyak Dien, bukan
kepada RA Kartini.
Melihat hati seorang Pahlawan dari kata-katanya :
Kartini : Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya TIADA SATU AGAMA pun
di atas dunia ini. Karena agama-agama ini, yang justru harus persatukan
semua orang, sepanjang abad-abad telah lewat menjadi biang-keladi
peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling
kejam. (6 Nopember 1899)
Cut Nyak Dien : Islam adalah AGAMA KEBENARAN dan harus diperjuangkan di tanah Aceh sampai akhir darah menitik.
Kartini : Hatiku menangis melihat segala tata cara ala ningrat yang rumit itu…
Cut Nyak Dien : Kita perempuan seharusnya tidak menangis di hadapan
mereka yang telah syahid (Disampaikan pada anaknya Cut Gambang ketika
ayahnya, Teuku Umar tertembak mati)
Kartini : Aku mau meneruskan
pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik
untuk tugas besar yang telah kupilih. (Surat Kartini kepada Ny. Ovink
Soer, 1900)
Cut Nyak Dien : Untuk apa bersahabat dengan Ulanda
Kaphe (Belanda Kafir) yang telah membakar masjid-masjid kita dan
merendahkan martabat kita sebagai muslim!
Idealnya seorang
Pahlawan memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme bukan kesetaraan
yang tak jelas. Kartini tidak melalui satu medan perang pun, Kartini
tidak hidup di hutan dan tidak pernah merasakan kehilangan suami dan
anaknya, Kartini menggunakan peluru ‘pena’ dengan berkirim surat pada
teman2 Feminis-nya di Belanda utk memperjuangkan hak perempuan yang
menurutnya ‘dikekang’ oleh budaya Jawa khususnya ningrat. Jadi musuh
Kartini bukan kolonial Belanda tapi adat ningrat Jawa. Mestinya ia jadi
pahlawan bagi kaum Bumiputera Jawa.
Cut Nyak Dien berjuang dari
hutan ke hutan, bahkan ketika matanya mulai rabun dan penyakit encoknya
kambuh, ia tidak berhenti berjuang. Ia melihat dua suaminya tertembak
oleh Belanda, gugur di medan perang. Ia kehilangan anak perempuannya
yang lari ke hutan ketika ia ditangkap dan dibuang ke Sumedang. Ia
membangkitkan semangat jihad masyarakat Aceh ketika masjid-masjid mereka
dibakar Belanda. Inilah pahlawan sejati yang seharusnya direnungi
perjuangannya setiap tahun, perempuan yang melawan penjajah Belanda,
bukan yang meminta bantuan Belanda dan bersahabat dengan mereka selama
masa penjajahan.
Oleh: Zaynur Ridwan
No comments:
Post a Comment