Kisah berikut ini semoga dapat menjadi teladan bagi kita dalam upaya
menjadikan harta yang kita peroleh dari usaha perniagaan diberkahi oleh
Allah.
Yunus bin ‘Ubaid bin Dinar al-Bashri (wafat tahun 139
H)[Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/288) dan
“Shifatush shafwah” (32/517).].
Imam panutan dari generasi Tabi’in
yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah ,
serta sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram)[Kitab
“Taqriibut tahdziib” (hal. 613).].
Beliau adalah seorang pedagang
kain yang sangat jujur dan selalu menjelaskan cacat barang dagangan
beliau sebelum terjadi jual beli [Lihat kitab “Siyaru a’laamin nubala’”
(6/290).]. Bahkan karena kejujuran beliau pernah mengembalikan uang
seorang pembeli yang membeli kain beliau dengan harga yang lebih tinggi,
karena waktu itu yang menjualnya adalah keponakan beliau. Bagitu pula
sebaliknya, jika beliau membeli barang dari seseorang, maka beliau akan
membayarnya dengan harga yang sesuai meskipun orang tersebut pada
awalnya menawarkannya dengan harga yang lebih murah.
Diriwayatkan
dalam biografi beliau, bahwa suatu saat harga kain di suatu daerah
dekat Bashrah naik menjadi lebih mahal, yang mana sesuai kebiasaan, jika
daerah tersebut harga kainnya naik, maka harga kain di Bashrah pun
nantinya ikut naik. Mengetahui hal itu, Yunus bin ‘Ubaid segera membeli
sejumlah besar kain kepada pedagang kain lainnya dengan harga pasaran
biasa. Setelah selesai membeli barang tersebut, beliau bertanya kepada
penjual tersebut: Apakah engkau mengetahui bahwa harga kain naik di
daerah anu? Penjual tersebut menjawab: Tidak, kalau saja aku tau tentu
aku tidak akan menjualnya kepadamu. Maka Yunus bin ‘Ubaid berkata:
(Kalau begitu) kembalikan uangku padamu dan aku akan kembalikan
barangmu.
Masya Allah ! Betapa mulia dan agungnya sifat beliau
ini dan betapa tingginya sifat jujur dan amanah dalam diri beliau
sehingga dengan sebab inilah Allah memberkahi harta beliau dan
memudahkan beliau meraih kedudukan yang mulia dalam agama-Nya, sehingga
imam adz-Dzahabi menyifati beliau sebagai “seorang imam dan panutan
(dalam kebaikan)”[Kitab “Tadzkiratul huffaazh” (1/145).].
Oleh
karena besarnya keutamaan dua sifat ini dalam berjual-beli, Rasulullah :
“Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan
(dikumpulkan) bersama para Nabi , orang-orang shiddiq dan orang-orang
yang mati syahid pada hari kiamat (nanti)”[HR Ibnu Majah (no. 2139),
al-Hakim (no. 2142) dan ad-Daraquthni (no. 17)].
Imam ath-Thiibi
mengomentari hadits ini dengan mengatakan: “Barangsiapa yang selalu
mengutamakan sifat jujur dan amanah maka dia termasuk golongan
orang-orang yang taat (kepada Allah ) dari kalangan orang-orang shiddiq
dan orang-orang yang mati syahid, tapi barangsiapa yang selalu memilih
sifat dusta dan khianat maka dia termasuk golongan orang-orang yang
durhaka (kepada Allah ) dari kalangan orang-orang yang fasik
(buruk/rusak agamanya) atau pelaku maksiat”[Lihat kitab “Syarhu sunani
Ibni Majah” (hal. 155).].
Beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik dari kisah di atas:
- Maksud sifat jujur dan amanah dalam berjual-beli adalah dalam
keterangan yang disampaikan sehubungan dengan jual beli tersebut dan
penjelasan tentang cacat atau kekurangan pada barang dagangan yang
dijual jika memang ada cacat padanya[Lihat kitab “Faidhul Qadiir”
(3/278).].
- Inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan
dalam perdagangan dan jual beli, sebagaimana sabda Rasulullah : “Kalau
keduanya (pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan
barang dagangan atau uang pembayaran) maka Allah akan memberkahi
keduanya dalam jual beli tersebut, tapi kalau kaduanya berdusta dan
menyembunyikan (hal tersebut) maka akan hilang keberkahan jual beli
tersebut”[HR al-Bukhari (no. 1973) dan Muslim (no. 1532).].
-
Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji yang tersebut di atas
adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah dan para
shahabat y, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih[HR
ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (23/300, no. 674) dan dinyatakan
jayyid (baik/shahih) oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul
ahaa-ditsish shahiihah” (no. 2929).].
Adapun hadits “Sembilan
persepuluh (90 %) rezki adalah dari perniagaan”, maka ini adalah hadits
yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-Albani[Dalam
“Silsilatul ahaa-ditsidh dha’iifah” (no. 3402).].
No comments:
Post a Comment