Amar makruf nahi mungkar merupakan salah satu ciri yang hanya dijumpai pada kaum Muslim; tidak ada pada umat-umat lain. Bahkan keistimewaan umat Islam justru dicirikan dengan adanya sifat amar makruf nahi mungkar. Banyak ayat yang menyebut tentang amar makruf nahi mungkar dan menggandengkannya dengan sifat-sifat kaum Muslim. (Lihat: QS Ali Imran [3]: 110).
Menurut mufasir al-Qasimi, sifat tersebut (yakni amar makruf nahi mungkar, pen.) menjadi keutamaan yang Allah berikan kepada umat Islam, dan tidak diberikan kepada umat-umat lain (Al-Qasimi, Mukhtashar Min Mahâsini at-Ta‘wîl, hlm. 64, Dar an-Nafa’is).
Yang disebut dengan makruf menurut timbangan syariat Islam adalah setiap itikad (keyakinan), perbuatan (amal), perkataan (qawl), atau isyarat yang telah diakui oleh as-Syâri‘ Yang Mahabijaksana dan diperintahkan sebagai bentuk kewajiban (wujûb) maupun dorongan (nadb). (Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Amar Ma‘ruf Nahi Munkar, hlm. 19, Darul Furqan).
Dengan
demikian, beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya; pada Hari Akhir,
surga dan neraka, dan lain-lain dianggap sebagai perkara yang makruf dan
diperintahkan, serta terkait dengan itikad (keyakinan/keimanan).
Pelaksanaan shalat, shaum, zakat, haji, sedekah, berjihad fi sabilillah
dan sejenisnya; tercakup di dalam perbuatan-perbuatan (amal) yang
makruf. Mengucapkan kata-kata yang haq, memerintahkan untuk menjalankan
kewajiban agama, dan melarang terjerumus dalam hal-hal yang diharamkan;
juga tergolong pada perkara yang makruf.
Jadi, makruf disini berarti al-khayr
(kebaikan). Oleh karena itu, amar makruf berarti perintah atau dorongan
untuk menjalankan perkara-perkara yang makruf (kebaikan), yang dituntut
atau didorong oleh akidah dan syariat Islam. Sebaliknya,
yang dinamakan dengan mungkar menurut timbangan syariat Islam adalah
setiap itikad (keyakinan/keimanan), perbuatan (amal), ucapan (qawl) yang diingkari oleh as-Syâri‘ Yang Mahabijaksana dan harus dijauhi (Abu Faris, ibid, hlm. 20, Darul Furqan).
Dengan
demikian, syirik kepada Allah, percaya pada ramalan bintang dan dukun,
menyandarkan nasib pada mantera-mantera dan paranormal, dan sejenisnya,
adalah keyakinan yang mungkar. Begitu pula minum-minuman keras (khamar),
berzina, mencuri, ghîbah, berdusta, bersaksi palsu, tajassus
(memata-matai) seorang Muslim, korupsi, suap, meminta bantuan militer
kepada negara kafir untuk memerangi sekelompok umat Islam, tunduk pada
dominasi negara-negara kafir, menelantarkan urusan rakyat, mengambil harta milik masyarakat (milik umum) tanpa legislasi syariat, menjalankan hukum thâghût (selain hukum Islam), dan sejenisnya; termasuk tindakan-tindakan mungkar.
Jadi, mungkar di sini berarti as-syarr (keburukan).
Oleh karena itu, nahi mungkar berarti perintah untuk menjauhi
perkara-perkara yang mungkar (keburukan), yang dihindari oleh akidah dan
syariat Islam. Amar makruf nahi mungkar diwajibkan oleh syariat Islam. (Lihat: QS Ali Imran [3]: 104).
Adapun taghyîr al-munkar (mengubah
kemungkaran) adalah juga diwajibkan atas setiap Muslim. Hanya saja,
caranya telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda:
«مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَاِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ،
وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ اْلإِمَانِ»
وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ اْلإِمَانِ»
Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu,
hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya.
Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).
Menurut
Qadli Iyadh, hadis itu terkait dengan sifat-sifat seseorang tatkala
mengubah kemunkaran. Orang yang hendak mengubah kemungkaran berhak
mengubahnya dengan berbagai cara yang dapat melenyapkan kemungkaran
tersebut, baik melalui perkataan maupun perbuatan (tangan). Jika
seseorang memiliki dugaan kuat (yakni jika diubah dengan tangan akan
muncul kemungkaran yang lebih besar lagi, seperti menyebabkan risiko
akan dibunuh atau orang lain bakal terbunuh karena perbuatannya),
cukuplah mengubah kemungkaran itu dilakukan dengan lisan; diberi nasihat
dan peringatan. Jika ia merasa khawatir bahwa ucapannya itu bisa
berakibat pada risiko yang sama, cukuplah diingkari dengan hati. Itulah
maksud hadis tersebut (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, jilid II/25).
Berdasarkan
hal ini, seseorang yang mampu mengubah kemungkaran. Yang dimaksud
dengan mengubah kemungkaran melalui hati adalah menasihati pelaku
kemungkaran, kemudian (jika hal itu dilakukan, atau tidak mampu
dilakukan karena adanya risiko kemungkaran yang lebih besar) memutuskan
hubungannya dengan kemungkaran dan pelakunya melalui tindakan: tidak
duduk bersama-sama pelaku yang tengah melaksanakan kezaliman atau
tindakan mungkar; tidak minum-minum (khamar) bersama-sama; tidak
makan-makan (makanan yang haram) secara bersama-sama dengan pelaku,
tidak melayani/memfasilitasi dan mendorong mereka melakukan kemungkaran;
dan sebagainya.
Dari
paparan tersebut tampak bahwa pihak yang paling bertanggung jawab dalam
melakukan amar makruf nahi mungkar dan mampu mengubah kemunkaran dengan
tangan (kekuatan) adalah pemerintah atau negara. Negara memiliki
seluruh pranata yang memungkinkannya bisa menjalankan amar makruf nahi
mungkar dan melenyapkan kemungkaran dengan tangan (kekuatan)-nya
seketika.
Masalahnya, di tengah-tengah kaum Muslim saat ini pemerintah atau negara telah berubah menjadi dâr al-kufr, syariat Islam diganti dengan sistem hukum thâghût,
sekularisme dijadikan dasar negara, kedaulatan bukan di tangan Allah
Swt. melainkan manusia (yaitu rakyat), kekufuran merajalela di seluruh
lapisan, dari dasar hingga ke cabang-cabangnya, ideolologi kufur
(seperti Komunisme,
Kapitalisme-Demokrasi dan semacamnya) merajalela dan menjadi panutan
kaum Muslim, bahkan dibelanya mati-matian. Artinya, negara telah menjadi
pelaku atau pemelihara kemungkaran itu sendiri. Lalu apa yang harus
kita lakukan?
Jawabannya, bahwa kaum Muslim saat ini harus terlibat dalam proses taghyîr al-munkar secara global dan inqilâbî
(revolusioner). Caranya adalah dengan mengembalikan lagi sistem hukum
Islam melalui eksistensi negara yang mendasarkan diri, menjaga,
melaksanakan dan mempropagandakan akidah dan syariat Islam; yaitu
melalui Negara Khilafah yang merujuk pada manhaj Nabi saw.
Tentu saja, semua itu harus melalui tahapan/metode yang dilandasi oleh
perjalanan Rasulullah saw. membangun Negara Madinah, bukan berdasarkan
metode lain.
Jika
di tengah-tengah kaum Muslim tidak terbersit upaya untuk mengubahnya,
bahkan dengan hati sekalipun (membiarkan dan tidak peduli dengan kondisi
kaum Muslim saat ini yang didominasi oleh kekufuran), berarti iman
dalam dirinya telah sirna, dan kemungkaran akan menyelimuti seluruh umat
manusia. Pada akhirnya, pintu azab Allah yang sangat pedih akan
terbuka. Rasulullah saw. bersabda:
«وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ
الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا
مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ
يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
Demi
jiwaku yang ada dalam genggamannya, kalian memerintahkah kemakrufan dan
mencegah kemungkaran atau Allah akan menimpakan azab atas kalian,
kemudian kalian berdoa kepada-Nya, lalu doa kalian tidak akan dikabulkan. (HR at-Tirmidzi).
No comments:
Post a Comment