Siapakah Richard Joost Lino, sampai berani mengancam Presiden Jokowi,
dan membuat Komjen Budi Waseso terlempar dari jabatannya sebagai
Kabareskrim?
Bagi mereka yang tahu seluk-beluk Pelabuhan Tanjung
Priok, pasti tahu bahwa backing utama Lino adalah Sofyan Djalil. Ini
sudah menjadi rahasia umum di kalangan “pemain” Tanjung Priok. Tidak
heran jika Lino langsung mengontak Sofyan, ketika kantornya digeruduk
Bareskrim.
Disebut-sebut Sofyan Djalil pernah “menjinakkan”
serikat pekerja supaya tidak terlalu kritis terhadap Lino. Dari sebuah
blog pribadi (www.emoneday.wordpress.com) seseorang menulis kilas balik hubungan Lino, Djalil dan Kalla. Berikut kutipannya:
Lalu siapa di atas Sofyan Djalil? Siapa Don Corleone-nya?
Semua orang tahu, dia adalah Jusuf Kalla sang Wakil Presiden.
Semua orang tahu, dia adalah Jusuf Kalla sang Wakil Presiden.
Kita putar balik ke tahun 2009 saat RJ Lino diangkat jadi Direktur
Pelindo II. Dari sini kelihatan permainan dan kedekatan RJ Lino dengan
Sofyan Djalil. Waktu itu banyak drama yang perlu kita ketahui. Jadi
setelah jabatan direksi berakhir, komisaris merekom nama-nama calon
Dirut BUMN sesuai Undang-Undang.
Maksudnya ada fit and proper
test dari Kementrian BUMN. Ternyata nama Richard Joost Lino tidak pernah
diusulkan ke Menteri BUMN oleh dewan pengawas.
Kenapa itu bisa
terjadi dan kenapa justru yang lolos adalah RJ Lino yang tak
diperkirakan dan tak direkomendasikan dewan pengawas?
Begini ceritanya.
Sebulan sebelum pergantian direksi Pelindo II, Sofyan Djalil berkunjung
ke Guangxi meninjau Pelabuhan Aneka Kimia Raya (AKR). Kunjungan Sofyan
Djalil itu atas saran Ahmad Kalla, adik Jusuf Kalla, untuk melihat
proyek yang dikerjakan oleh RJ Lino. Kebetulan waktu itu Lino menjabat
sebagai Direktur di Pelabuhan AKR Guangx –sebuah pelabuhan yang tidak
terkenal karena hanya Pelabuhan sungai-.
Pada momen itulah,
keduanya disatukan. Sofyan Djalil dibuat takluk oleh R.J Lino dan
tentunya Ahmad Kalla. Di sana juga pada akhirnya Kalla mendesak Sofyan
Djalil untuk mengangkat Lino sebagai Direktur Pelindo II Tanjung Priok.
Awal Mei 2009, Sofyan Djalil mengajukan RJ Lino, lewat Jusuf Kalla
untuk menjadi Dirut Pelindo II. Waktu itu Sofyan Djalil masih menjabat
sebagai Menteri BUMN, sementara Jusuf Kalla adalah wakil presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Akhirnya, Lino pun dilantik menjadi Direktur Pelindo
II, dengan menelikung semua nama yang tadinya direkomendasikan. Atas
kongkalikong Sofyan Djalil dan Jusuf Kalla, jadilah RJ Lino sebagai boss
Pelindo II.
Tak heran, Wapres Jusuf Kalla membela Lino ketika
penggeledahan Bareskrim terjadi. Bahkan, Wapres seperti mengancam halus
Polisi, untuk bertindak “hati-hati”.
Dilansir dari Harian Kompas
30 Agustus 2015, Jusuf Kalla berkata, “Polisi harus menjalankan perintah
Presiden dalam mengusut kasus Lino dan tidak boleh keluar dari itu.”
Luar biasa Lino!
Sampai-sampai seorang Wakil Presiden pun harus pasang badan untuk beliau.
Lalu ada selentingan beredar bahwa akhir Agustus, Lino berencana ke
luar negeri. Ada apa? Di samping itu, Lino ditengarai masih sibuk
menelpon dan mengirim pesan singkat kebeberapa pejabat Istana. Mungkin
saja minta perlindungan.
Santer beredar, salah satu yang dihubungi adalah Teten Masduki. Bahkan sms Lino ke Teten pun, sudah beredar di dunia maya.
Begini isinya: “Pagi Pak Teten. Saya kira Presiden sudah tahu
penggeledahan di Kantor Pelindo 2 kemarin oleh Bareskrim, saya ngak
pernah ditanya dan diperiksa, kita digledah seperti terrorist, kalau
issuenya kaitan dengan dwelling time, sama sekali tidak ada kaitan
(orang yang ngerti Pelabuhan akan ketawa). Kalau kaitan dengan korupsi
atau proses pengadaan alat, hal ini sudah diaudit oleh BPK tiga bulan
yal dan clear. Kalau begini caranya aparat dan saya ngak didukung oleh
presiden dan wakil presiden sangat sulit bagi saya utk kerja (Anak buah
saya pasti ketakutan, Boss nya saja dibegitukan oleh Polisi). Kalau ngak
ada dukungan dan commitment yang jelas dari orang No1 & 2 di negeri
ini, saya akan segera menyampaikan surat pengunduran diri saya….
Thanks. Lino.”
Saat ini Istana untuk kesekian kalinya, kembali
berada dalam ancaman Lino. Presiden Joko Widodo akan menjadi penentu,
bagaimana drama ini akan diakhiri.
Seperti diketahui, tahun 2010
RJ Lino melakukan pembelian alat bongkar muat (ABM) besar-besaran untuk
Pelindo II senilai hampir Rp 2,7 triliun. Pembelian ABM tersebut lewat
jaringan Ahmad Kalla. Salah satu buktinya adalah pembelian 3 Quay Crane,
yang vendornya Huang Dong Heavy Machinery.
Huang Dong Heavy
Machinery itu tak lain adalah vendor pengadaan QCC pertama di pelabuhan
milik Kalla di Guangxi dimana Lino pernah jadi dirut di sana.
Selain spesifikasi rendah, ABM dari vendor ini tak dibutuhkan oleh
pelabuhan kita. Tapi tetap dibeli oleh RJ Lino. Entah apa tujuannya.
Tak heran alat-alat tersebut kemudian rusak dan tak bisa digunakan,
bahkan kini masih mangkrak di Pelabuhan Tanjung Priok di dermaga 003.
Banyak lagi pengadaan alat-alat lain, semuanya menggunakan jaringan AKR.
Mafia pengadaan alat-alat lain semuanya menggunakan jaringan Ahmad
Kalla.
Tidak kebetulan jika salah satu yang mangkrak adalah mobil
crane yang sedang ditangani polisi ini. Sejak kedatangannya tahun 2012
belum pernah digunakan. Dalam hal ini, negara rugi Rp 50 miliar.
Kemudian ada fakta baru lagi mengenai “kedekatan” Lino, Djalil dan Kalla
lewat sebuah perusahaan bernama PT Bukaka Utama. Ternyata, rumor yang
selama ini beredar dimana R.J Lino menguasai saham perusahaan tersebut,
adalah benar adanya.
Adapun penguasaan saham itu melalui tangan
menantunya orang Malaysia bernama Moh Ezra Effendi yang menikahi putri
RJ Lino bernama Clarissa. Transaksinya dilakukan pada tahun 2010 melalui
perusahaan Armadeus Acquisition dengan akuisi saham PT Bukaka sebesar
46,6%.
Perusahaan Armadeus Acquisition dinahkodai oleh Moh Ezra
Effendi. Sedangkan putra putri RJ Lino adalah pemegang saham Armadeus
Acqusition. RJ Lino pun menempatkan orang-orang Bukaka di beberapa anak
perusahaan PT Pelindo II antara lain adalah Imron Zubaidi eks pegawai PT
Bukaka Utama. Dia diangkat RJ Lino sebagai Komisaris Utama PT
Pengerukan Indonesia (Persero), yang kini telah menjadi anak perusahaan
PT Pelindo II.
Tidak kebetulan juga, ternyata Bukaka ini
berafiliasi dengan Kalla Group –bisnis keluarga Wakil Presiden Jusuf
Kalla – yang terlibat dalam kegiatan konstruksi dan teknik.
Bukaka beserta semua afiliasinya ini mengoperasikan 9 unit bisnis yang
produksi menara baja, jembatan baja, jembatan penumpang pesawat,
konstruksi jalan, alat minyak gas dan kendaraan tujuan khusus dan
bergerak dalam pembangkit listrik, menggembleng dan pemeliharaan dan
layanan lepas pantai.
PT Bukaka sendiri pernah delisting dari
Bursa Efek pada tahun 2006 karena performance keuangan yang tidak bagus
yakni mengalami aktiva negatif selama 3 tahun berturut turut.
Mengejutkan, di kemudian hari Bukaka bisa relisting karena intervensi
Sofyan Djalil sebagai Menko Perekonomian waktu itu. Hal lain, waktu
Bukaka disuspend pada tahun 2006, Achmad Kalla lah yang membantu dan
menalangi semua kewajiban ke pihak ketiga.
Kembali ke alat-alat
ABM mangkrak. Jadi, pembelian ini seperti mainan. Uang negara diputar ke
sana kemari yang ujungnya lari ke kantong kongsi bisnis.
Beking
orang kuat ini pula (JK) yang membuat RJ Lino seperti tak tersentuh
walaupun banyak sekali protes dan laporan tentang dia.
Seperti fakta tadi dimana Bukaka adalah kongsi utama keluarga Kalla.
Seperti fakta tadi dimana Bukaka adalah kongsi utama keluarga Kalla.
Konon banyak proyek pelabuhan jatuh ke grup usaha keluarga Kalla.
Menarik lagi temuan bahwa Menantu Lino yg orang Malaysia pemilik 49 %
saham Grup Bukaka. Cantelan bisnis dan politik inilah yang belum
terungkap.
Relasi politik sebenarnya terbuka ketika Lino dengan sangat emosional menelpon Menteri Bappenas Sofyan Djalil.
Kok bisa RJ Lino yang hanya Dirut BUMN, berani telpon mantan Menko
dengan nada ketus, jika tak punya hubungan khusus dengan boss dari
menteri tersebut.
Publik tahu dan gamblang, Sofyan Djalil walaupun tak berprestasi, tetap jadi menteri karena ia orang Jusuf Kalla.
No comments:
Post a Comment