Dalam Surat Al-Fatihah ayat 1-5 Allah berfirman:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.”
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah SWT Tuhan sekalian alam.”
الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.”
ملِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Raja di hari pembalasan.”
إَيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”
Dari ayat pertama sampai ayat kelima surat Al-Fatihah, kita mendapatkan
hikmah yang bisa diungkapkan dengan “tak kenal maka tak sayang”.
Ungkapan itu memang merupakan pepatah Nusantara yang baru saja adanya,
namun pepatah biasanya lahir dari sebuah penalaran fitrah manusia,
sedangkan fitrah manusia berasal dari Allah SWT. Makanya, ketika
Rasulullah SAW ditanya tentang kebaikan, beliaupun menjawab:
اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ فَإِنَّ الْبِرَّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ
“Tanyakan saja pada hatimu, sesungguhnya kebaikan itu adalah sesuatu
yang jiwa merasa nyaman dengannya dan hati merasa tenang kepadanya.”
[HR. Ahmad]
Yang dimaksud hati itu adalah nurani atau fitrah
manusia. Maka apapun yang ditemukan oleh fitrah manusia pasti ditemukan
juga dalam Al-Qur’an, karena keduanya berasal dari sumber yang sama,
yaitu hikmah Allah SWT.
“Tak kenal maka tak sayang” adalah konsep
untuk memudahkan interaksi dan hubungan. Kita akan sulit menerima
kehadiran orang baru yang tidak kita kenal, maka konsep ini mengarahkan
kita untuk berkenalan terlebih dulu, setelah kenal dan ternyata dia
sesuai dengan yang kita inginkan maka dengan sendirinya kita akan nyaman
bersamanya.
Nah, konsep ini sebenarnya murni konsep Al-Qur’an,
bahkan konsep ini diisyaratkan oleh lima ayat pertama dari surat pertama
Al-Qur’an, yaitu ketika ayat pertama hingga keempat menjelaskan
sifat-sifat Allah SWT dan ayat kelima adalah isyarat cinta kepada Allah.
Dalam ayat pertama hingga keempat, Allah SWT memperkenalkan
diri sebagai Pencipta kita, Pemelihara kita, Penyayang dan Pengasih
kepada kita. Setelah kita mengenal Allah SWT maka dengan sendirinya kita
akan menyembah Allah SWT, tanpa disuruh apalagi dipaksa. Makanya ayat
kelima bukan perintah menyembah, tapi ungkapan menyembah.
Kesimpulannya, dari lima ayat pertama surat Al-Fatihah itu, kita
mendapat pelajaran dari Allah SWT berkaitan dengan ilmu psikologi, yaitu
kalau kita mau orang menyembah Allah, maka perkenalkan Allah SWT pada
orang itu, kalau ia sudah mengenal Allah SWT dengan baik maka dengan
sendirinya ia akan mecintai Allah SWT dan menyembah-Nya. Kalau kita mau
anak kita meneladani Rasulullah SAW, maka perkenalkan beliau pada anak
kita, kalau ia sudah mengenal beliau dengan baik maka dengan sendirinya
ia akan mencintai dan meneladani beliau. Kalau Anda mau orang lain
membeli produk anda yang bagus, maka perkenalkan produk anda pada orang
itu, kalau ia sudah mengenal produk anda dengan baik maka dengan
sendirinya ia akan menyukai dan membelinya.
Konsep ini adalah
konsep yang cerdas dengan hasil memuaskan serta aman. Bila kita pandai
memperkenalkan, untuk bisa diterima, kita tidak perlu memaksa atau
merengek untuk menawarkan apapun -yang memang baik- kepada siapapun,
termasuk menawarkan agama. Makanya Allah SWT berfirman:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ
“Tidak ada paksaan dalam agama.” [QS. Al-Baqarah : 256]
Da’wah Islam Adalah Kenalkan Islam
Walaupun Allah SWT menghendaki (menyuruh) semua manusia kembali pada
Islam, namun Allah SWT tidak perlu memaksa, karena Islam adalah agama
fitrah yang asalkan dikenali dengan benar maka pasti akan disukai oleh
siapapun. Maka tugas kita sebagai penda’wah adalah memperkenalkan Islam,
asalkan kita berhasil memperkenalkan Islam dengan baik kepada pihak
yang kita inginkan, maka kita tidak perlu ngotot agar mereka mau
menerima Islam.
Konsep inilah yang digunakan dengan baik oleh
Walisongo. Ketika Walisongo mendambakan sebuah komunitas yang menjadikan
Islam sebagai asas bernegara, mereka menggiring masyarakat Jawa melalui
proses pengenalan tentang Islam. Bagi mereka, da’wah adalah
memperkenalkan, sama dengan presentasi yang harus lengkap dengan praktek
untuk meyakinkan calon konsumen. Maka ketika mereka mau masyarakat Jawa
memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai asas bernegara, merekapun
berupaya untuk memperkenalkan Islam dengan detail dan membuktikan bahwa
Islam memang solusi nyata bagi kebutuhan dan problematika mereka.
Walisongo memperkenalkan Islam dan membuktikan kemampuan Islam didalam
mengatasi problem masyarakat ketika itu, sekaligus kemampuan Islam
didalam mengangkat martabat mereka. Ketika Sunan Ampel baru masuk ke
Jawa, keluarga Kerajaan Majapahit memberlakukan sistem pembagian kasta
yang mendiskriditkan dan menimbulkan ketidak-adilan sosial bagi rakyat
jelata. Itulah problem bangsa Jawa yang saat itu amat membutuhkan solusi
nyata. Dengan konsep Islam, Sunan Ampel berhasil merubah tatanan
sosial, berkat kedekatannya dengan para bengsawan dan berkat kepiawaian
beliau dalam mempengaruhi hati yang keras. Sungguh luar biasa, pandangan
umum sesuai pembagian kasta yang sudah berabad-abad mengakar di antara
para bangsawan dan rakyat jelata, dalam waktu yang singkat dapat dihapus
oleh seorang Sunan Ampel. Yang dimaksud pandangan umum adalah kesadaran
semua orang bahwa pembagian kasta itu tidak sesuai dengan nurani
manusia. Begitu berhasilnya Sunan Ampel mempengaruhi pemikiran kaum
bangsawan, sehingga walaupun masih banyak bangsawan yang merasa berat
bersanding dengan rakyat jelata, setidaknya mereka merasa malu untuk
berkata “kita tidak sederajat”, karena kalimat itu telah dianggap
identik dengan “tidak berpendidikan”.
Berangkat dari perubahan
tatanan sosial dan membaiknya moral kaum bangsawan, maka perubahan
tatanan ekonomi kemudian menyusul, karena tidak ada lagi monopoli usaha
yang selama ini dilakukan oleh kapitalis dari kaum bangsawan.
Seiring dengan membaiknya tatanan sosial dan majunya ekonomi, Walisongo
juga membawa bangsa Jawa pada kemajuan di bidang budaya. Ketika Ampel
Denta berhasil menjadi Lembaga Pendidikan bergengsi dan dikenal di
seantero Nusantara, otomatis Jawa menjadi pusat kunjungan para ulama,
ilmuan dan sarjana dari berbagai negeri Nusantara. Hal itu membangkitkan
semangat belajar orang Jawa dari kalangan bangsawan hingga rakyat
biasa. Sungguh luar biasa, dulu seorang bangsawan bahkan tidak mau
dekat-dekat dengan rakyat biasa, namun di Ampel Denta, seorang pangeran
Majapahitpun duduk bersanding dengan seorang abdi dalem, baik di Masjid
ketika sholat maupun di Pesantren ketika belajar.
Begitulah cara
Walisongo memperkenalkan Islam dengan konsep Al-Fatihah ayat satu sampai
lima, atau konsep “tak kenal maka tak sayang”, sehingga setelah
masyarakat Jawa mengenal Islam dengan baik dan merasakan manfaat Islam
bagi kehidupan mereka, maka Walisongo tidak perlu memaksa mereka dengan
perintah “u’budullah” (sembahlah Allah), tapi Walisongo cukup berkata
“iyyaka na’budu” kemudian diikuti oleh hampir semua masyarakat Jawa.
Jangankan hanya mengajak ummat untuk membangun masjid, Walisongo bahkan
dengan mudah mengajak ummat membagun Negara Islam, yaitu Kesultanan
Demak. Sungguh, tak ada yang lebih dahsyat dari konsep Al-Fatihah,
konsep “tak kenal maka tak sayang”.
No comments:
Post a Comment