Sunday, December 6, 2015

RJ Lino dan Para Banditnya

Siapakah Richard Joost Lino, sampai berani mengancam Presiden Jokowi, dan membuat Komjen Budi Waseso terlempar dari jabatannya sebagai Kabareskrim?
Bagi mereka yang tahu seluk-beluk Pelabuhan Tanjung Priok, pasti tahu bahwa backing utama Lino adalah Sofyan Djalil. Ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan “pemain” Tanjung Priok. Tidak heran jika Lino langsung mengontak Sofyan, ketika kantornya digeruduk Bareskrim.
Disebut-sebut Sofyan Djalil pernah “menjinakkan” serikat pekerja supaya tidak terlalu kritis terhadap Lino. Dari sebuah blog pribadi (www.emoneday.wordpress.com) seseorang menulis kilas balik hubungan Lino, Djalil dan Kalla. Berikut kutipannya:
Lalu siapa di atas Sofyan Djalil? Siapa Don Corleone-nya?
Semua orang tahu, dia adalah Jusuf Kalla sang Wakil Presiden.
Kita putar balik ke tahun 2009 saat RJ Lino diangkat jadi Direktur Pelindo II. Dari sini kelihatan permainan dan kedekatan RJ Lino dengan Sofyan Djalil. Waktu itu banyak drama yang perlu kita ketahui. Jadi setelah jabatan direksi berakhir, komisaris merekom nama-nama calon Dirut BUMN sesuai Undang-Undang.
Maksudnya ada fit and proper test dari Kementrian BUMN. Ternyata nama Richard Joost Lino tidak pernah diusulkan ke Menteri BUMN oleh dewan pengawas.
Kenapa itu bisa terjadi dan kenapa justru yang lolos adalah RJ Lino yang tak diperkirakan dan tak direkomendasikan dewan pengawas?
Begini ceritanya.
Sebulan sebelum pergantian direksi Pelindo II, Sofyan Djalil berkunjung ke Guangxi meninjau Pelabuhan Aneka Kimia Raya (AKR). Kunjungan Sofyan Djalil itu atas saran Ahmad Kalla, adik Jusuf Kalla, untuk melihat proyek yang dikerjakan oleh RJ Lino. Kebetulan waktu itu Lino menjabat sebagai Direktur di Pelabuhan AKR Guangx –sebuah pelabuhan yang tidak terkenal karena hanya Pelabuhan sungai-.
Pada momen itulah, keduanya disatukan. Sofyan Djalil dibuat takluk oleh R.J Lino dan tentunya Ahmad Kalla. Di sana juga pada akhirnya Kalla mendesak Sofyan Djalil untuk mengangkat Lino sebagai Direktur Pelindo II Tanjung Priok.
Awal Mei 2009, Sofyan Djalil mengajukan RJ Lino, lewat Jusuf Kalla untuk menjadi Dirut Pelindo II. Waktu itu Sofyan Djalil masih menjabat sebagai Menteri BUMN, sementara Jusuf Kalla adalah wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akhirnya, Lino pun dilantik menjadi Direktur Pelindo II, dengan menelikung semua nama yang tadinya direkomendasikan. Atas kongkalikong Sofyan Djalil dan Jusuf Kalla, jadilah RJ Lino sebagai boss Pelindo II.
Tak heran, Wapres Jusuf Kalla membela Lino ketika penggeledahan Bareskrim terjadi. Bahkan, Wapres seperti mengancam halus Polisi, untuk bertindak “hati-hati”.
Dilansir dari Harian Kompas 30 Agustus 2015, Jusuf Kalla berkata, “Polisi harus menjalankan perintah Presiden dalam mengusut kasus Lino dan tidak boleh keluar dari itu.”
Luar biasa Lino!
Sampai-sampai seorang Wakil Presiden pun harus pasang badan untuk beliau.
Lalu ada selentingan beredar bahwa akhir Agustus, Lino berencana ke luar negeri. Ada apa? Di samping itu, Lino ditengarai masih sibuk menelpon dan mengirim pesan singkat kebeberapa pejabat Istana. Mungkin saja minta perlindungan.
Santer beredar, salah satu yang dihubungi adalah Teten Masduki. Bahkan sms Lino ke Teten pun, sudah beredar di dunia maya.
Begini isinya: “Pagi Pak Teten. Saya kira Presiden sudah tahu penggeledahan di Kantor Pelindo 2 kemarin oleh Bareskrim, saya ngak pernah ditanya dan diperiksa, kita digledah seperti terrorist, kalau issuenya kaitan dengan dwelling time, sama sekali tidak ada kaitan (orang yang ngerti Pelabuhan akan ketawa). Kalau kaitan dengan korupsi atau proses pengadaan alat, hal ini sudah diaudit oleh BPK tiga bulan yal dan clear. Kalau begini caranya aparat dan saya ngak didukung oleh presiden dan wakil presiden sangat sulit bagi saya utk kerja (Anak buah saya pasti ketakutan, Boss nya saja dibegitukan oleh Polisi). Kalau ngak ada dukungan dan commitment yang jelas dari orang No1 & 2 di negeri ini, saya akan segera menyampaikan surat pengunduran diri saya…. Thanks. Lino.”
Saat ini Istana untuk kesekian kalinya, kembali berada dalam ancaman Lino. Presiden Joko Widodo akan menjadi penentu, bagaimana drama ini akan diakhiri.
Seperti diketahui, tahun 2010 RJ Lino melakukan pembelian alat bongkar muat (ABM) besar-besaran untuk Pelindo II senilai hampir Rp 2,7 triliun. Pembelian ABM tersebut lewat jaringan Ahmad Kalla. Salah satu buktinya adalah pembelian 3 Quay Crane, yang vendornya Huang Dong Heavy Machinery.
Huang Dong Heavy Machinery itu tak lain adalah vendor pengadaan QCC pertama di pelabuhan milik Kalla di Guangxi dimana Lino pernah jadi dirut di sana.
Selain spesifikasi rendah, ABM dari vendor ini tak dibutuhkan oleh pelabuhan kita. Tapi tetap dibeli oleh RJ Lino. Entah apa tujuannya.
Tak heran alat-alat tersebut kemudian rusak dan tak bisa digunakan, bahkan kini masih mangkrak di Pelabuhan Tanjung Priok di dermaga 003. Banyak lagi pengadaan alat-alat lain, semuanya menggunakan jaringan AKR. Mafia pengadaan alat-alat lain semuanya menggunakan jaringan Ahmad Kalla.
Tidak kebetulan jika salah satu yang mangkrak adalah mobil crane yang sedang ditangani polisi ini. Sejak kedatangannya tahun 2012 belum pernah digunakan. Dalam hal ini, negara rugi Rp 50 miliar.
Kemudian ada fakta baru lagi mengenai “kedekatan” Lino, Djalil dan Kalla lewat sebuah perusahaan bernama PT Bukaka Utama. Ternyata, rumor yang selama ini beredar dimana R.J Lino menguasai saham perusahaan tersebut, adalah benar adanya.
Adapun penguasaan saham itu melalui tangan menantunya orang Malaysia bernama Moh Ezra Effendi yang menikahi putri RJ Lino bernama Clarissa. Transaksinya dilakukan pada tahun 2010 melalui perusahaan Armadeus Acquisition dengan akuisi saham PT Bukaka sebesar 46,6%.
Perusahaan Armadeus Acquisition dinahkodai oleh Moh Ezra Effendi. Sedangkan putra putri RJ Lino adalah pemegang saham Armadeus Acqusition. RJ Lino pun menempatkan orang-orang Bukaka di beberapa anak perusahaan PT Pelindo II antara lain adalah Imron Zubaidi eks pegawai PT Bukaka Utama. Dia diangkat RJ Lino sebagai Komisaris Utama PT Pengerukan Indonesia (Persero), yang kini telah menjadi anak perusahaan PT Pelindo II.
Tidak kebetulan juga, ternyata Bukaka ini berafiliasi dengan Kalla Group –bisnis keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla – yang terlibat dalam kegiatan konstruksi dan teknik.
Bukaka beserta semua afiliasinya ini mengoperasikan 9 unit bisnis yang produksi menara baja, jembatan baja, jembatan penumpang pesawat, konstruksi jalan, alat minyak gas dan kendaraan tujuan khusus dan bergerak dalam pembangkit listrik, menggembleng dan pemeliharaan dan layanan lepas pantai.
PT Bukaka sendiri pernah delisting dari Bursa Efek pada tahun 2006 karena performance keuangan yang tidak bagus yakni mengalami aktiva negatif selama 3 tahun berturut turut.
Mengejutkan, di kemudian hari Bukaka bisa relisting karena intervensi Sofyan Djalil sebagai Menko Perekonomian waktu itu. Hal lain, waktu Bukaka disuspend pada tahun 2006, Achmad Kalla lah yang membantu dan menalangi semua kewajiban ke pihak ketiga.
Kembali ke alat-alat ABM mangkrak. Jadi, pembelian ini seperti mainan. Uang negara diputar ke sana kemari yang ujungnya lari ke kantong kongsi bisnis.
Beking orang kuat ini pula (JK) yang membuat RJ Lino seperti tak tersentuh walaupun banyak sekali protes dan laporan tentang dia.
Seperti fakta tadi dimana Bukaka adalah kongsi utama keluarga Kalla.
Konon banyak proyek pelabuhan jatuh ke grup usaha keluarga Kalla. Menarik lagi temuan bahwa Menantu Lino yg orang Malaysia pemilik 49 % saham Grup Bukaka. Cantelan bisnis dan politik inilah yang belum terungkap.
Relasi politik sebenarnya terbuka ketika Lino dengan sangat emosional menelpon Menteri Bappenas Sofyan Djalil.
Kok bisa RJ Lino yang hanya Dirut BUMN, berani telpon mantan Menko dengan nada ketus, jika tak punya hubungan khusus dengan boss dari menteri tersebut.
Publik tahu dan gamblang, Sofyan Djalil walaupun tak berprestasi, tetap jadi menteri karena ia orang Jusuf Kalla.

No comments:

Post a Comment

Dukhon

Saat ini di dunia dan juga tentu saja termasuk indonesia, sedang perjadi pandemi yang berasal dari corona. Nama legkapnya virus corona. Ata...