Foto di ambil dari http://jabar.tribunnews.com/2015/05/28/tolak-berjabat-tangan-dengan-pembina-pramuka-siswa-smp-ini-banjir-komentar
Dilema ini baru admin rasakan seusai bersilaturahmi dengan tetangga ketika lebaran tahun ini 1437 H. Pengin ngga bersalaman dengan perempuan yang bukan muhrim tapi nanti mungkin akan timbul omongan yang kurang enak atau bahkan cemooh. Jadi galau he,, he... he... engga ding becanda.
Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan
mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan,
karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syar'i yang digunakan untuk
membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas masalah
ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada
pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).
1. Dalil-Dalil, Serta Argumentasi Yang Digunakan Oleh Masing-Masing Pendapat
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:
Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah r.a. yaitu:
Telah berkata ‘Aisyah:
“Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Telah berkata ‘Aisyah:
“Tidak!
Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh
tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.”
[HR. Bukhari dan Muslim].
Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan
serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak
berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Karena itu maka
hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah
haram.
Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh
wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits
shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya
dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang
wanita yang tidak halal baginya.” [HR. ath-Thabrani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i].
Sedangkan
pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan
bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan dari ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. yang berkata:
“Kami
telah membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku
‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami
melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), karena itulah seorang
wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat
tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku
bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata
Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian
kembali lagi.” [HR. Bukhari].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya
kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata qa ba dha
dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti
disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau
melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu) (A.W. Munawwir, Kamus
al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq
(tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para
wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah
seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya
hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami
bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam)
tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap
Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas —baik dari
segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)— bahwa Rasulullah Saw
telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm, hal. 57-58, 71-72).
Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud
dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang
terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat
tangan (Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34).
Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti
selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa dipahami/diterima dari segi
bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata qa ba dha juga
sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam
dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu
Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata, “Suatu ketika
datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail
dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk
seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul,
ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.” Beliau
kemudian bersabda:
“Apabila seorang wanita telah sampai usia
baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya
dan selain ini —digenggamnya pergelangan tangannya sendiri— dan
dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman
terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. ath-Thabari dari ‘Aisyah
r.a.].
Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. ini yang
dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan
dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat
tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kedua, diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang
wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya
kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku
tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’
Dari belakang tabir wanita itu menjawab: ‘Ini tangan seorang wanita.’
Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna
kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].
Ketiga, dalil lain yang membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah dari firman Allah SWT:
“…atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).
Ayat
ini merupakan perintah bagi seorang laki-laki untuk mengambil air
wudlu kembali jika ia menyentuh wanita. Wanita yang ditunjuk oleh ayat
itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik mahram maupun bukan.
Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa menyebabkan
batalnya wudlu, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab, ayat
tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudlu karena menyentuh wanita,
bukan pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan
wanita —tanpa diiringi dengan syahwat— bukanlah sesuatu yang diharamkan,
alias mubah.
Walhasil berdasarkan mafhum isyarah dalam ayat tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah adalah mubah.
Keempat, Adanya riwayat-riwayat lain yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut.
Imam
ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabîr, juz 8, hal. 137 menuturkan sebuah
riwayat bahwa ‘Umar ra telah berjabat tangan dengan para wanita dalam
bai’at, sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Diriwayatkan oleh
Imam ath-Thabarani bahwa Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan para
wanita sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Imam al-Qurthubi di
dalam al-Jâmi’ al-Ahkâm al-Qurân, juz 18, hal. 71, juga mengetengahkan
sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw mengambil bai’at
dari kalangan wanita. Diantara tangan Rasulullah Saw dan tangan
wanita-wanita itu ada sebuah kain. Kemudian Rasulullah Saw mengambil
sumpah wanita-wanita tersebut. Dituturkan pula bahwa setelah Rasulullah
Saw selesai membaiat kaum laki-laki Rasulullah Saw duduk di shofa
bersama dengan Umar bin Khaththab yang tempatnya lebih rendah. Lalu,
Rasulullah Saw membai’at para wanita itu dengan bertabirkan sebuah
kain, sedangkan Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan wanita-wanita
itu.
Riwayat-riwayat ini merupakan dalil kebolehan mushafahah.
Sebab, ada taqrir dari Rasulullah Saw terhadap perbuatan Umar bin
Khaththab. Taqrir dari Rasulullah Saw merupakan hujjah yang sangat kuat
atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan
wanita asing (ajnabiyyah) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah
Saw tidak akan mewakilkan kepada Umar bin Khaththab, dan beliau Saw
pasti akan melarangnya.
2. Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbedaan Tersebut
Dalam
menghadpi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti
untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat
manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji
manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah
bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita
perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah
hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi
hadits-hadits yang dzahirnya seola-olah bertentangan, menurut ilmu
hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil
yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh.
2. Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh.
3.
Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang
lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta
harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh
para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan karena sama-sama kuat atau
masih kabur baru menempuh langkah terakhir.
4. Tawaqquf, yaitu
menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha
sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui (Dr.
Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).
3. Pendapat Yang Rajih (Kuat)
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya
berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah
adalah berdasarkan riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. Untuk mentarjihnya kita
perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah
dijelaskan para ulama bahwa:
“Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”
Dari
hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ummu
‘Athiyyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara
langsung perbuatan Rasulullah Saw yang berjabat tangan dengan wanita
bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. sendiri
berjabat tangan dengan Rasulullah Saw seperti apa yang tersirat dari
hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh
‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot
keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan
Rasulullah Saw, beliau tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat
tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi secara tidak langsung ‘Aisyah
r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan
dengan wanita bukan mahram.
2. Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak
pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan wanita bukan mahram.
Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulullah Saw
mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab apa yang
dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasul
—dalam hal ini berjabat tangan— yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak
menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan mahram. Perlu
diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya
didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulullah Saw bersama
‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah Saw
di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau
‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan
wanita bukan mahram, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat
tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat
dan mengetahui (‘Ummu ‘Athiyyah r.a.) Rasulullah Saw berjabat tangan
dengan wanita bukan mahram. Oleh krena itu hadits riwayat ‘Ummu
‘Athiyyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat
diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis
yang bukan mahram.
3. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan
‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa.
Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari
kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada
menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR.
ath-Thabarani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Menurut
golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata
massa yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadz
musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan
tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering
digunakan kata lamasa yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa
berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Ayat-ayat al-Qur’an
dan as-Sunnah dalam menjelaskan menyentuh dengan tangan sering
menggunakan kata lamasa. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT:
“…atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).
Juga firman Allah SWT:
“… atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 6).
“Dan
kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat
menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri…” (Qs. al-An’âm [6]: 7).
Arti
kata lamasa menurut bahasa Arab sendiri adalah ‘menyentuh dengan
tangan’. Di dalam Kamus al-Muhith, karangan Fairuz Abadi, juz II, hal.
249, arti lamasa adalah al jassu bil yadi (menyentuh dengan tangan).
Dalam
kedua ayat pertama, kalimatnya berbentuk umum untuk seluruh kaum
wanita, yaitu bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu dan hal ini
menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya wudhu karena menyentuh
wanita (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm,
hal. 58). Sedangkan dalam ayat ketiga memperjelas bahwa yang dimaksud
menyentuh adalah memegang dengan tangan.
Didalam hadits-hadits pun terdapat kata lamasa yang artinya menyentuh dengan tangan. Diriwayatkan:
Telah berkata Ibnu ‘Abbas:
“Tatkala
Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi Saw (mengaku berzina), bersabdalah
Rasulullah Saw: ‘Barangkali engkau hanya mencium atau menyentuh atau
melihat saja?’ Jawab dia, ‘Tidak! Ya Rasulullah.’ Berkata (Ibnu
‘Abbas), ‘Maka sesudah itu beliau memerintahkan agar dia itu dirajam’.”
[HR. al-Ismailiy]. (Lihat A. Hassan, Soal-Jawab, hal. 53 – 55).
Juga diriwayatkan:
“Dari
Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual-beli dengan
cara mulamasah dan munabadzah.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Jual
beli secara mulamasah yaitu: Jika seorang pembeli berkata, apabila
engkau menyentuh kainku dan aku menyentuh kainmu, maka terjadilah
jual-beli. (Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan, juz II, hal. 150).
4.
Kata massa merupakan lafadz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan
beberapa riwayat berarti ‘menyentuh dengan tangan’. Yakni di dalam
firman Allah SWT:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Qs. al-Wâqi’ah [56]: 78).
Juga dalam riwayat:
“Dan
dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya, dari
datuknya, bahwa Nabi Saw pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman,
yang (di dalamnya): ‘Tidak boleh menyentuh al-Qur’an melainkan orang
yang suci’.” [HR. al-Atsram dan ad-Daraquthni]. Hadits yang serupa juga
diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa.
Tetapi,
hadits-hadits yang diggunakan sebagai dalil oleh golongan yang
mengharamkan ‘menyentuh wanita’ menggunakan kata massa yang lebih tepat
diartikan ‘bersetubuh’ bukan ‘menyentuh dengan tangan’. Kata-kata massa
dengan arti ‘bersetubuh’ lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat
al-Qur’an. Misalnya firman Allah SWT:
“Tidak ada kewajiban
membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka…” (Qs. al-Baqarah [2]: 236).
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu sentuh (setubuh) mereka, padahal…” (Qs. al-Baqarah [2]: 237).
Juga firmanNya:
“Maryam
berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak
pernah seorang manusiapun yang menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang
pezina’.” (Qs. Maryam [19]: 20).
“…kemudian kamu ceraikan mereka sebelum sentuh (setubuh) mereka…” (Qs. al-Ahzab [33]: 49).
Dan masih banyak ayat lain yang menggunakan kata massa untuk makna ‘bersetubuh’ bukan arti menyentuh secara bahasa.
Juga di dalam beberapa hadits menunjukkan bahwa kata massa memiliki arti ‘bersetubuh’. Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi.” [HR. Muslim].
5.
Walaupun kata massa dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’
tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang
mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat
jika diartikan dengan ‘bersetubuh’. Sebab jika di artikan dengan
‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits
shahih yang diriwayatkan ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. dimana tangan Rasulullah
Saw yang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang
bukan mahram. Juga riwayat lain yang menjelaskan dimana Rasulullah Saw
pernah memegang tangan wanita seperti diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a.
yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari
belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang
tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki
atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab.
‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang
wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu
Dawud].
Selain itu Rasulullah Saw pernah berjabat tangan di dalam
air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulullah
Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili
beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan.
Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan,
tentunya Rasulullah Saw tidak akan melaksanakannya baik secara langsung
maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah Saw
memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan
(menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah
perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru
sebaliknya.
Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) anatar
lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah
Islamiyyah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi
atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan
Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata
tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah
melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah
haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun
kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan
wanita yang bukan mahram.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa dimaksud
dengan kata ‘menyentuh’ pada hadits-hadits yang digunakan oleh
pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram
adalah ‘bersetubuh’ bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).
6. Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i].
Hadits
di atas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil
untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram.
Pendapat ini adalah lemah, karena ada sebuah kaidah ushul fiqh yang mengatakan:
Inna
‘adam fi’l al-rasûl lisyain laisa dalîl syar’iyan (Sebenarnya
perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw bukanlah dalil
syara’).
Sedangkan yang bisa dijadikan dalil syara’ adalah perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Oleh
karena itu, perkataan Rasulullah Saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat
tangan dengan wanita.” Tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan
berjabat tangan (mushafahah). Akan tetapi, hadits itu harus dipahami
bahwa Rasulullah Saw ada kalanya menjauhi dan tidak pernah mengerjakan
sama sekali perbuatan-perbuatan yang berhukum mubah. Misalnya,
Rasulullah Saw selalu menjauhi dan tidak pernah menyimpan dirham dan
dinar di rumahnya. Rasulullah Saw juga menjauhi untuk memakan daging
biawak. Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah perbuatan
yang dilarang bagi kaum muslim. Artinya, meskipun Rasulullah Saw tidak
pernah mengerjakan perbuatan tersebut, akan tetapi beliau Saw tidak
melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Demikian juga
dengan kasus mushafahah. Meskipun Rasulullah Saw tidak pernah
melakukan mushafahah, bukan berarti mushafahah itu dilarang bagi kaum
muslim. Sebagaimana bahwa menyimpan dirham dan dinar bukanlah perkara
terlarang, meskipun Rasulullah Saw tidak pernah mengerjakannya.
Walhasil, apa yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw tidak mesti
dipahami bahwa perbuatan itu berhukum haram.
7. Adapun kritik yang
dikemukakan oleh Ibnu al-‘Arabi terhadap keshahihan riwayat-riwayat
‘Umar bin Khaththab bisa ditangkis dari kenyataan bahwa hadits-hadits
yang bertutur tentang mushafahahnya ‘Umar bin Khaththab dicantumkan di
dalam kitab Fâth al-Bârî karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 8,
hal. 636, dan beliau tidak berkomentar terhadap riwayat ini. Ini
menunjukkan bahwa Ibnu Hajar telah mengakui keshahihan riwayat ini.
Al-Hafidz sendiri adalah seorang muhadits yang sangat termasyhur dan
kitabnya Fâth al-Bârî, diakui sebagai kitab syarah terbaik dan karya
ilmiah yang dijadikan rujukan para ‘ulama fiqh dan hadits. Atas dasar
itu, riwayat-riwayat yang menuturkan mushafahahnya Umar bin Khaththab
dengan kaum wanita bisa digunakan hujjah secara pasti.
8.
Kelompok yang mengharamkan berjabat tangan mengatakan bahwa riwayat
Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha’if. Hal ini telah
dijelaskan oleh Imam an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, jld. 1, hal. 30)
dan juga al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (Fâth al-Bârî, jld. 8, hal.
636). Ibnu Hajar mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah adalah
merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh
Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat
tangan dengan para wanita.
Memang sebagian ulama memasukkan
hadits mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). Ulama-ulama yang
berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i dan beberapa ulama lainnya.
Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Malik menjadikan
hadits mursal sebagai hujjah.
Hadits Ummu ‘Athiyyah adalah hadits
marfu’ (sambung) hingga Nabi Saw. Perawi hadits tersebut adalah
Musaddad, yang menurut Imam Ibnu Hanbal ia adalah shaduq (orang yang
sangat terpercaya). Menurut Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat tsiqat
(lebih dari sekedar terpercaya).
Perawi berikutnya adalah Abdu
al-Wârits. Menurut an-Nasâ’i ia adalah tsiqat (terpercaya); menurut Abu
Zur’ah ar-Razi, ia adalah tsiqat. Menurut Abu Hatim ar-Razi ia adalah
shaduq.
Sedangkan Ayyub, nama lengkapnya adalah Ayyub bin Tamimah
Kisâniy, seorang tabi’in kecil (al-shughra min at-tâbi’în). Menurut
an-Nasâ’i dan Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat (terpercaya).
Perawi
selanjutnya adalah Hafshah binti Sîrîn, namanya kunyahnya adalah Ummu
Hudzail. Seorang tabi’in tengah (al-wasthiy min at-tâbi’în). Ibnu
Hibban mencantumkannya di dalam al-Tsiqat. Menurut Yahya bin Mu’în ia
adalah tsiqat hujjah (terpercaya yang menjadi hujjah). Ia adalah salah
seorang murid dan perawi dari Ummu ‘Athiyyah (shahabiyyah).
Sedangkan, Ummu ‘Athiyyah adalah seorang shahabat wanita.
8.1. Berhujjah Dengan Hadits Mursal
Hadits
mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’iy namun
tidak menyebutkan shahabatnya. Dengan kata lain, hadits mursal adalah
perkataan seorang tabi’iy (baik tabi’iy besar maupun kecil), maupun
perkataan shahabat kecil yang menuturkan apa yang dikatakan atau
dikerjakan oleh Rasulullah Saw tanpa menerangkan dari shahabat mana
berita tersebut didapatkannya. Misalnya, seorang tabi’iy atau shahabat
kecil berkata, “Rasulullah Saw bersabda demikian…”, atau “Rasulullah Saw
mengerjakan demikian”, atau “Seorang shahabat mengerjakan di hadapan
Rasulullah Saw begini…”
Sebagian ‘ulama menjadikan hadits mursal
sebagai hujjah. Ulama yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa
dijadikan sebagai hujjah adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam
Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang lain menolak
berhujjah dengan hadits mursal. Akan tetapi, Imam Syafi’i tidak menolak
secara muthlak hadits mursal. Imam Syafi’i berpendapat, bahwa hadits
mursal bisa dijadikan sebagai hujjah asalkan memenuhi syarat: (1)
hadits mursal dari Ibnu al-Musayyab. Sebab, pada umumnya ia tidak
meriwayatkan hadits kecuali dari Abu Hurairah ra. (2) Hadits mursal
yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dha’if maupun shahih. (3)
Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas; (4) hadits mursal yang
dikuatkan oleh hadits mursal yang lain (Manhaj Dzawi an-Nadzar, hal.
48-53; Nudzat an-Nadzar, hal. 27). Jika kita mengikuti pendapat Imam
Syafi’i ini, maka hadits Ummu ‘Athiyyah layak digunakan sebagai hujjah,
sebab banyak hadits-hadits shahih yang senada dengan hadits Ummu
‘Athiyyah.
Kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits
mursal bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, perawi yang dihilangkan
adalah para shahabat yang seluruh ulama telah sepakat bahwa seluruh
shahabat adalah adil. Benar, status hadits yang perawinya tidak
diketahui, maka ketsiqahannya tidak diketahui alias majhul. Padahal,
riwayat yang bisa digunakan hujjah adalah riwayat yang perawinya tsiqah
dan yakin, alias tidak majhul. Tidak ada hujjah bagi perawi yang
majhul. Ini adalah alasan mereka yang menolak hadits mursal sebagai
hujjah.
Sesungguhnya, bila diteliti secara mendalam, maka
alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang yang menolak berhujjah dengan
hadits mursal adalah lemah. Sebab, perawi yang dibuang (majhul) adalah
shahabat. Meskipun jatidiri shahabat tersebut tidak diketahui, akan
tetapi selama orang tersebut diketahui dan dikenal sebagai seorang
shahabat maka haditsnya bisa diterima dipakai sebagai hujjah. Kita
semua telah memahami, bahwa seluruh shahabat adalah adil. Oleh karena
itu, ‘illat yang digunakan untuk menolak hadits mursal, sesungguhnya
tidak ada di dalam hadits mursal. Sebab, ketidakjelasan jati diri
shahabat tidak menafikan keadilan dan ketsiqahannya. Ini menunjukkan,
bahwa hadits mursal tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Dihilangkannya
seorang shahabat dari rangkaian sanad tidaklah menurunkan derajat
hadits tersebut, selama diketahui bahwa ia adalah shahabat. Sebab,
seluruh shahabat adalah adil, dan tidak perlu lagi diteliti
ketsiqahannya.
Seandainya kita mengikuti komentar al-Hafidz Ibnu
Hajar dan Imam an-Nawawi, mengenai kemursalan hadits Ummu ‘Athiyyah,
hadits itu tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, pendapat terkuat
menyatakan, bahwa hadits mursal memang absah digunakan sebagai hujjah.
Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw dan
‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (Imam
al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumtahanah [60]: 12).
4. Khatimah
Dari
tarjih kedua pendapat diatas menunjukkan bahwa pendapat yang
mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika
dibandingkan dengan pendapat yang membolehkannya. Karena hukumnya mubah
maka dibolehkan bagi kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan
mahram baik secara langsung ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan
untuk tidak berjabat tangan.
Pendapat yang membolehkan berjabat
tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada
syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan
berjabat tangan dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat
dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat
berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria
dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat
atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak
apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram. Misalnya dengan
orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.
Golongan
yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena
mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka
tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah SWT
telah membolehkannya lewat perbuatan RasulNya. Sebab termasuk dosa
besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan
oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT.
Sebab Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya orang yang
mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan
sesuatu yang haram.” [HR. as-Sihab].
Perlu diingat bahwa sesuatu
yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna
dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan. Bagi mereka
yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan
yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat
tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan
mahramnya, baik bukan mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa
ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan
mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya.
Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah
sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka.
Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan
pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat
kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan
pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah
dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas kita
wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan
suka atau tidak suku. Wallahu a’lam bi ash-showab.
No comments:
Post a Comment