Di tahun 1980-1990-an, Hampir tidak ada orang yang paham mengapa Saddam Hussein membunuh sebagian rakyat Iraq di negerinya sendiri. Jutaan orang mengecam dan menyumpah serapah Saddam. Beliau ditahbiskan sebagai seorang pembantai kejam.
Dua puluh tahun kemudian, terungkap bahwa orang-orang yang dihabisi
oleh Saddam tersebut adalah penganut Syiah di negerinya. Selama lebih
dari dua dekade, kenyataan ini dilindungi dan disembunyikan oleh pers
Barat.
Sejak lama Saddam sudah tahu akan bahaya Syiah. Di zamannya, sudah
berbondong-bondong penganut Syiah dari Iran masuk ke negerinya. Jika
hanya sekadar tinggal, mungkin Saddam tidak akan begitu peduli. Tapi
para penganut agama Syiah ini merusak semua tatanan kehidupan yang ada,
terutama dengan konsep kawint mut’ah-nya yang memang tak ada bedanya
dengan prostitusi.
Di wilayah Timur Tengah sendiri, satu-satunya negara yang menyadari
keberadaan Iran sebagai negara Syiah adalah Iraq. Saddam—memerintah
hampir bersamaan dengan Khomeini pada tahun 1979, jauh-jauh hari sudah
melihat pengaruh besar Iran ke Iraq dan negara-negara Arab lainnya.
Sejarah juga menunjukkan bahwa Iran lah yang kemudian mendesak PBB
untuk memerangi Saddam. Iran juga yang menyediakan pangkalan militer
ketika Amerika menyerang Iraq, mulai dari laut, udara, dan darat.
Beberapa ulama di tanah Arab mengambil kesimpulan bahwa Saddam mati dalam keadaan khusnul khatimah.
Secara resmi Amerika Serikat (AS)
menginvasi Irak dengan kode “Operasi Pembebasan Irak” pada tanggal 19
Maret 2003. Tujuan utamanya adalah untuk melucuti senjata pemusnah masal
Irak, yang sampai detik ini tuduhan tersebut tidak kunjung terbukti.
Bahkan Tim Inspeksi PBB yang diketuai oleh Hans Blix secara tegas telah
menyatakan tidak menemukan bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah
masal. Untuk menjalankan misi ini, pada 18 Februari, AS telah
mengirimkan 100.000 pasukan ke Kuwait. Pasukan ini mendapatkan dukungan
dari pasukan koalisi yang terdiri dari lebih dari 20 negara dan Syiah
Kurdi di Irak Utara.
Operasi Pembebasan Irak, yang sejatinya
lebih tepat dikatakan sebagai ‘Operasi Pendudukan Irak’ ini menyisakan
banyak sekali kejanggalan. Alasan AS untuk membebaskan rakyat Irak dari
kediktatoran Saddam Husein sangat bertentangan dengan fakta di lapangan,
di mana nama Saddam Hussein begitu dieluh-eluhkan oleh rakyat Irak,
kecuali oleh suku Kurdi di utara Irak, yang berediologi Syiah. Invasi
ini tidak lebih dari ketakutan berlebihan AS di bawah kepemimpinan Bush
bahwa eksistensi Israel akan terancam jika Irak memiliki senjata atau
peralatan tempur yang canggih. Kekhawatiran ini dipertegas dengan
laporan intelijen Bush yang mengatakan bahwa Irak memiliki rudal dengan
jarak jangkau 900 kilometer. Padahal setelah dicek langsung oleh Tim
Inspeksi PBB, Irak hanya memiliki rudal yang mampu menjangkau sekitar 10
sampai 15 kilometer saja. Hasil laporan PBB inilah yang membuat Saddam
Hussein menyatakan kepada dunia, “Mampukah rudal ini menembus Israel?
Mampukah mencapai AS?”.
Akhirnya pada tanggal 9 April 2003,
perang AS-Irak dinyatakan telah selesai dengan dikuasainya kota Bagdad
oleh AS dan tertangkapnya Saddam Hussein. Saddam ditangkap dalam sebuah
operasi bersandi ‘Red Dawn’ (Fajar Merah), yang melibatkan pasukan
Divisi Infanteri IV Angkatan Darat AS dan satuan operasi khusus pasukan
koalisi. Sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Komandan Pasukan
Koalisi Letnan Jenderal Ricardo Sanchez, data keberadaan Saddam Hussein
diperoleh dari hasil penyelidikan intelijen dan keterangan para tahanan.
Dalam pemerintahan Irak yang baru pasca
tumbangnya Saddam Hussein, Hakim Abdul Rauf Abdul Rahman, hakim
keturunan Kurdi yang menggantikan Rizgar Amin yang sebelumnya telah
mengundurkan diri, menjatuhkan hukuman mati (gantung) kepada mantan
presiden Irak Saddam Hussein, dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan
terhadap 148 orang Syiah di wilayah Dujail. Keputusan ini pun disambut
dengan teriakan takbir oleh Saddam Hussein, “Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Hidup rakyat Irak, hidup umat Islam, hancurlah para
penjajah, hancurlah para pengkhianat.”
Saat ia berada di tiang gantungan, ia
masih sempat mengirimkan pesan kepada para pemimpin Arab, “Amerika akan
menggantung saya, dan kalian akan digantung oleh rakyat kalian sendiri.
Saya hanya ingin umat ini dapat mengangkat kepalanya dan tidak tertunduk
kepada Zionis. Untuk dapat menjadi pemimpin maka rakyat yang anda
pimpin harus percaya bahwa anda adalah orang yang adil meskipun anda
bersikap keras jika memang kondisi mengharuskan demikian. Jagalah
rahasia orang, jangan ceritakan kepada orang lain, atau menggunakan
rahasia seorang sahabat untuk menjatuhkannya. Percayalah kepada mereka
yang tidak ragu untuk melakukan tugas-tugas berat yang seakan tampak di
luar batas kemampuan mereka. Jangan memilih mereka yang hanya mau
menjalankan tugas-tugas ringan di bawah kemampuan asli mereka.”
Kemudian Saddam Hussein melanjutkan,
“Saya benar-benar menentang Zionis dan Amerika. Akan tetapi kesalahan
saya adalah karena tidak begitu memahami pergerakan Islam dan persatuan
antar kelompok-kelompok Islam, sebagaimana umat Islam juga tidak begitu
memahami saya dan keinginan saya untuk merealisasikan proyek Islam yang
sangat besar. Namun saat ini saya telah memahami hal itu, meskipun sudah
terlambat, bahwa merekalah (umat Islam) satu-satunya yang mampu
membungkam proyek Zionis, seandainya mereka benar-benar diberi
kesempatan dan infrastruktur pendukungnya. Penyesalan selalu datang di
akhir.”
Pernyataan Saddam Hussein bahwa para
pemimpin Arab akan digantung (dibunuh, diperangi) oleh rakyatnya sendiri
telah terbukti sejak tahun 2011, 8 tahun setelah invansi Amerika ke
Irak tahun 2003. Api revolusi yang terjadi di Timur Tengah (Arab) yang
lebih dikenal dengan sebutan ‘ar-Rabi’ al-Arabi’ (Arab Spring) telah
berhasil menumbangkan para pemimpin Arab yang dianggap diktator,
sebagaimana terjadi di Tunisia, Libya, Mesir, dan terakhir Suriah yang
tidak kunjung usai. Saddam mengerti betul bagaimana siasat dan
konspirasi Amerika dalam memecah-belah dunia Arab khususnya, dan dunia
Islam secara umum, demi mengamankan hegemoninya di bidang politik,
sosial, dan ekonomi.
No comments:
Post a Comment