Tradisi
melaksanakan resepsi pernikahan di jalanan, menutup jalan umum sehingga
banyak orang yang ingin melewati jalan tersebut harus memutar cari jalan
lain. Hal ini sering saya alami dan sangat menjengkelkan. Apalagi kalau kita sedang terburu-buru. Semoga Allah memberi hidayah kepada yang punya hajat.
Saya termasuk orang yang sangat tidak setuju digelarnya resepsi pernikahan yang digelar di tengah jalan hingga sampai menutup jalanan dan
orang-orang yang mau lewat jadi terhalang.
Kenapa demikian?
Karena ada larangan tegas dalam syariah untuk menghalangi orang yang
lewat. Jangankan menghalangi, kalau saja di jalan ada aral melintang
atau ada onak dan duri, kita wajib membuangnya, agar orang yang lewat
tidak celaka. Dan membuang duri dari jalan itu merupakan salah satu
cerminan keimanan kita kepada Allah SWT.
Mungkin kalau kita menengok ke masa lalu, menggelar
hajatan di jalan itu masih bisa saya mengerti. Sebab di masa lalu keadaan masih sepi dan belum seramai sekarang. Jumlah kendaraan masih sedikit. Bandingkan dengan Jaman sekarang. Jadi kalau ada tetangga yang sedang punya
hajatan, kita ikut bergembira dan semua anggota masyarakat serta
tetangga kanan kini ikut membantu dan berkorban. Dan salah satu bentuk
pengorbanannya adalah merelakan jalan di kampung kita ditutup sementara,
termasuk rela cari jalan berputar yang agak jauh demi sebuah hajatan
tetangga.
Tetapi seingat saya, hajatan orang Jakarta tempo dulu pun juga tidak
sampai menutup jalanan. Hajatan seperti itu lebih sering digelar di
halaman rumah atau di lapangan terbuka. Kadang digelar panggung lenong,
wayang atau layar tancep, atau apa lah jenisnya. Tetapi jalanan tetap
bisa untuk orang lewat.
Saya juga masih bisa memahami kalau hajatan menutup jalan itu
dilakukan di kampung nun jauh di mata, dimana penduduknya sepi dan
jarang-jarang. Maka begitu ada hajatan, kita semua yang jadi tetangga
sekampung ikut berkorban juga. Dan tentunya malah bangga dan rela kalau
sampai hajatan bisa menutup jalan tempat kita lewat.
Kalau sudah begini, maka menutup jalan demi sekedar hajatan sudah
tidak produktif lagi, karena sudah mengganggu sesama penduduk dan warga.
Sayangnya, pihak pemerintah agak banyak membiarkan hal-hal ini terjadi
begitu saja. Bahkan seringkali malah yang suka menggelar hajatan menutup
jalan justru pak RT, pak RW, pak Lurah, pak Camat dan pejabat lainnya. Maksudnya, mereka yang seharusnya menegakkan disiplin, malah justru menjadi pelanggar disiplin itu sendiri.
Hajatan Sekedar Tradisi, Malah Cuma Sekedar Gengsi
Kalau kita pindahkan arah pembahasan kepada pertanyaan : kenapa kita
harus menggelar hajatan, kadang-kadang kurang masuk akal juga. Yang
jelas, walau pun syariah Islam menganjurkan seseorang menyelenggarakan
walimah pernikahan, tetapi kalau judulnya pakai menutup jalan segala,
sehingga orang-orang yang lewat jadi terhalang, tentu sudah tidak lagi
prporsional. Apalagi bila posisi jalan itu jalan penting dan utama,
dimana orang akan kesulitan sekali kalau sampai ditutup, maka hukumnya
malah jadi haram.
Selain walimah pernikahan, sebenarnya kalau cuma hajatan ulang tahun,
atau khitanan anak, tidak ada keharusan untuk merayakan, apalagi sampai
menutup jalan, memasang panggung hiburan di tengah jalan dan
seterusnya. Semua itu kalau ada, jelas-jelas tidak berasal dari ajaran
Islam. Tetapi lebih merupakan tradisi saja, yang saya sendiri agak
bingung kalau harus menelusuri asal-usulnya.
Dan berdasarkan pengalaman ngobrol-ngobrol dengan para penyelenggara
hajatan, ternyata banyak di antara mereka yang serba salah. Sebab yang
namanya hajatan sudah pasti butuh dana besar, tidak semua orang siap
membuang-buang dana besar cuma buat sekedar bikin keramaian. Tetapi di
sisi lain, ada semacam rasa gengsi atau malah rasa bersalah, kalau
sampai menikahkan anak misalnya, tetapi tanpa menyelenggarakan pesta
besar yang sampai menutup jalan.
Seolah-olah ukuran sukses tidaknya sebuah hajatan itu diukur ditutup
atau tidaknya jalanan di depan rumah. Meski ukuran ini tidak pernah
ditetapkan, tetapi nampaknya ‘mazhab’ itulah yang kurang lebih dianut
oleh kebanyakan warga kita. Dan ukuran ini sering dijadikan bahan
obrolan tentang ukuran kesuksesan sebuah hajatan. Sangat konvensional
dan kuno memang, tetapi nampaknya orang-orang suka dan senang sekali.
Pak Haji Dul di samping rumah nampak sumringah sekali seusai
menyelenggarakan hajatan anaknya, sebab dia terima laporan bahwa jalanan
macet panjang sampai 2 kilometer, karena ada hajatan itu. Itu berarti
hajatannya sukses. Naudzubillah min zalik. Jadi ukuran suksesnya adalah
kesusahan orang lain.
Kalau paradigma seperti ini yang masih dianut oleh kebanyak
masyarakat kita, tentu butuh proses pergantian generasi untuk
membaliknya. Generasi pak Haji Dul bila sudah lewat nanti, lalu
digantikan oleh generasi anak dan cucu beliau, yang semoga tidak
mewarisi paradigma yang sama, tetapi sudah berubah.
Pengalaman Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA di Jepang
Bicara tentang ketertiban dan ketenangan, saya punya pengalaman
menarik ketika memberi ceramah di Jepang pada tahun 2008. Saat itu acara
daurah tiga yang digelar di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT)
sedang break untuk tidur malam. Sebagian dari peserta yang datang dari
kota-kota lain di Jepang pada duduk-duduk mengobrol di halaman, sambil
santai. Tiba-tiba datang petugas polisi bersepeda, memberi teguran yang
asalnya laporan pengaduan dari tetangga sekitar. Rupanya ada warga
sekitar SRIT yang merasa terganggu mendengar ada suara orang ngobrol di
luar. Padahal mereka yang ngobrol itu bukan ngobrol di jalan, tetapi
masih di dalam halaman sendiri. Karuan saja pimpinan SRIT meminta para
peserta yang sedang ngobrol di luar itu untuk masuk ke dalam gedung.
Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa tertibnya orang
Jepang ini. Padahal mereka tidak beragama Islam, bahkan tidak pernah
baca Al-Quran atau Sunnah. Cuma dalam urusan menghormati hak-hak publik,
kayaknya mereka jauh lebih paham.
No comments:
Post a Comment